Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sejarah 'Orang Rantai' di Tambang Batu Bara Ombilin Dikisahkan Ulang lewat Wayang Sawahlunto
15 Oktober 2024 9:30 WIB
Sejarah 'Orang Rantai' di Tambang Batu Bara Ombilin Dikisahkan Ulang lewat Wayang Sawahlunto
Keberadaan 'orang rantai' yang dibawa pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai buruh paksa di tambang batu bara Ombilin, Sumatra Barat, menciptakan asimilasi budaya antara kultur Jawa dan Minangkabau di Sawahlunto. Salah satu hasilnya adalah wayang Sawahlunto.
Lantunan bunyi gamelan terdengar bersahutan dengan sorak-sorai para remaja di Sanggar Karawitan Bina Laras, yang terletak di Sawahlunto, Sumatra Barat, pada akhir Agustus silam.
Mereka sedang belajar memainkan alat musik tradisional Jawa tersebut untuk mengiringi pertunjukan seni wayang Sawahlunto.
Berbeda dengan seni wayang kulit yang kerap kali menjadikan kisah Mahabharata dan Ramayana sebagai landasan ceritanya, wayang Sawahlunto menceritakan sesuatu yang berbeda, kata pemilik Sanggar Karawitan Bina Laras, Sajiman.
“Hal yang sangat berbeda yang kami sajikan di sini adalah wayang Sawahlunto menceritakan tentang sejarah orang rantai,” ujar Sajiman kepada wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (29/08).
“Orang rantai” adalah sebutan bagi ribuan rakyat Indonesia didatangkan dari luar pulau Sumatra—seperti pulau Jawa dan Sulawesi—untuk bekerja sebagai buruh paksa di lubang-lubang tambang batu bara milik pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Ombilin, Sawahlunto.
Pria berusia 68 tahun itu kemudian menunjukkan sebuah kotak berwarna hitam di ujung teras rumahnya yang terletak di daerah Kampung Durian, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto.
Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan satu per satu isi kotak tersebut: satu set wayang Sawahlunto dengan berbagai tokoh. Dia kemudian menyusunnya di atas selembar kain hitam.
“Ini namanya wayang Samin Surosentiko,” katanya sambil mengangkat salah satu wayang.
Tokoh wayang itu tampak bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana selutut. Tubuhnya tampak kurus sementara rantai mengikat kedua kakinya.
“Samin Surosentiko ini tokoh utama dalam wayang Sawahlunto ini,” ujar Sajiman, sambil membersihkan wayang tersebut dengan selembar kain.
Tokoh wayang ini merujuk pada sosok Samin Surosentiko, pelopor ajaran Saminisme di Blora, Jawa Tengah, yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan—menolak membayar pajak dan menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Dia kemudian ditangkap oleh Belanda, dipenjara di Nusakambangan, lantas dibuang ke Sawahlunto bersama tujuh pengikutnya. Selama masa pembuangannya, dia disebut pernah menjadi kepala salah satu tambang batu bara.
“Kalau ini orang Belanda,” ujar Sajiman kemudian, seraya memperkenalkan tokoh wayang lainnya.
Tokoh wayang satu ini mengenakan setelan jas berwarna merah dan celana berwarna biru. Kulitnya berwarna putih sementara rambut dan jenggotnya berwarna pirang.
Selain itu, terdapat tokoh-tokoh wayang lainnya dengan ragam etnis dan latar belakang sosial yang berbeda, mereka mewakili orang-orang yang berperan dalam sejarah tambang batu bara di Ombilin: para mandor, pekerja, tuan besar mandor, hingga tokoh perempuan Minang yang dinamai Bundo Kanduang.
Wayang Sawahlunto lahir dari sejarah kelam orang rantai di tambang batu bara Ombilin, sekaligus percampuran budaya antara Jawa dan Minangkabau. Inilah yang membedakannya dengan wayang lainnya di budaya Jawa.
Bagaimana sejarah orang rantai di Sawahlunto?
Pada 1867, seorang geolog Belanda, William Hendrik De Greve, ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, Pieter Mijer, untuk melakukan penelitian kandungan mineral di pedalaman Sawahlunto.
Sawahlunto yang berjarak sekitar 115km dari ibu kota Sumatra Barat, Padang, berada di lembah sempit di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, yang dikelilingi oleh beberapa bukit, yaitu Bukit Polan, Bukit Pari, dan Bukit Mato.
De Greeve menemukan adanya cadangan batu bara berkualitas tinggi di bawah permukaan tanah saat melakukan survei geologi di daerah tersebut.
Ia kemudian melaporkan temuannya kepada pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian mengirimkan tim ekspedisi untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Rogier D.M. Verbeek, seorang Belanda yang banyak berperan penting dalam penyelidikan batu bara Ombilin dalam laporannya memperkirakan secara kasar persediaan batu bara yang terdapat di berbagai tempat di Sawahlunto yang memiliki kandungan batu bara lebih kurang 200 juta ton.
Pemerintah kolonial Belanda mulai mengembangkan tambang batu bara di Sawahlunto dengan membangun infrastruktur pendukung, seperti rel kereta api, jalan raya, jembatan, terowongan, kantor, rumah sakit, sekolah, gereja, masjid, dan permukiman pekerja.
“Tambang batu bara di Sawahlunto itu dibuka tahun 1891 dan dibuka dengan menggunakan alat-alat manual seperti cangkul dan linggis,” ujar ahli sejarah dari Universitas Andalas, Zaiyardam Zubir.
Namun, tenaga kerja murah sulit diperoleh dengan merekrut penduduk lokal. Selain karena pola kerja kontrak yang tidak lazim, status penambang juga dipandang rendah oleh penduduk setempat.
Selain itu, kepadatan penduduk yang rendah di daerah tersebut dan tersedianya peluang ekonomi lainnya memperkuat posisi tawar penduduk lokal.
Penulis buku Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin Oleh Kolonial Belanda 1891-1927 yang diterbitkan pada 2006 itu mengungkapkan pemerintah Hindia-Belanda—melalui perusahaan yang mengelola tambang Ombilin—kemudian mendatangkan buruh tambang dengan dua cara, yakni buruh paksa paksa (dwangarbeiders) dan buruh kontrak (contractkoelies), ada juga buruh bebas (vrije arbeiders).
“Untuk mendatangkan buruh itu sulit karena harus diambil dari kampung-kampung miskin di daerah Jawa itu dan dibawa ke Sawahlunto dan biayanya sangat tinggi, yang paling murah biayanya adalah buruh paksa itu,” lanjutnya.
Buruh paksa diambil dari orang-orang hukuman di berbagai penjara di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Buruh kontrak didatangkan dari Penang, Singapura, dan Jawa. Buruh bebas berasal dari penduduk Minangkabau.
Para buruh paksa dibagi menjadi dua kategori: tahanan politik dan penjahat biasa. Kelompok pertama adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah kolonial, yang karenanya mereka dianggap berbahaya—seperti Samin Surosentiko.
Sementara kelompok kedua adalah orang-orang yang telah dijatuhi hukuman—bahkan terkadang beberapa kali—karena melakukan kejahatan seperti pembunuhan, pembunuhan berencana, atau pencurian.
Mereka dibawa dari penjara Glodok dan Cipinang di Batavia—sekarang bernama Jakarta.
Di kemudian hari, buruh paksa ini lebih dikenal dengan sebutan orang rantai karena rantai membelenggu kaki dan leher mereka. Sementara buruh kontrak dan buruh bebas dapat bekerja secara leluasa.
“Tujuan kakinya dirantai itu agar mereka tidak bisa melarikan diri. Meskipun ada juga kasus-kasus orang rantai yang melarikan diri,” ungkap Zaiyardam.
Dalam bukunya, Zaiyardam mendeskripsikan ribuan orang ini dipekerjakan secara paksa, tanpa upah yang layak dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Mereka disiksa, dirantai dan dipaksa bekerja tanpa mengenal waktu.
Mereka terpaksa tinggal di tangsi-tangsi milik Belanda, dan diberi upah sangat rendah. Mereka diberlakukan secara sewenang–wenang dengan kewajiban kerja paksa, tetapi tidak mendapatkan imbalan yang semestinya.
Dengan kaki dirantai dan dikawal oleh pasukan bersenjata, mereka digiring untuk menggali batu bara di lubang penggalian.
Zaiyardam merinci, buruh paksa mendapat upah paling rendah dibanding golongan buruh lainnya, mereka juga paling menderita.
Misalnya, pada tahun 1905 buruh paksa mendapat upah 18 sen, buruh kontrak 32 sen dan buruh bebas 62 sen.
25 tahun sesudahnya, pada 1930, upah yang didapat buruh paksa tak banyak berubah: sebanyak 25 sen untuk buruh paksa, 50 sen untuk buruh kontrak dan 70 sen untuk buruh bebas.
Kesenjangan itu memicu konflik di kalangan buruh, kata Zaiyardam. Sebagai contoh, ketika terjadi pemberontakan pada 1927, buruh paksa banyak ikut dalam pemberontakan itu.
“Keterlibatan buruh disebabkan oleh perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima dari orang-orang Belanda ketika bekerja pada tambang batubara Ombilin,” tulis Zaiyardam dalam bukunya.
Latar belakang hidup mereka sebagai pembunuh, pemberontak, dan perampok, membuat mereka diawasi secara ketat. Meski demikian, tercatat sejumlah buruh paksa berhasil melarikan diri.
Buruh paksa akan dihukum cambuk jika mereka melarikan diri, melalaikan pekerjaan, ikut serta dalam protes terhadap mandor mereka, atau berkelahi dengan pekerja lain atau dengan mandor.
Eman Erwiza dalam penelitiannya yang diterbitkan pada 1999, Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coalmines, West Sumatra, 1892-1996, menyebut para buruh paksa yang kuat secara fisik ditugaskan untuk melakukan pekerjaan yang lebih berat seperti membawa kayu untuk membuat penyangga, memotong batu bara, dan menarik kereta pengangkut batu bara.
Mereka yang lemah secara fisik ditugaskan untuk melakukan pekerjaan yang ringan seperti penjaga barak, atau merawat sesama narapidana—yang terakhir ini terutama pada tahun-tahun awal eksploitasi ketika perusahaan tidak memiliki tenaga medis yang memadai.
Pada tahun 1896 jumlah buruh adalah 1.234 orang, semuanya adalah buruh paksa. Seiring dengan bertambahnya jumlah tambang, jumlah total tenaga kerja juga bertambah.
Pada tahun 1921 jumlah buruh meningkat menjadi 11.046 orang, yang sebagian besar adalah buruh paksa dan buruh kontrak
Perusahaan lebih memilih merekrut buruh paksa daripada buruh kontrak karena biaya pemeliharaannya lebih murah dan produktivitasnya lebih tinggi daripada buruh kontrak.
Kesaksian keturunan orang rantai
Orang rantai yang “dibuang” di Sawahlunto dan bekerja sebagai pekerja paksa tambang batu bara di sana, kemudian beranak-pinak dengan sesamanya dan warga asli Sawahlunto.
Suryanto adalah generasi keempat dari orang rantai.
“Saya sekarang sudah cicit dari orang rantai. Kakek dari ayah saya adalah orang rantai,” ujar pria berusia 60 tahun tersebut.
“Kakek buyut saya memiliki nomor di tangan sebelah kanan dan ada tato dengan tulisan di bagian dahinya dan nama kakek buyut saya itu Sarmadi,” tuturnya kemudian.
Suryanto mengaku kakek buyutnya berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, dan tiba di Sawahlunto pada 1912.
Dia kemudian dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah Hindia Belanda di tambang batu bara Ombilin—yang diklaim sebagai tambang batubara terbesar di Asia Tenggara.
“Buyut saya pernah cerita ke kakek dan saya mendapatkan ceritanya dari ayah saya bahwa orang rantai ini dibawa dari berbagai macam daerah,” kata Suryanto.
“Mereka belum dirantai dan dibawa dengan paksa, dirantainya saat sampai di sini.”
Para pekerja dirantai di bagian kaki agar mereka tidak melarikan diri dan dipaksa untuk menggali batu bara di perut bumi Sawahlunto.
Bahkan, ketika sedang tak menambang, tangan mereka juga di rantai, kata Suryanto.
Pria yang berprofesi sebagai penjual minuman di Kawasan Lubang Mbah Suro—salah satu tambang di Ombilin yang namanya merujuk pada nama Samin Surosentiko—mengungkapkan, kendati pemerintahan Hindia-Belanda meninggalkan kepahitan dan penindasan, keberadaan tambang batu bara dan orang rantai di Sawahlunto melahirkan Kota Sawahlunto dengan berbagai macam etnis seperti saat ini.
“Walaupun itu perbuatan penjajah, dengan adanya pendatangan orang-orang itu dan seluruh budaya bersatu di sini,” katanya.
Penulis buku Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin Oleh Kolonial Belanda 1891-1927, Zaiyardam Zubir, menjelaskan bahwa kota Sawahlunto sebagai pusat permukiman buruh memperlihatkan pola kehidupan yang sesuai dengan negeri asal mereka di Jawa.
Bahkan nama perkampungan penduduk disesuaikan dengan nuansa Jawa, seperti Sukosari, Sidomulyo, dan Cebongan. Di kampung itu pada umumnya buruh masih memiliki hubungan keluarga.
Berdasarkan suku bangsa, pekerja di tambang Ombilin terdiri dari suku Jawa, Sunda, Bugis, Madura, Makassar, Tionghoa, dan Minangkabau, yang masing-masing membawa budayanya sendiri.
Asimilasi budaya di tambang batubara Ombilin menciptakan apa yang disebut sebagai bahasa Tangsi—merujuk pada tempat tinggal mereka.
Bahasa Tangsi merupakan percampuran antara bahasa Indonesia, Jawa dan Minangkabau. Bahasa ini diperkirakan lahir karena adanya peleburan budaya pada masa pemerintahan Hindia-Belanda di Sawahlunto.
Bahasa yang digunakan oleh para pekerja tambang untuk berkomunikasi ini kini masih lestari. Bahkan, bahasa ini digunakan dalam pagelaran wayang Sawahlunto.
Bagaimana asal mula wayang Sawahlunto?
Pertunjukan wayang kulit telah ada di Sawahlunto sejak tahun 1901, dibawa dari Jawa oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menghibur para pekerja tambang.
Kisah yang ditampilkan saat itu adalah epos Ramayana dan Mahabharata.
Pemililk Sanggar Karawitan Bina Laras, Sajiman, menuturkan keterlibatannya dalam pembuatan film tentang orang rantai pada 2007 silam mencetuskan ide untuk menceritakan kisah penjajahan terhadap orang rantai dalam seni pertunjukan wayang.
Pada 2009, pria pensiunan PT Bukit Asam ini bersama pegiat kesenian lainnya, Sriyanto, melakukan kajian tentang cerita dan tokoh yang akan dibawakan dalam wayang Sawahlunto.
“Terhitung tahun 2009 itu mulai dari cerita dan seluruh tokoh wayangnya ada, terealisasinya pada tahun 2011,” lanjutnya.
Pada tahun 2011, dosen Universitas Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang itu mulai mendesain wayang Sawahlunto.
“Yang pertama saya desain itu adalah gunungannya, saya terinspirasi untuk mencerminkan ikon Sawahlunto seperti gambar marawa, rumah gonjong dan orang rantai yang bekerja di tambang batu beserta PT Bukit Asam saat ini yang merupakan simbol dari perusahaan batubara,” katanya.
Dalang wayang Sawahlunto, Sriyanto, mengungkapkan dirinya melakukan riset dari berbagai sumber seperti buku dan keterangan-keterangan dari masyarakat tentang orang rantai.
Pada 2010, dia mulai memamerkan cerita yang telah dibuat selama setahun lebih bersama pegiat kesenian yang lain—termasuk Sajiman.
“Kebetulan ada pendokumentasian dari wayang Indonesia dan kami diminta untuk menampilkan cerita orang rantai, tetapi masih menggunakan wayang Purwo dan saya memilih tokoh wayang yang cocok dengan ketokohan dalam cerita wayang orang rantai ini,” katanya.
Setelah gunungan selesai dibuat, selanjutnya ia mulai mencari gambaran William Hendrik De Greve dari berbagai literatur, seperti buku dan artikel di internet.
Dia juga mulai merancang desain wayang tokoh utama, Samin Surosentiko.
“Untuk Samin Surosentiko saya gambarkan bukan dalam bentuk realis, tetapi dengan berbagai makna di dalamnya seperti kulitnya yang saya buat agak sedikit putih dan tidak seperti pekerja tambang,” katanya.
Sriyanto mengaku dirinya sempat mendapat kritikan atas pemilihan warna kulit tokoh wayangnya.
Namun, menurutnya, warna kulit tokoh Samin Surosentiko dalam wayang Sawahlunto untuk memaknai kebaikan sang legenda yang namanya diabadikan sebagai nama salah satu lubang tambang yang saat ini menjadi ikon wisata Kota Sawahlunto.
“Kemudian saya baru membuat tokoh-tokoh lainnya seperti teman-teman Samin Surosentiko,” katanya.
Apa kisah yang dibawakan dalam wayang Sawahlunto?
Salah satu lakon dalam wayang Sawahlunto mengisahkan perjalanan hidup Samin Surosentiko, keturunan bangsawan Jawa yang memutuskan untuk meninggalkan kehidupan aristokrat demi melawan pemerintah Belanda.
“Beliau suka berkumpul dengan warga biasa dan juga suka mengembara,” ujar Sury Anton.
Samin mengobarkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Hindia-Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai ajaran Samin kemudian disebut sebagai sedulur sikep.
“Pada masa Hindia-Belanda, Samin Surosentiko ini menanamkan kejujuran dan kebaikan dan ketika itu memang beliau yang memberikan informasi kepada masyarakat dan menyuarakan untuk tidak memberikan upeti kepada Belanda dan itu diketahui oleh Belanda."
"Dia ditangkap serta beberapa pengikutnya dan dibawa sebagai tahanan atau tawanan Belanda,” lanjutnya.
Karena hal tersebut, Samin Surosentiko dibawa ke Sawahlunto untuk dijadikan sebagai buruh paksa atau orang rantai.
Sebagai pelopor dari wayang Sawahlunto, Sajiman mengungkapkan bahwa cerita tentang Samin Surosentiko tidak hanya sampai saat dirinya menjadi pekerja paksa saja, tapi juga saat dia menjadi mandor.
Dikatakan oleh Sriyanto, Samin Surosentiko kerap membantu para tahanan lainnya untuk melarikan diri dari tambang Ombilin. Mitos yang beredar, katanya, Samin “memiliki ilmu yang tinggi”.
“Dia tahu kalau orang Belanda takut dengan harimau dan dia mengubah dirinya menjadi harimau. Saat orang Belanda melarikan diri, Samin Surosentiko menyuruh para pekerja lainnya untuk melarikan diri,” ujarnya.
Wartawan di Padang, Halbert Caniago, berkontribusi dalam artikel ini.