Konten Media Partner

Sejarawan Protes Penyebutan Negara Inggris di Indonesia – 'Melecehkan Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales'

11 April 2025 8:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Sejarawan Protes Penyebutan Negara Inggris di Indonesia – 'Melecehkan Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales'

Sejarawan dan peneliti memprotes penyebutan United Kingdom (UK) di Indonesia yang hanya disebut "Inggris".
zoom-in-whitePerbesar
Sejarawan dan peneliti memprotes penyebutan United Kingdom (UK) di Indonesia yang hanya disebut "Inggris".
Sejarawan dan peneliti memprotes penyebutan United Kingdom di Indonesia yang hanya disebut sebagai "Inggris". Mereka mengatakan UK juga mencakup wilayah lainnya di Kepulauan Britania, yaitu Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales.
"Pada dasarnya, itu melecehkan, mengabaikan, dan menyingkirkan semua anggota negara 'Kepulauan Britania' yang ada di dalam United Kingdom," ujar Peter Carey, sejarawan keturunan Irlandia dan Skotlandia, kepada BBC News Indonesia.
Peter tidak menyalahkan masyarakat Indonesia. Namun, ia melontarkan protes karena penyebutan ini dilegitimasi oleh Kedutaan Besar UK di Jakarta yang dalam pernyataan resminya selalu menyebut institusi mereka sebagai "Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta".
"Jadi, sama saja seperti ada pernyataan dari pemerintah Indonesia, tapi penyebutannya Jawa Raya. Tidak masuk akal," tutur Peter.
Kedutaan Besar UK di Jakarta mengaku sudah mengetahui mengenai protes ini, tapi mereka masih akan menggunakan kata "Inggris" karena lebih familier di kalangan masyarakat Indonesia.
Lebih jauh, anggota Partai Buruh UK, Christophe Dorigne-Thomson, mengatakan kondisi ini juga terjadi di banyak negara lain. Ia pun mendesak pemerintah UK mencari padanan kata UK yang tepat di Indonesia.

Apa perbedaan United Kingdom dan Britania Raya atau Inggris Raya?

Dalam situs resmi Perdana Menteri UK, dituliskan bahwa United Kingdom merupakan "negara-negara di dalam satu negara".
Menurut keterangan di situs itu, UK terdiri dari empat negara berdaulat, yaitu Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Sementara itu, sebutan Britania Raya hanya mencakup Inggris, Skotlandia, dan Wales—tanpa Irlandia Utara.
"Jadi pada dasarnya, United Kingdom bukan hanya Inggris, seperti halnya Indonesia bukan hanya Jawa. Jawa kebetulan pulau berpopulasi terbanyak dan episentrum perekonomian Indonesia, tapi bukan keseluruhan Indonesia," kata Peter.
"Jika WNI ke London dan datang ke kedutaannya lalu tiba-tiba namanya KBJR, Kedutaan Besar Jawa Raya, pasti tidak akan senang. 'Inggris' pun begitu," tambahnya.
Peter menegaskan bahwa penamaan ini sangat penting.
"Seperti yang dikatakan orang Romawi bahwa 'Nomen est Omen', bahwa sebuah nama membawa serta makna tersirat dan makna tersembunyi," ucapnya.
Ia lantas memaparkan bahwa Inggris, Skotlandia, Irlandia Utara, dan Wales memiliki sejarah panjang masing-masing hingga kini bisa berdiri dengan pemerintahannya sendiri.
Skotlandia berulang kali menjadi target invasi Inggris sejak abad ke-10. Hingga akhirnya pada 1707, parlemen Inggris dan Skotlandia sepakat mendirikan kerajaan bersama bernama "Great Britain" atau Britania Raya.
Saat itu, Irlandia belum bergabung. Namun, berdasarkan Undang-Undang Poynings, parlemen Irlandia masih berhubungan dengan parlemen Inggris.
Hingga akhirnya, parlemen Inggris dan Irlandia menyepakati Konstitusi 1782. Di bawah konstitusi itu, parlemen Irlandia tak lagi terikat dengan Inggris.
Namun, keadaan kembali berubah pada 1798. Saat itu, Irlandia menghadapi sejumlah ancaman, seperti pemberontakan dan ancaman invasi Prancis.
Untuk menghindari ancaman tersebut, parlemen Irlandia dan Inggris akhirnya sepakat untuk menandatangani Undang-Undang Penyatuan 1800. Berdasarkan UU itu, Irlandia bergabung dengan Kerajaan Britania Raya.
Namun, pergolakan terus memanas di Irlandia, sampai akhirnya negara itu terpecah pada 1922. Irlandia Utara masuk Kerajaan Britania Raya, sementara Republik Irlandia memisahkan diri.
Tahun 1927, nama resmi kerajaan itu berubah menjadi Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara atau United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, yang hingga kini disingkat menjadi United Kingdom.
Pada masa perjuangan itu, kata Peter, banyak negara memang masih menyebut UK sebagai Inggris karena kebiasaan.
Menurut Peter, di Indonesia sendiri terminologi "Inggris" sudah dipakai sejak pelayar Portugis datang ke Nusantara pada abad ke-16. Sejak saat itu, belum ada perubahan sehingga warga lokal sudah terbiasa.
"Jadi pada dasarnya orang Indonesia tidak salah, tapi karena Inggris sudah keluar dari common market [Brexit] dan di era yang modern dan 'woke' ini, isu nama dan nomenklatur jadi penting," tutur Peter.
Peter lantas bercerita bahwa dia juga baru merasa janggal dengan sebutan "Inggris" di Indonesia setelah UK keluar dari Uni Eropa atau Brexit pada 2019.
Saat itu, banyak warga Irlandia Utara dan Skotlandia menolak Brexit karena dianggap bakal merugikan perekonomian mereka.
Sejak Brexit, perdebatan mengenai identitas Irlandia Utara dan Skotlandia sebagai bagian dari UK pun kembali menguat.
Pada saat itu, Peter mulai memperhatikan surat-surat yang ia terima dari Kedutaan Besar UK di Jakarta.
"Sekarang sudah sampai ke titik di mana sudah tak bisa lagi diterima ketika mengirimkan surat atau undangan atas nama Inggris Raya," katanya.
"Itu merupakan pelecehan terhadap populasi yang bukan orang Inggris, seperti ayah saya yang Irlandia dan ibu saya yang Skotlandia."

'Tanggapan Kedubes UK tidak bisa diterima'

Kedutaan Besar UK di Indonesia mengaku sudah mengetahui mengenai protes dan desakan dari warganya ini.
"Saya mengonfirmasi bahwa kami mengetahui permintaan-permintaan ini," kata Juru Bicara Kedubes UK untuk Indonesia, Faye Belnis, dalam keterangan tertulisnya kepada BBC News Indonesia.
Namun, Faye menyatakan bahwa, "terminologi 'Inggris' dapat digunakan untuk menyebut UK, yang diterima secara luas di Indonesia."
Faye tak menjawab pertanyaan BBC News Indonesia mengenai langkah yang akan dilakukan oleh Kedubes UK untuk menanggapi protes-protes tersebut.
Ia juga tak menanggapi pertanyaan soal komunikasi antara Kedubes UK dan pemerintah Indonesia mengenai protes ini.
BBC News Indonesia juga sudah meminta konfirmasi dari juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Rolliansyah Soemirat, tapi tak direspons.
Peter sendiri sudah menyampaikan keluh kesahnya itu langsung kepada Duta Besar UK untuk Indonesia, Dominic Jermey, pada Februari lalu.
Dalam balasan pesan yang dilihat oleh BBC News Indonesia, Dominic mengatakan bahwa Kedutaan besar UK juga sedang membahas masalah tersebut.
"Dalam bahasa Indonesia, kami tetap memakai terminologi 'Inggris' yang lebih sering digunakan oleh publik, agar komunikasi kami dapat lebih dapat diketahui dan dipahami," tulis Dominic dalam surel itu.
"Kami menggunakan terjemahan yang lebih akurat dalam komunikasi yang formal dan resmi, tapi [masalah] ini masih dalam proses review."
Namun, Peter dan anggota Partai Buruh UK yang sedang tinggal di Indonesia, Christophe Dorigne-Thomson, menganggap pembelaan Dominic itu "tak bisa diterima".
"Pembelaan duta besar UK yang membenarkan penggunaan kata 'Inggris' dalam surel resmi demi pemahaman lokal bukan hanya keputusan birokrasi yang merusak, tapi itu juga gejala keterwakilan yang tidak adil," tutur Christophe.
Namun, Christophe menyadari Kedubes UK di Jakarta merupakan perwakilan pemerintah pusat.
Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat UK untuk mencari padanan kata yang tepat di tiap-tiap negara.

Kata apa yang seharusnya digunakan untuk menyebut UK dalam bahasa Indonesia?

Peter mengatakan bahwa terminologi yang tepat untuk United Kingdom dalam bahasa Indonesia sebenarnya "Kerajaan Bersatu".
"Menggunakan 'Kerajaan Bersatu' membedakan UK dari 'Britania Raya', yang hanya merujuk pada Great Britain, yaitu Inggris, Skotlandia, dan Wales, tak melibatkan Irlandia Utara," ucap Peter.
Namun, Peter menyerahkan keputusan mengenai penyebutan ini pada kesepakatan berdasarkan rujukan dalam bahasa Indonesia.
Sejarawan yang sudah tinggal berpuluh tahun di Indonesia ini juga telah menyampaikan usulan ini dalam beberapa surel kepada Duta Besar Dominic Jermey.
Dalam salah satu surelnya, Peter mengambil contoh beberapa negara yang berhasil mengubah penyebutan resmi UK dengan padanan kata yang lebih tepat, salah satunya Madagaskar.
Sama seperti Indonesia, masyarakat Madagaskar juga terbiasa menyebut orang-orang UK sebagai "Anglesi" atau "Inggris".
Meski demikian, Kedutaan besar UK di sana tidak lagi menggunakan kata "Inggris", melainkan Royaume-Uni.
"Di Madagaskar, Kedutaan Besar British sudah mengambil sikap dan memilih terminologi yang lebih tepat secara politis, walau secara umum di Madagaskar, Inggris masih digunakan untuk merujuk pada British," tutur Peter.
Namun selain Madagaskar, memang masih banyak negara yang masih menggunakan padanan kata "Inggris" untuk menyebut UK.
Christophe Dorigne-Thomson mengambil contoh bahwa sampai saat ini, UK masih disebut Igirisu di Jepang, Uingresa dalam bahasa Swahili, Yinggui dalam bahasa Mandarin, dan Yeong-guk di Korea Selatan.
Menurut catatan Christophe, total 2,8 miliar penduduk dunia masih menyebut UK dengan padanan kata Inggris.
Christophe menganggap "penghapusan Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara secara linguistik ini bukan hanya pengkhianatan terhadap realitas konstitusional UK, tapi juga pelanggaran hukum internasional, norma diplomatik, dan kerangka hak asasi manusia."

Tuntutan Partai Buruh Internasional

Menanggapi kondisi yang disebutnya sebagai "ketidakadilan" ini, Christophe menginisiasi mosi Partai Buruh Internasional UK untuk mengecam penggunaan "Inggris" dan padanan lainnya untuk merujuk UK dalam komunikasi diplomatik di luar negeri.
Sayap internasional dari Partai Buruh UK itu menyepakati mosi tersebut pada Januari lalu.
Melalui mosi itu, mereka menuntut pemerintah UK untuk mengakui bahwa praktik penyebutan "Inggris" itu sebagai bentuk diskriminasi sistemis terhadap warga British non-Inggris.
Tujuan akhir mosi ini adalah agar entitas UK di negara lain, termasuk British Council dan BBC, dilarang menggunakan padanan kata "Inggris" untuk menyebut UK.
"Kampanye ini mewakili seruan lebih luas untuk keadilan di dalam United Kingdom, selaras dengan nilai-nilai dasar Partai Buruh terkait kesetaraan, inklusi, dan akuntabilitas konstitusional," kata Christophe dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia.
Mosi ini kemudian akan dibawa ke Perdana Menteri Keir Starmer serta Konferensi Tahunan Partai Buruh yang bakal digelar pada 28 September hingga 1 Oktober mendatang.
Tak hanya itu, Christophe mengajukan protes ke Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta sejumlah utusan khusus PBB lainnya.
Ia juga melayangkan protes ke badan-badan Dewan Eropa, seperti Komisi Anti-Rasialisme dan Intoleransi, Sekretariat HAM Commonwealth, dan Kantor Institusi Demokrasi dan HAM.
"Ini saatnya pemerintah UK bertindak. Jika UK ingin dihormati sebagai kekuatan global, UK harus menghormati namanya sendiri," kata Christophe.