Konten Media Partner

Sepatu Nike untuk Pasar AS Banyak Diproduksi di Indonesia dan Negara Asia Lain – Bagaimana Dampak Pengenaan Tarif Trump terhadap Penjualan Nike?

10 April 2025 8:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Sepatu Nike untuk Pasar AS Banyak Diproduksi di Indonesia dan Negara Asia Lain – Bagaimana Dampak Pengenaan Tarif Trump terhadap Penjualan Nike?

Dunia mengenal Nike Air Jordan 1, sebagai salah satu sepatu ikonik merk asal AS. Sepatu ini adalah produk yang diciptakan Nike empat dekade lalu untuk pebasket legendaris Michael Jordan.
Meskipun Nike menjual sebagian besar produknya di AS, hampir semua sepatu ketsnya dibuat di Asia—kawasan yang menjadi sasaran tarif Presiden Donald Trump.
Sehari seusai pengumuman tarif, saham Nike anjlok 14%, didorong kekhawatiran atas dampak yang mungkin terjadi terhadap rantai pasok perusahaan.
Lalu, bagaimana hal ini akan berdampak pada penjualan sepatu Nike?
Hal ini tergantung pada seberapa besar kenaikan biaya yang ditetapkan Nike untuk dibebankan kepada konsumennya, dan berapa lama tarif ini berlaku.

Kenaikan harga

Setelah pengumuman tarif baru oleh Trump, barang dari Vietnam, Indonesia, dan China terkena impor AS terberat—antara 32% hingga 54%.
Meski begitu, muncul harapan bahwa Trump bersedia merundingkan tarif yang lebih rendah.
Pada Jumat (04/04), Trump mengatakan bahwa ia telah melakukan perbincangan, yang ia sebut "sangat produktif" lewat telepon dengan pemimpin Vietnam.
Hal ini sempat mendongkrak saham Nike setelah terjadi penurunan tajam sehari sebelumnya.
Namun, sebagian besar analis memperkirakan harga penjualan tetap akan naik.
Bank Swiss UBS memperkirakan bahwa akan ada kenaikan 10% hingga 12% pada harga barang yang berasal dari Vietnam—tempat Nike memproduksi setengah total produk sepatunya.
Indonesia dan China adalah dua negara Asia lain yang menjadi pusat produksi sepatu kets Nike.
"Kami melihat bahwa mengingat daftar tarif yang luas, industri akan menyadari bahwa hanya ada sedikit pilihan untuk mengurangi dampak dalam jangka menengah selain dengan menaikkan harga," kata analis UBS, Jay Sole.
David Swartz, analis ekuitas senior di Morningstar, juga memperkirakan bahwa kenaikan harga berpeluang terjadi.
Ia mengatakan kenaikan harga yang siginifikan akan mengurangi permintaan.
"Ini adalah industri yang sangat kompetitif. Dugaan saya, akan sulit bagi Nike untuk menaikkan harga lebih dari 10-15%. Saya rasa itu tidak akan bisa mengimbangi pengenaan tarif," katanya.
Warga China bekerja di pabrik yang memproduksi Nike.
Dengan kondisi ini, diperkirakan banyak produk pakaian dan alas kaki asal negara-negara Barat seperti H&M, Adidas, Gap, dan Lululemon akan menghadapi kesulitan yang sama.
Nike sudah mulai mengalami penipisan perolehan laba bersih.
Penjualan Nike pada tahun fiskal terakhir mencapai $51 miliar (Rp862 triliun).
Biaya produksi, pengiriman, perolehan laba dari pihak ketiga, dan biaya gudang, menghabiskan sekitar 55% dari pendapatan, sehingga menghasilkan margin laba kotor lebih dari 40%.
Namun, laba akan berkurang seiring penambahan biaya operasi bisnis lainnya. Sepertiga dari pendapatannya, misalnya, dihabiskan untuk biaya penjualan dan administrasi.
Saat memperhitungkan bunga dan pajak, margin laba Nike menyusut menjadi sekitar 11%.
Hal itu berlaku untuk semua produknya, karena Nike tidak membagi biaya secara terpisah untuk masing-masing jenis barang.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Rahul Cee, yang mendirikan situs ulasan sepatu kets Sole Review, mengatakan ada cara lain yang dapat dilakukan Nike untuk menjaga harga eceran tetap rendah.
Cee, yang pernah belajar sebagai desainer alas kaki dan bekerja untuk Nike dan Vans di India, mengatakan salah satu caranya adalah dengan menurunkan tingkat teknologi pada sepatu kets.
"Jadi, daripada menggunakan busa dan midsole berperforma tinggi, gunakan EVA (etilena-vinil asetat) yang dicetak dengan injeksi," katanya.
Pilihan lain adalah memperbaharui siklus desain setiap tiga hingga empat tahun, daripada mengeluarkan desain baru setiap satu atau dua tahun.
Pendapatan Nike bergantung pada konsumen mereka di AS.

Belum ada kepastian kenaikan harga produk

Simeon Siegel, direktur pelaksana di BMO Capital Markets, mengatakan sebagian besar perusahaan memandang pengumuman hari Rabu sebagai "masih jauh dari kesimpulan akhir".
"Saya kira tidak banyak orang yang percaya bahwa angka-angka itu sudah pasti," katanya.
Secara teori, Nike adalah merek besar sehingga seharusnya dapat menaikkan harga tanpa memengaruhi penjualan mereka, katanya.
Di sisi lain, Siegel mengatakan Nike belum bisa menunjukkan kenaikan angka yang bakal dikenakan kepada produknya.
Bahkan sebelum pengumuman tarif, Nike menghadapi kemerosotan penjualan yang menghalanginya menetapkan harga sepatunya.
Kepala keuangan perusahaan, Matthew Friend, sempat menyebut isu tarif ini memengaruhi kepercayaan konsumen.
Sementara itu, Nike sangat bergantung pada penjualan di AS. Pasar AS menyumbang sekitar US$21,5 miliar (sekitar Rp354 triliun) dari penjualannya—yang juga merupakan pangsa pasar terbesar di kawasan Amerika Utara.
Sentimen pasar AS menjadi begitu krusial bagi Nike karena secara langsung memengaruhi permintaan alas kakinya, kata Sheng Lu, profesor studi mode dan pakaian di University of Delaware.

Baca juga:

Sheng Lu mengatakan memperkirakan Nike akan terdesak membebankan biaya pungutan kepada konsumen.
"Nike kemungkinan besar akan menaikkan harga jika perang tarif terus berlanjut. Tidak ada cara bagi merek untuk menyerap kenaikan biaya pengadaan sebesar 30% hingga 50%."
Ia menambahkan: "Bagaimana mitra dagang AS bereaksi terhadap kebijakan tarif timbal balik yang juga akan berdampak besar."
Tiongkok telah membalas dengan pengenaan tarif sebesar 34% terhadap produk AS.
Sebagian alasan di balik kebijakan tarif Trump adalah keinginan lebih banyak perusahaan memproduksi barang yang bisa memenuhi kebutuhan AS.
Namun, Lu melihat Nike, atau perusahaan lain, tidak akan mengubah rantai pasoknyasecara signifikan dalam waktu dekat "karena kompleksitas dalam pembuatan alas kaki".
Itu termasuk waktu yang dibutuhkan untuk "mempertimbangkan daftar panjang faktor saat memutuskan di mana akan mendapatkan produk mereka - kualitas, biaya, kecepatan ke pasar, dan berbagai risiko kepatuhan sosial dan lingkungan".
Matt Powers dari Powers Advisory Group mengatakan kurangnya pabrik tekstil Amerika akan membuat Nike kesulitan dan mengeluarkan biaya besar untuk mengembalikan produksi kembali ke tanah AS.
Powers menambahkan: "Jika dilaksanakan transisi ini akan memakan waktu bertahun-tahun dan membutuhkan investasi yang signifikan."
Nike tidak menanggapi permintaan komentar BBC untuk artikel ini.
Sebanyak 30 pemasok di Asia juga sudah dihubungi, tetapi tidak ada yang memberi jawabn
Natalie Sherman di New York berkontribusi untuk liputan ini.