Konten Media Partner

Serial Agen Rahasia Menguasai Layar – Tontonan Aksi Mata-Mata Populer di Tengah Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah

23 Februari 2025 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Serial Agen Rahasia Menguasai Layar – Tontonan Aksi Mata-Mata Populer di Tengah Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah

Dari serial Netflix bertajuk The Night Agent hingga tayangan Slow Horses di Apple TV, kisah tentang agen rahasia kini kembali populer. Kisah-kisah itu dianggap relevan dengan situasi dunia belakangan ini.
Jika Anda sedang mencari serial untuk ditonton, kemungkinan besar Anda akan menemukan cerita mengenai pembunuhan, penipuan, atau setidaknya agen rahasia yang mencoba menguak segala kejahatan itu.
Dalam beberapa bulan belakangan, layar kaca khalayak dipenuhi berbagai tayangan, seperti The Day of The Jackal, yang bercerita tentang kucing-kucingan antara seorang pembunuh bayaran dan agen intelijen MI5.
Ada pula musim keempat dari Slow Horses, serial drama komedi soal agen rahasia yang tidak diunggulkan dalam lembaganya.
Seri lainnya adalah The Agency, adaptasi versi Amerika Serikat dari serial yang menampilkan ketegangan (thriller) Prancis, Le Bureau des Legendes. Serial Black Doves juga muncul di Netflix.
Begitu banyak tayangan thriller mata-mata di televisi, sampai-sampai Anda mungkin bertanya-tanya apakah hanya Anda yang tidak berprofesi sebagai agen rahasia di dunia saat ini.
Popularitas tayangan thriller mata-mata di televisi memang bukan hal baru.
Genre itu sudah menjadi andalan stasiun televisi atau penyedia tayangan berbayar, terutama karena bacaan mengenai spionase di berbagai penjuru dunia memang populer.
Novel mata-mata pertama kali menjamur pada awal Abad ke-19, merefleksikan ketidakpercayaan terhadap politik dan konflik militer kala itu.
Lihat saja The Spy: A Tale of the Neutral Ground karya James Fenimore Cooper. Novel itu mengangkat tema ketegangan selama Revolusi Amerika dan ketakutan bahwa kelompok Patriot sebenarnya mata-mata Inggris.
Waktu berlalu, genre itu mulai berkembang pesat di era Abad ke-20, ketika Perang Dunia dan Perang Dingin pecah.
Di masa itu, Amerika Serikat dan Inggris juga membentuk badan intelijen masing-masing. Pembentukan unit-unit itu membuat inspirasi cerita thriller mata-mata semakin subur.
Di era Perang Dingin, penulis-penulis Inggris, seperti John le Carre dan Len Deighton tenar karena karyanya mulai dari Tinker Tailor Soldier Spy hingga Ipcress File.
Sementara itu, Ian Flemming menciptakan cetak biru bagi semua cerita tentang agen rahasia dengan serial James Bond.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Kemudian, datanglah era 80-an hingga 90-an, saat novelis mata-mata AS, Tom Clancy, menjadi fenomena global dengan serial Jack Ryan ciptaannya.
Kini, lebih dari 200 tahun setelah literatur tentang spionase pertama kali diterbitkan, popularitas cerita thriller mata-mata semakin tinggi.
Di Inggris, pasar novel mata-mata tumbuh 45% dalam setahun hingga mencapai 9,7 juta pound sterling atau nyaris Rp200 miliar pada 2024, berdasarkan Nielsen BookData.
Philip Stone, kepala manajemen akun penerbit Nielsen BookData, mengatakan kepada BBC bahwa genre kejahatan secara umum memang sedang "meledak" saat ini.
Secara khusus, penjualan genre thriller mata-mata naik "karena pengaruh kesuksesan adaptasi serial Slough House karya Mick Herron."
Slough House sendiri merupakan seri novel yang mencakup Slow Horses, yang kemudian diadaptasi menjadi tayangan populer di Apple TV+.
Ketika rating sejumlah tayangan mata-mata di layar kaca naik, musim pertama The Night Agent menduduki peringkat tujuh sebagai serial paling banyak ditonton di Netflix, dengan 98,2 juta penonton.
Popularitas ini menunjukkan, banyak orang menikmati dan menanti kelanjutan kisah mata-mata.
Namun, mengapa genre itu kembali populer belakangan ini?

Fiksi mata-mata menggambarkan realitas

Dengan kekelaman di berbagai penjuru Bumi saat ini, drama mata-mata dirasa dekat dengan penonton karena tayangan itu merefleksikan dunia yang tak bisa ditebak dan sangat tidak stabil sekarang ini.
Belakangan ini, kebenaran tersamarkan dengan disinformasi, membuat kepercayaan terhadap pemerintah dan otoritas lainnya sangat rendah.
Di Inggris, 45% orang yang ditanyai oleh Pusat Nasional untuk Riset Sosial dalam sebuah survei pada 2024 mengatakan bahwa mereka "hampir tidak pernah" percaya pada pemerintah dari partai mana pun.
Di AS, situasinya hampir sama. Jajak pendapat Gallup pada 2023 menunjukkan hanya 8% publik menaruh kepercayaan besar pada Kongres.
Setahun kemudian, studi Pusat Riset Pew menunjukkan hanya 22% orang dewasa di AS yang mengaku percaya pemerintah akan bekerja dengan baik.
Joseph Oldham, seorang pengajar komunikasi dan media massa di British University di Mesir, mengatakan kenaikan popularitas thriller mata-mata belakangan ini sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti pada era Perang Dunia.
"Saya pikir momen-momen dalam sejarah ini mirip satu sama lain, dan tentu momen sekarang ini merupakan berdasarkan pada ketegangan geopolitik antara kekuatan besar yang di luar kendali," ujar penulis buku Paranoid Visions: Spies, Conspiracies, and the Secret State itu.
"Semua dapat dilihat dari perang yang pecah di depan mata hingga ancaman kiamat yang terus menghantui. Ada pula ketakutan akan perang proksi dan spionase."
Tingkat kecurigaan orang terhadap keadaan sekitarnya juga sedang tinggi saat ini. Satu studi dari Oxford University menunjukkan 27% responden meyakini ada konspirasi di sekitar mereka.
Sementara itu, sejumlah tayangan populer belakangan ini, seperti The Night Agent, menawarkan tema konspirasi.
The Night Agent merupakan serial thriller yang berfokus pada ketidakpercayaan di dalam Gedung Putih.
Diadaptasi dari novel karya Matthew Quirk, musim pertama serial ini mengangkat kisah agen FBI bernama Peter Sutherland (Gabriel Basso).
Sutherland berupaya menguak identitas pejabat Gedung Putih yang menjadi otak di balik teror bom kereta bawah tanah.
Di musim kedua, Sutherland digambarkan sedang dikejar-kejar karena informasi yang dikumpulkan dalam satu misi ternyata bocor. Kebocoran itu diduga terjadi di kalangan CIA.
Serial Prime Target juga menggunakan formula serupa. Serial itu berkisah tentang Edward Brooks yang merasa dihantui sosok tak dikenal.
Segala ketakutan ini muncul setelah dia nyaris menemukan pola angka prima yang menjadi kunci seluruh komputer di dunia.
Dari perspektif psikologi, orang dapat tertarik dengan tayangan-tayangan seperti The Night Agent dan Prime Target karena kepastian yang disajikan di akhir episode.
Serial itu memang biasanya diakhiri dengan pemecahan misteri, seperti menguak konspirasi geopolitik sehingga penonton dapat mengetahui penjahat yang sesungguhnya.
"Drama mata-mata sangat menarik karena menawarkan adrenalin dan ruang untuk kabur, juga kenikmatan mengikuti petualangan sang pahlawan," ucap Justin Spray, pembuat film sekaligus anggota British Psychological Society.
"Namun, elemen terpentingnya adalah bagaimana drama itu memenuhi keinginan kuat kita untuk membongkar ambiguitas dan ketidakpastian. Ketika kita berhasil, sistem penghargaan di dalam otak menjadi aktif."
Menurut Spray, drama-drama itu juga memenuhi rasa penasaran penonton soal yang tidak diketahui atau terlarang saat ini.
"Namun, di dunia yang semakin kompleks dan terbelah ini, drama itu juga membuat kita dapat bergerak secara aman, sembari mencari pemahaman tentang isu yang penting secara nasional dan global," katanya.

Genre thriller mata-mata diobrak-abrik

Jika serial thriller mata-mata di awal 2000-an menyuguhkan drama dengan sangat serius, tayangan belakangan ini terkadang juga menggambarkan sisi konyol dari spionase.
Ambil contoh serial Mr & Mrs Smith dan Black Doves, yang menawarkan suasana dan gaya berbeda.
Karakter-karakter di kedua serial itu terkadang merendahkan diri sendiri, membawa humor gelap yang biasanya tak ada di tayangan genre thriller mata-mata pada umumnya.
Formula ini tampaknya menarik bagi generasi muda. Mereka juga biasanya menyukai moral yang ambigu dalam satu karakter.
Karakter-karakter seperti Villanelle di Killing Eve, atau The Jackal di The Day of The Jackal, dan Sam Young di Black Doves memang digambarkan sebagai pembunuh bayaran.
Namun, ada sifat atau kisah dalam diri mereka yang dapat membuat penonton mendukung mereka, mengaburkan batasan antara pahlawan dan penjahat.
Sementara itu, karakter yang benar-benar digambarkan sebagai penjahat juga mengalami pergeseran.
"Menarik melihat karakter jahat dalam kisah-kisah itu berubah untuk menggambarkan kekhawatiran masa kini," tutur Spray.
Berdasarkan pengamatan Spray, di masa-masa sebelumnya, genre thriller mata-mata populer karena masyarakat takut terhadap tindakan negara-negara adidaya.
"Cerita di masa kini menggambarkan kekhawatiran-kekhawatiran seperti krisis iklim dan perdagangan orang, dan tentunya sangat berdasar pada ketidakpercayaan kita pada pemerintah," ucapnya.
Lebih jauh, Oldham mengamati bahwa pihak yang diceritakan menyewa mata-mata dalam serial belakangan ini juga berbeda dari sebelumnya.
"Dulu, fiksi mata-mata biasanya mengangkat kisah agen yang bekerja untuk negara atau pemerintah, seperti James Bond atau George Smiley, atau tentang konspirasi mata-mata yang diburu dan diadili pemerintah," katanya.
"Namun, dalam tayangan masa kini seperti Black Doves, karakter utamanya bekerja untuk perusahaan intelijen swasta, dan biasanya mereka tidak tahu mereka bekerja untuk siapa."
"Karakter-karakter ini terpisah dari institusi negara. Karakter ini seperti menggambarkan kehidupan saat ini, di mana pemerintah semakin tidak efektif menghadapi kekhawatiran para kapitalis."
"Privatisasi" dunia mata-mata dalam Black Doves hanya satu dari banyak aspek unik dalam serial karya Joe Barton itu.
Serial ini berfokus pada kisah duo mata-mata bernama Sam Young dan Helen Webb. Mereka bekerja sama melawan pasukan tak dikenal untuk menguak pembunuh kekasih Helen.
Di tengah petualangan itu, Sam dan Helen menyadari juga bisa mati, bahkan di tangan orang yang menyewa jasa mereka.
Perusahaan swasta misterius yang berusaha mengendalikan kekacauan seperti itu juga bisa terlihat dalam serial Killing Eve.
Dalam serial itu, 12 orang tak dikenal menyewa jasa penyelidik intelijen Inggris untuk memburu pembunuh bayaran bernama Villanelle.
Dalam Mr & Mrs Smith juga sistem komputer misterius bernama HiHi lah yang memberikan tugas kepada para karakter utama. Sejumlah penggemar berspekulasi HiHi sebenarnya mesin AI.
Spekulasi itu mungkin bisa jadi teori konspirasi yang dapat dieksplorasi pada lanjutan Mr & Mrs Smith. Saat ini, rumah produksi memang sudah memberikan lampu hijau untuk musim kedua serial itu.
Melihat begitu banyak tayangan dan novel terkait spionase, rasanya kita tak perlu jasa agen rahasia untuk mengungkap bahwa kita akan terus melihat lebih banyak kisah soal operasi rahasia di televisi.
Meski tayangan-tayangan ini hanya menawarkan solusi berdasarkan fantasi, Oldham menganggap serial itu dapat membawa kenyamanan tersendiri bagi penonton.
"Ada kutipan indah dari [sejarawan kultural] Michael Denning yang mengatakan, 'Agen rahasia mengembalikan agen kemanusian ke dunia yang semakin kehilangan sentuhan kemanusiaan," kata Oldham.
Anda dapat menyimak artikel ini dalam bahasa Inggris dengan judul 'The baddies reflect the worries of today': How TV spy thrillers are booming in an age of distrust pada BBC Culture.