Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Shwe Kokko, Kota di Myanmar yang Dibangun dari Bisnis Penipuan Online – Apa Peran China di Belakangnya?
9 Februari 2025 9:10 WIB
Shwe Kokko, Kota di Myanmar yang Dibangun dari Bisnis Penipuan Online – Apa Peran China di Belakangnya?
Gedung-gedung pencakar langit seolah tumbuh dari ladang jagung di Myanmar bagian selatan, dekat perbatasan Thailand. Pemandangannya sedemikian mencolok mata sampai-sampai orang yang baru pertama ke sana merasa perlu berkedip untuk memastikan bahwa itu bukan khayalan.
Delapan tahun yang lalu, tidak ada apa-apa di wilayah ini. Hanya ada pepohonan, beberapa bangunan semen yang dibangun kasar, dan sisa-sisa perang saudara berkepanjangan.
Namun di daerah perbatasan Myanmar dengan Thailand itulah sebuah kota kecil muncul seperti fatamorgana. Namanya adalah Shwe Kokko, atau "Pohon Hujan Emas".
Kota ini diduga dibangun di atas bisnis penipuan, pencucian uang, dan perdagangan manusia. Aktor di belakangnya adalah She Zhijiang yang kini mendekam di penjara Bangkok, menunggu ekstradisi ke China.
Yatai, perusahaan milik She Zhijiang yang membangun kota ini, menggambarkan Shwe Kokko dalam video promosi mereka sebagai kota resor, destinasi liburan yang aman bagi turis China, dan surga bagi orang-orang superkaya.
Shwe Kokko juga merupakan kisah tentang ambisi tanpa batas yang telah menyebar dari China dalam dua dekade terakhir.
She Zhijiang bermimpi membangun kota gemerlap ini sebagai tiket keluarnya dari dunia penipuan dan perjudian.
Namun dengan ambisi yang begitu tinggi, ia telah menarik perhatian Beijing, yang kini berupaya memberantas operasi penipuan di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.
Salah satunya karena jaringan penipuan itu semakin banyak menargetkan warga China.
Pemberitaan tentang penipuan ini juga merugikan pariwisata Thailand.
Negara ini memutuskan untuk mematikan listrik ke kawasan di seberang perbatasannya, memperketat aturan perbankan, dan bertekad memblokir visa orang-orang yang dicurigai menggunakan Thailand sebagai rute transit.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Selain itu, Shwe Kokko kini juga terjebak di Myanmar yang dilanda perang setelah kudeta.
Perebutan kekuasaan di Myanmar membuat negara ini tidak mampu mendatangkan investasi dan pengunjung yang dibutuhkan Shwe Kokko untuk bertahan hidup.
Yatai berusaha memperbaiki citra buruk kotanya dengan mengizinkan jurnalis untuk melihatnya, sambil berharap laporan yang lebih menguntungkan dan bahkan bisa membuat She Zhijiang bebas dari penjara.
Jadi mereka mengundang BBC ke Shwe Kokko.
Ada apa di Shwe Kokko?
Sulit untuk mencapai kota ini. Sejak pembangunan yang dimulai pada 2017, Shwe Kokko telah menjadi tempat terlarang, tidak dapat diakses oleh turis biasa.
Ketika perang saudara di Myanmar meningkat pascakudeta militer pada 2021, akses ke kota ini menjadi semakin sulit.
Dibutuhkan waktu tiga hari dari kota terbesar di Myanmar, Yangon, untuk sampai ke Shwe Kokko.
Selama perjalanan pengunjung harus melewati berbagai pos pemeriksaan, jalan yang diblokir, dan risiko terjebak dalam baku tembak bersenjata.
Masuk dari Thailand memang hanya beberapa menit, tetapi cara ini memerlukan perencanaan yang matang guna menghindari patroli polisi dan tentara Thailand.
Baca juga:
Rekan She Zhijiang membawa kami berkeliling, menyoroti jalan-jalan yang baru diaspal, vila-vila mewah, pepohonan.
"Tuan She percaya dalam menciptakan kota yang hijau," kata mereka kepada kami.
Pemandu kami adalah Wang Fugui, yang mengaku bahwa dirinya adalah mantan polisi dari Guangxi di China selatan.
Ia sempat dipenjara di Thailand atas tuduhan penipuan yang ia yakini direkayasa. Di penjara itu, dia bertemu She Zhijiang dan menjadi salah satu pengikut yang paling dipercaya.
Sekilas, Shwe Kokko tampak seperti kota provinsi di China.
Papan nama di gedung-gedung tertulis dalam huruf China, dan terdapat juga arus kendaraan konstruksi buatan China yang hilir mudik dari lokasi pembangunan.
Yatai tidak mengetahui secara rinci latar belakang para penyewa di bangunan mereka, seperti banyak hal lainnya yang juga tidak mereka ketahui.
"Orang-orang kaya, dari banyak negara, mereka menyewa vila-vila," kata mereka kepada kami.
Lalu, bagaimana dengan bisnis-bisnis di sana? "Banyak bisnis. Hotel, kasino."
Namun, mayoritas orang yang kami temui di sana adalah warga Karen lokal, salah satu etnis minoritas di Myanmar, yang datang ke Shwe Kokko setiap hari untuk bekerja.
Kami melihat sangat sedikit pengunjung dari luar negeri, yang seharusnya menjadi pelanggan hotel dan kasino.
Yatai mengeklaim tidak ada lagi penipuan di Shwe Kokko. Mereka telah memasang papan iklan besar di seluruh kota yang menyatakan, dalam bahasa China, Myanmar, dan Inggris, bahwa kerja paksa tidak diizinkan, dan bahwa "bisnis online" harus ditinggalkan.
Namun, kami diam-diam diberitahu oleh penduduk lokal bahwa bisnis penipuan masih terus beroperasi.
Dimulai satu dekade yang lalu dalam kegilaan investasi China yang tidak terkendali di pesisir Kamboja, kemudian berpindah ke daerah tandus tak berhukum di perbatasan Myanmar dengan China, para operator penipuan kini telah menetap di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.
Di sekitar mereka, militer Myanmar dan berbagai kelompok pasukan pemberontak tengah berperang untuk menguasai negara bagian Karen.
Bisnis penipuan telah tumbuh menjadi usaha yang bernilai miliaran dolar. Jaringan ini melibatkan ribuan pekerja dari China, Asia Tenggara, Afrika, dan subkontinen India.
Orang-orang ini dipaksa untuk bekerja di kompleks yang dikelilingi tembok untuk mengambil tabungan para korban dari seluruh dunia.
Ada beberapa orang yang bekerja di sana secara sukarela, tetapi ada pula yang diculik dan dipaksa bekerja.
Mereka yang berhasil melarikan diri menceritakan kisah mengerikan tentang penyiksaan dan pemukulan. Beberapa dari korban itu datang dari Shwe Kokko.
Kami berbicara dengan seorang perempuan muda yang telah bekerja di salah satu pusat penipuan beberapa minggu sebelum kunjungan kami.
Ia mengakui tidak menikmati pekerjaan itu dan diizinkan untuk pergi.
Pekerjaannya, katanya, adalah bagian dari tim pemodelan, sebagian besar terdiri dari perempuan muda yang menarik.
Mereka menghubungi calon korban dan mencoba untuk membangun hubungan intim secara online.
Baca juga:
"Targetnya adalah orang lanjut usia," katanya.
"Kami memulai percakapan seperti 'Oh, Anda mirip sekali dengan salah satu teman saya'. Setelah berteman, Anda menyemangati mereka dengan mengirimkan foto Anda, kadang-kadang memakai pakaian tidur."
Kemudian, ia menjelaskan, percakapan beralih ke skema bisnis cepat kaya, seperti investasi kripto. Para perempuan itu mengklaim bahwa itulah cara mereka menghasilkan banyak uang.
"Ketika mereka merasa sudah dekat, kamu menyerahkan mereka ke tim bagian obrolan," katanya. "
Orang-orang yang ada di bagian obrolan akan terus mengirim pesan kepada klien, membujuk mereka untuk membeli saham di perusahaan kripto."
Selama kunjungan singkat di Shwe Kokko, kami hanya diizinkan untuk melihat apa yang Yatai ingin kami lihat.
Meskipun begitu, jelas bahwa penipuan belum berhenti, dan mungkin masih menjadi bisnis utama di kota ini.
Permintaan kami untuk melihat bagian dalam salah satu gedung perkantoran yang baru dibangun ditolak. Itu adalah area pribadi, mereka terus mengatakan alasan itu ke kami.
Selain itu, kami selalu dikawal oleh penjaga keamanan dari kelompok milisi yang mengendalikan wilayah perbatasan ini.
Kami diizinkan untuk merekam pekerjaan konstruksi dan bagian luar bangunan, tetapi tidak bisa masuk ke dalamnya. Banyak jendela dibangun dengan jeruji di dalamnya.
"Semua orang di Shwe Kokko tahu apa yang terjadi di sana," kata perempuan muda yang dulunya bekerja di pusat penipuan.
Ia menolak klaim Yatai yang mengatakan bahwa mereka tidak lagi mengizinkan pusat penipuan di Shwe Kokko.
"Itu adalah kebohongan. Tidak mungkin mereka tidak tahu tentang ini. Seluruh kota melakukannya di gedung-gedung bertingkat tinggi itu."
"Tidak ada yang pergi ke sana untuk bersenang-senang. Tidak mungkin Yatai tidak tahu."
Siapa She Zhijiang?
"Saya bisa menjamin bahwa Yatai tidak akan pernah menerima penipuan kecurangan telekomunikasi," kata She Zhijiang dalam panggilan dari Penjara Reman Bangkok, di mana ia ditahan.
Yatai ingin kami mendengar langsung dari She, dan menghubungkannya melalui sambungan video yang buruk.
Hanya Wang yang terlihat sedang berbicara dengannya; kami harus tetap berada di luar pandangan penjaga penjara, dan harus bergantung pada Wang untuk mengajukan pertanyaan kami padanya.
Tidak banyak yang diketahui tentang She Zhijiang, seorang pengusaha dari kota kecil di China yang dituduh Beijing sebagai otak kejahatan.
Lahir di sebuah desa miskin di provinsi Hunan, China, pada 1982, ia meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun dan belajar pemrograman komputer.
Ia pindah ke Filipina di awal usia 20-an dan terlibat dalam perjudian online, yang ilegal di China.
Di sinilah ia mulai mengumpulkan uang. Pada 2014, ia dihukum oleh pengadilan China karena menjalankan lotere ilegal, tetapi ia tetap berada di luar negeri.
Dia berinvestasi di bisnis perjudian di Kamboja, dan berhasil mendapatkan kewarganegaraan Kamboja. Ia telah menggunakan setidaknya empat nama berbeda.
Pada 2016, ia mencapai kesepakatan dengan seorang panglima perang Karen, Saw Chit Thu, untuk membangun kota baru bersama.
She Zhijiang akan menyediakan dana, alat dan material konstruksi dari China, sementara Saw Chit Thu dan 8000 pasukan bersenjatanya akan menjaga keamanan.
Video-video berkilau dari Yatai menjanjikan investasi sebesar US$15 miliar (sekitar Rp245 triliun) dan menggambarkan sebuah kota impian yang dipenuhi gedung-gedung tinggi untuk hotel, kasino, dan taman siber.
Shwe Kokko digambarkan sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan Xi Jinping (Belt and Road Initiative atau BRI), yang membawa dana dan infrastruktur China ke seluruh dunia.
China secara terbuka memisahkan diri dari She Zhijiang pada 2020, dan pemerintah Myanmar meluncurkan penyelidikan terhadap Yatai, yang membangun jauh melampaui 59 vila yang diizinkan dan telah mengoperasikan kasino sebelum dilegalkan di Myanmar.
Pada Agustus 2022, berdasarkan permintaan China kepada Interpol, She Zhijiang ditangkap dan dipenjara di Bangkok.
Dia dan rekan bisnisnya, Saw Chit Thu, juga telah dikenakan sanksi oleh pemerintah Inggris karena hubungan mereka dengan perdagangan manusia.
She Zhijiang mengklaim menjadi korban dari aksi bermuka dua negara China.
Ia mengatakan bahwa dirinya mendirikan perusahaan Yatai atas instruksi Kementerian Keamanan Negara China, dan bersikeras bahwa Shwe Kokko merupakan bagian dari BRI.
Ia juga menuduh kepemimpinan komunis China berbalik melawannya karena ia menolak memberikan mereka kendali atas proyeknya.
Mereka menginginkan sebuah koloni di perbatasan Thailand-Myanmar, katanya. China membantah memiliki hubungan bisnis dengan She Zhijiang.
Meskipun membantah Yatai melakukan kesalahan, She Zhijiang mengakui adanya "kemungkinan besar" bahwa para penipu datang ke Shwe Kokko untuk menghabiskan uang mereka.
"Karena Yatai City sepenuhnya terbuka untuk siapa saja yang bisa masuk dan keluar dengan bebas. Menolak pelanggan, bagi seorang pengusaha seperti saya, sangat sulit. Ini adalah kelemahan saya."
Akan tetapi, menjadi tidak masuk akal untuk percaya bahwa Yatai, yang mengelola segala sesuatu di Shwe Kokko, tidak mampu menghentikan penipu yang datang dan keluar dari kotanya.
Sulit pula untuk memikirkan bisnis lain selain penipuan yang akan memilih beroperasi di sini.
Dengan pemutusan aliran listrik dan telekomunikasi dari Thailand, listrik di kota ini berasal dari generator diesel yang mahal untuk dioperasikan.
Dan komunikasi dilakukan melalui sistem satelit Starlink milik Elon Musk, yang juga sangat mahal.
Strategi Yatai adalah "menutupi proyek tersebut untuk menciptakan narasi bahwa Shwe Kokko adalah kota yang aman," kata Jason Tower, dari Institut Perdamaian Amerika Serikat, yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti operasi penipuan di Shwe Kokko.
Jason mengatakan mereka bahkan mungkin "mulai memindahkan beberapa komponen industri penipuan yang paling terkenal, seperti penyiksaan, ke zona lain."
Namun, dia tidak yakin rencana itu akan berhasil: "Jenis bisnis sah apa yang akan masuk ke Shwe Kokko? Kota ini sama sekali tidak menarik. Perekonomian akan terus menjadi ekonomi penipuan."
Bisnis di zona perang
Ketika akhirnya kami diizinkan untuk melihat ke dalam satu kasino di Shwe Kokko, yang dijalankan oleh seorang warga Australia yang ramah, dia memberitahu bahwa kasino itu akan ditutup.
Di dalam, satu-satunya pelanggan adalah warga Karen lokal, yang sedang berjudi pada permainan arcade populer di mana mereka harus menembak ikan digital.
Kami dilarang melakukan wawancara apa pun. Sementara di ruangan belakang, meja kartu dan roulette terlihat kosong.
Manajer dari Australia itu mengatakan bahwa kasino—yang dibangun enam tahun lalu—pernah sangat populer dan menguntungkan ketika hanya ada satu atau dua kasino di sana, sebelum perang saudara.
Namun saat ini, dengan setidaknya sembilan kasino yang beroperasi, tidak ada cukup pelanggan untuk dibagi, katanya.
Uang yang sesungguhnya berasal dari perjudian online, yang katanya merupakan bisnis utama di Shwe Kokko.
Mustahil untuk mengetahui berapa banyak uang yang dihasilkan dari perjudian online ini, dan berapa banyak yang dihasilkan dari aktivitas kriminal seperti pencucian uang dan penipuan.
Biasanya, bisnis penipuan ini dijalankan dari tempat yang sama dan oleh tim yang sama.
Ketika kami bertanya kepada Yatai berapa banyak uang yang dihasilkan, mereka tidak mau memberi tahu kami, bahkan tidak memberikan perkiraan kasar. Itu adalah privat, kata mereka.
Perusahaan terdaftar di Hong Kong, Myanmar, dan Thailand, tetapi mereka tidak lebih dari perusahaan cangkang, dengan sangat sedikit pendapatan atau penerimaan yang melewati mereka.
Baca juga:
Kami menolak tawaran Yatai untuk melihat trek go-kart, taman air, dan model pertanian yang telah mereka bangun.
Kami melihat satu kasino lain, saat dibawa untuk sarapan di hotel mewah milik Yatai, meski kami tidak diizinkan masuk ke dalamnya. Tampaknya kasino itu kosong.
Satu-satunya fasilitas lain yang diizinkan untuk kami lihat adalah klub karaoke, dengan ruang pribadi yang spektakuler, kubah-kubah besar yang seluruhnya tertutup dengan layar digital di mana ikan tropis dan hiu besar berenang.
Mereka juga menayangkan video yang memuji visi dan kebaikan She Zhijiang.
Klub ini juga tampak sepi, kecuali untuk beberapa perempuan muda dari China yang bekerja di sana.
Mereka mengenakan topeng opera untuk menghindari identifikasi, dan menari dengan tidak bersemangat selama beberapa menit sebelum menyerah dan duduk.
Wawancara juga dilarang di sini. Kami hanya diizinkan berbicara dengan seorang anggota staf Karen lokal, tetapi perempuan itu begitu terintimidasi sehingga kami hanya mendapatkan sedikit informasi, selain namanya.
Saat dia tidak ada, She Zhijiang telah menyerahkan pengelolaan Shwe Kokko kepada anak didiknya, bernama He Yingxiong yang berusia 31 tahun.
He tinggal bersama Wang Fugui di sebuah vila besar yang mereka bangun di tepi Sungai Moei, yang menghadap ke Thailand, dan dijaga oleh para pengawal berbadan besar dari China.
Di sana mereka bermain mahjong, mengosumsi makanan dan minuman terbaik, dan terus mengawasi bisnis yang mereka jalankan.
He Yingxiong memiliki penjelasan yang sedikit berbeda dari bosnya tentang penipuan yang masih beroperasi di depan hidung mereka.
"Kami hanya pengembang properti," katanya. "Saya bisa menjamin bahwa hal semacam ini [penipuan] tidak terjadi di sini."
"Tetapi meskipun hal itu terjadi, orang-orang setempat memiliki sistem hukum mereka sendiri, jadi itu adalah tanggung jawab mereka untuk menangani hal ini."
Baca juga:
"Tugas kami hanya menyediakan infrastruktur yang baik, bangunan yang bagus, dan industri pendukung."
Namun, tidak ada sistem hukum di wilayah Myanmar ini, dan tidak juga ada pemerintah.
Daerah ini dikuasai oleh berbagai kelompok bersenjata yang mengontrol bagian-bagian wilayah di sepanjang perbatasan Thailand.
Para komandan mereka memutuskan siapa yang bisa membangun atau mengelola bisnis.
Mereka mengambil sebagian dari keuntungan bisnis ini untuk membantu mendanai perang mereka melawan militer Myanmar, atau melawan satu sama lain.
Banyak dari mereka dikenal menyelenggarakan kompleks penipuan.
He mengakui bahwa perang telah memungkinkan Yatai untuk memperoleh tanah dengan harga sangat murah.
Kelompok hak asasi manusia Karen menuduh Saw Chit Thu mengusir penduduk asli dari tanah mereka dengan kompensasi minimal, meskipun jelas bahwa Yatai juga menyediakan pekerjaan yang sangat dibutuhkan bagi penduduk setempat.
Ketidakaturan dan kekosongan hukum di Negara Karen adalah hal yang membuat wilayah ini begitu menarik bagi bisnis ilegal dan itu tidak membantu citra Shwe Kokko.
Begitu pula dengan berita utama terkini.
Bulan lalu, seorang aktor China berusia 22 tahun, Wang Xing, diselamatkan dari pusat penipuan di perbatasan ini setelah dijanjikan pekerjaan syuting film di Thailand.
Kepergiannya memicu serangkaian kegelisahan di media sosial China, hingga akhirnya memaksa otoritas Thailand dan China untuk melakukan operasi bersama guna membebaskannya.
Wisatawan dari China membatalkan liburan ke Thailand. Mereka khawatir akan keselamatan. Penyelamatan lainnya juga telah dilakukan.
BBC menerima email dari beberapa korban penipuan yang meminta bantuan; organisasi penyelamat meyakini masih ada ribuan orang yang terjebak di sana.
Hampir semuanya berada di kompleks-kompleks kecil di sepanjang perbatasan selatan Shwe Kokko.
Yatai menekankan kepada kami bahwa bisnis mereka bukanlah seperti bisnis penipuan yang kasar itu, yang beberapa di antaranya hanyalah kumpulan gudang di area hutan.
Di situlah semua hal buruk terjadi sekarang, kata mereka.
Mereka merujuk pada wilayah KK Park, sebuah kompleks perumahan terkenal di sebelah selatan kota perbatasan Myawaddy, dan Dongmei.
Itu adalah tempat sekelompok bangunan bertingkat rendah yang dijalankan oleh sindikat kejahatan China terkenal bernama Wan Kuok Koi, yang lebih dikenal sebagai Gigi Patah.
Alasan itu tidak membantu She Zhijiang, yang dulunya memiliki hubungan baik dengan para politisi, bos polisi, dan bahkan keluarga kerajaan kecil di Thailand.
Hari ini She tampaknya telah kehilangan pengaruh yang pernah ia miliki. Selama di penjara, dia mengeluh telah dipukuli oleh para penjaga.
Pengacaranya sedang mengajukan banding terhadap pemberitahuan merah Interpol yang digunakan untuk membenarkan penangkapannya, tetapi suara China kemungkinan akan paling keras dalam menentukan nasibnya.
Dari wawancara kami dengannya, Shi Zhijiang tampak benar-benar marah atas perubahan nasibnya yang tiba-tiba.
"Sebelumnya, saya tidak mengerti hak asasi manusia, tetapi sekarang saya benar-benar mengerti betapa mengerikannya melanggar hak asasi manusia," katanya.
"Sulit untuk membayangkan bagaimana hak asasi manusia milik orang biasa di China diinjak-injak ketika seorang pengusaha yang dihormati seperti saya, yang dulunya bisa menghadiri jamuan negara yang sama dengan Xi Jinping, tidak memiliki hak asasi manusia dan martabat yang dilindungi dengan cara apa pun."
Tampaknya She benar-benar percaya bahwa dirinya bisa membangun sesuatu yang dapat melampaui asal-usul Shwe Kokko yang buruk, dikenal sebagai kota penipuan.
Apa yang akan terjadi padanya sekarang sulit untuk ditebak, tetapi jika pemerintah Thailand dan China terus bertindak untuk memberantas penipuan, uang yang mengalir akan mulai mengering.