Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Siapa Sebenarnya Napoleon, Layakkah Dia Dibandingkan dengan Hitler dan Stalin?
25 September 2023 12:45 WIB
·
waktu baca 6 menitSutradara asal Inggris Ridley Scott baru-baru ini jadi sasaran kemarahan orang Prancis saat mempromosikan film terbarunya, yang dijadwalkan rilis pada bulan November.
Napoleon diantisipasi sebagai epos tentang kebangkitan sang kaisar, diperankan oleh Joaquin Phoenix, dan berfokus pada hubungannya yang rapuh dengan istri pertamanya Joséphine (Vanessa Kirby).
Dan walaupun masih ada beberapa bulan lagi sebelum kita menyaksikan hasil akhirnya, sudah ada pebincangan serius seputar biopik tersebut, lantaran komentar Scott dalam sebuah wawancara dengan majalah film Empire.
"Saya membandingkan [Napoleon] dengan Alexander Agung, Adolf Hitler, Stalin. Dengar, dia punya banyak hal buruk dalam rekam jejaknya," ujar sang sutradara, menjelaskan pandangannya tentang karakter itu.
Quoi? Arrête! Prancis segera menyerang balik dan mengoreksi si orang Inggris yang kurang ajar itu.
"Hitler dan Stalin tidak membangun apa-apa dan hanya membuat kerusakan," kata Pierre Branda, direktur akademis Fondation Napoléon kepada surat kabar The Telegraph. "Napoleon membangun hal-hal yang masih ada sampai sekarang."
Thierrry Lentz dari Fondation Napoléon berkata di dalam artikel yang sama: "Napoleon tidak menghancurkan Prancis atau Eropa. Warisannya dirayakan, diterima, dan dikembangkan setelah dia meninggal."
Jadi mana yang benar - dan apakah pandangan Scott ditunjang oleh bukti?
Napoleon, seorang komandan militer yang brilian, mengambil alih kekuasaan pada tahun 1799 saat periode ketidakstabilan politik di Prancis menyusul Revolusi Prancis.
Para pengagum Napoleon berkata dia telah menjadikan Prancis negara yang lebih meritokratik dibandingkan ketika di bawah ancien régime sebelum revolusi.
Dia mensentralisasikan pemerintahan, mereorganisasi perbankan, merombak sistem pendidikan, dan menerapkan undang-undang Napoleon, yang mentransformasi sistem hukum Prancis serta menjadi model bagi banyak negara lainnya.
Namun dia juga mengobarkan serangkaian perang berdarah di seluruh Eropa, mendirikan sebuah kekaisaran yang, pada puncaknya, membentang dari Semenanjung Iberia hingga Moskow.
Pada tahun 1812, satu-satunya wilayah di Eropa yang bebas dari kendalinya, melalui pemerintahan langsung atau pemerintahan boneka atau melalui aliansi, adalah Inggris, Portugal, Swedia, dan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman).
Dia akhirnya dikalahkan pada tahun 1815 oleh aliansi negara-negara yang dipimpin oleh Inggris dalam Pertempuran Waterloo.
Napoleon dan Perang Napoleon masih membayangi ingatan masyarakat Inggris pada masa itu dan setelahnya – terutama para kartunis, yang terobsesi dengannya.
Dia hadir di latar belakang novel-novel Jane Austen. Pride and Prejudice, yang diterbitkan pada tahun 1813, misalnya, menampilkan milisi yang akan mengusir invasi Napoleon.
Charlotte Brontë memiliki pecahan peti mati asli Napoleon, yang diberikan oleh gurunya di Brussel.
Detektif hebat Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes, menjuluki musuh bebuyutannya Profesor Moriarty sebagai "Napoleon kejahatan".
Dalam novel Animal Farm George Orwell yang terbit tahun 1945, tokoh babi yang menjadi diktator disebut Napoleon.
Namun apakah adil menyebut Napoleon sebagai diktator – dan menyamakannya dengan diktator-diktator lainnya?
Perbedaan pandangan tentang Napoleon
Philip Dwyer, profesor sejarah di Universitas Newcastle, Australia, serta penulis tiga jilid biografi Napoleon, tidak berpendapat demikian.
"Anda bisa berdebat mengenai apakah Napoleon seorang tiran atau bukan – saya akan condong ke arah tiran – tapi dia jelas bukan Hitler atau Stalin, dua diktator otoriter yang secara brutal menindas rakyatnya sendiri, dan mengakibatkan jutaan kematian."
Beberapa bahkan bisa saja berargumen bahwa Kekaisaran adalah 'negara polisi' karena terdapat suatu sistem kompleks terdiri dari informan-informan rahasia yang mengawasi opini publik, imbuhnya.
“Tetapi sangat sedikit orang – hanya sejumlah bangsawan yang kurang lebih terlibat dalam rencana untuk menggulingkan rezim, beberapa jurnalis – yang benar-benar dieksekusi oleh Napoleon karena sikap oposisi mereka,” kata Dwyer.
Menurut sang profesor, Napoleon lebih tepat dibandingkan dengan Louis XIV, seorang monark absolut yang mengobarkan peperangan yang tidak perlu dan memakan ribuan nyawa.
“Begitu pula Napoleon mengobarkan perang – lagi-lagi masih bisa diperdebatkan apakah perang-perang itu diperlukan atau tidak – yang menelan jutaan korban jiwa, walaupun kita tidak tahu berapa banyak warga sipil yang tewas secara langsung atau tidak langsung akibat perang tersebut,” dia menjelaskan.
Jurnalis Perancis dan kolumnis di surat kabar Telegraph Anne-Elisabeth Moutet setuju bahwa Napoleon tidak sebanding dengan Hitler atau Stalin. “Dia [Napoleon] tidak membangun kamp konsentrasi,” katanya kepada BBC Culture.
“Dia tidak secara khusus membantai kelompok minoritas tertentu. Ya, memang ada polisi politik yang intrusif, tetapi masyarakat biasa dapat hidup sesuka mereka dan mengatakan apa saja yang mereka inginkan.”
Moutet mengatakan bahwa orang Prancis memandang Napoleon utamanya sebagai seorang reformis.
“Dia punya pemikiran yang cemerlang dan merupakan penggagas lahirnya undang-undang serta institusi yang masih mengatur hidup kami hingga saat ini.
"Kami berpikir – dan ini tidak sepenuhnya keliru – bahwa banyak orang lebih bahagia diperintah oleh Prancis daripada hidup di bawah hukum feodal apa pun yang mereka punya waktu itu."
Namun Charles Esdaile, Profesor Emeritus Sejarah di Universitas Liverpool dan penulis beberapa buku tentang Napoleon termasuk Napoleon's Wars: An International History 1803-15, menganut pandangan berbeda.
“Saya melihat Napoleon sebagai panglima perang,” ujarnya. “Seseorang yang didorong oleh ambisi pribadi dan tak kenal ampun.”
Napoleon, menurut sang profesor, adalah “seorang pria yang punya visi yang sangat jelas tentang Perancis seperti apa yang perlu dia bangun dan, tentu saja, Eropa seperti apa yang perlu dia bangun, demi mendukung mesin perangnya.”
“Gagasan bahwa ia adalah semacam liberator, semacam manusia masa depan – pada dasarnya ini semua adalah bagian dari legenda Napoleon.”
Mesin propaganda Napoleon adalah alat yang sangat, sangat kuat dalam perjalanan Kekaisaran dan menghasilkan versi perang yang sebagian besar kesalahannya ada pada Inggris yang culas,” imbuhnya.
"Itu sama sekali bukan salah Perancis – yang terjadi adalah semua orang memerangi Perancis. Napoleon adalah sosok yang kehadirannya abadi. Dia terus bekerja dari dalam kubur. Dia terus membentuk cara kita memandang dia.”
Namun Esdaile juga menolak perbandingan Napoleon dengan Hitler dan Stalin.
“Napoleon punya banyak kekurangan dan merupakan individu yang memuakkan, namun dia tidak menganut ideologi rasial yang mendasari rezim Nazi,” ujarnya.
“Napoleon tidak melakukan genosida. Napoleon tidak melakukan pembunuhan massal. Sebenarnya, jumlah tahanan politik selama masa pemerintahan Napoleon relatif sedikit. Membandingkannya dengan Hitler dan Stalin adalah nonsens.”
Tentu saja, Ridley Scott, seorang raksasa di industri film, sutradara Blade Runner, Gladiator, Thelma and Louise, Alien dan banyak lainnya, sudah berkecimpung dalam bisnis ini cukup lama untuk mengetahui cara mempromosikan sebuah film. (Napoleon kembali ke latar belakang film pertamanya, The Duellists, yang dirilis lebih dari empat dekade lalu.)
Amat mungkin dia juga tahu bahwa komentar tentang Hitler dan Stalin akan menghasilkan publisitas dan itulah sebabnya dia membuat komentar tersebut.
Jadi apakah Esdaile akan melihat Napoleon saat dirilis?
“Saya kira saya akan melakukannya, tetapi saya tahu ini akan percuma karena Rod Steiger tidak berperan sebagai Napoleon,” candanya.
“Ada banyak kekurangan dalam film Waterloo tahun 1970, namun penampilan Steiger sebagai Napoleon sungguh luar biasa.”