Konten Media Partner

Suriah: Mengais Makanan di Tempat Sampah Tentara AS—Disebut Orang-orang Sampah

21 Januari 2023 16:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Amir terpaksa bertahan hidup dengan mengais-ngais di tempat sampah.
zoom-in-whitePerbesar
Amir terpaksa bertahan hidup dengan mengais-ngais di tempat sampah.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah tempat pembuangan sampah untuk militer AS di timur laut Suriah telah menjadi sumber makanan dan pendapatan bagi sebagian warga.
"Orang-orang mempermalukan kami; mereka menyebut kami orang-orang sampah," kata Alia, 25 tahun.
Setelah lebih dari satu dekade perang berkecamuk di negara itu, diperkirakan 15,3 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, menurut laporan terbaru dari PBB.
Dan empat dari lima orang dari jumlah total ini tidak punya akses ke makanan yang cukup.
Putri Alia, Walaa, adalah salah satunya.
"Kami di sini untuk mencari daging, untuk mencari makanan karena kami lapar," kata bocah berusia 12 tahun itu.
Di wilayah timur laut yang dikuasai oleh Kurdi, perang melawan kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam (ISIS) telah memorak-porandakan ekonomi.
Walaa mengangkut plastik sampah yang berat.
Di tengah-tengah tumpukan sampah, dan dikelilingi asap beracun dari sampah yang dibakar di dataran kering di sekitar Kota Tell Beydar, sekelompok orang berburu makanan untuk dimakan dan plastik untuk dijual.
Ini bukanlah hidup yang diharapkan Alia untuk anak-anaknya.
Selama tiga tahun terakhir, dia berangkat pukul tujuh pagi setiap hari untuk menempuh dua jam perjalanan ke tempat pembuangan akhir (TPA), seringkali dia membawa Walaa bersamanya.
Putri sulungnya dia tinggal di rumah untuk merawat putra bungsu Alia.
Alia dan Walaa tidak pulang sampai matahari terbenam. Pada waktu ini, keluarga itu sudah kelaparan.
"Saya selalu bermimpi putri-putri saya akan belajar seperti anak-anak lain," kata Alia.
"Tetapi sekarang mereka seperti saya, mereka sama sekali tidak tahu cara membaca atau menulis."
Almarhum suami Alia pernah bekerja sebagai buruh tani. Ketika dia meninggal dunia 10 tahun yang lalu, keluarga itu ambruk.
Perang yang terus berkecamuk, kekeringan yang semakin parah, dan kondisi ekonomi yang buruk telah membuatnya putus asa.

Bertahan hidup dengan sisa makanan

Sebuah truk tiba di TPA dan anak-anak berlarian menghampirinya.
Mengobrak-abrik tumpukan plastik sampah berwarna hitam, Amir, seorang remaja 15 tahun, menemukan sisa-sisa potongan ayam goreng.
Dia menghisap-hisap tulangnya kemudian mencari lagi.
"Kalau ada pekerjaan lain, saya akan bekerja di tempat lain. Tapi tidak ada lagi yang bisa saya lakukan," kata Amir.
Anak-anak bisa berjalan sampai dua jam untuk sampai ke TPA ini.
Amir adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarganya, yang beranggotakan 11 orang.
Dia mendapat antara 3000 dan 5000 pound Suriah (Rp18.000-30.000) per hari dari menjual plastik yang dia temukan.
Jumlah itu sangat pas-pasan untuk bertahan hidup.
"Keadaan menjadi sulit setelah perang. Kami bahkan tidak mampu membeli roti," ujarnya.
Kakak Amir bertempur bersama pasukan Amerika melawan ISIS di kawasan.
Dia baru-baru ini terluka saat patroli dan juga kesulitan mendapatkan cukup uang untuk menafkahi keluarganya.
"Orang-orang Amerika harus berbuat lebih banyak untuk menolong kami," imbuh Amir.

Pertempuran melawan ISIS

Pada 2014, AS mengirim pasukannya untuk menyokong Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipimpin kelompok Kurdi, dalam pertempuran melawan kelompok jihadis itu.
Lima tahun kemudian, mereka mendeklarasikan kemenangan atas ISIS.
Wilayah itu sekarang diperintah oleh administrasi multi-etnik yang dipimpin Kurdi, namun kehidupan masih jauh dari normal.
"Apa yang terjadi di timur laut adalah akibat alami kondisi yang memburuk di negara ini," kata seorang kepala LSM yang bekerja di proyek pengembangan di kawasan.
Dia tidak mau namanya disebut untuk alasan keamanan.
Area perkebunan dan ladang minyak yang luas di kawasan timur laut pernah menjadi sumber utama pendapatan bagi Suriah.
Sekarang, harga makanan yang meroket, meningkatnya ancaman keamanan, dan pertumbuhan populasi hingga dua kali lipat telah menambah tingkat kemiskinan.
Banyak orang kini mengandalkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup, namun kurangnya pendanaan dan hambatan logistik berarti bantuan tidak mencapai semua orang yang membutuhkan.
Kuteks di kuku Walaa tampak mencolok di tengah-tengah tumpukan sampah.
PBB kesulitan mengantarkan bantuan ke wilayah itu, terutama setelah Rusia dan China memblokir resolusi PBB yang mengizinkan supaya penyeberangan perbatasan dari Irak tetap dibuka.
Adapun bantuan yang tiba, sebagian besarnya dikirim ke kamp pengungsi dan daerah-daerah yang paling terdampak oleh perang, seperti Raqqa dan Deir al-Zour, terang kepala LSM itu.
Wilayah-wilayah pedesaan di antaranya, misalnya desa-desa di sekitar Tell Baydar dan lainnya, terabaikan.
Jurnalis Hamza Hamki berasal dari Kota Qamishli di timur laut.
Dia mengatakan 'dumpster diving' atau mengorek-ngorek tempat sampah tidak dipraktikkan secara luas di kawasan namun jumlah orang yang melakukannya telah bertambah.
"Orang-orang membutuhkan proyek pengembangan. Mereka butuh rekonstruksi. Namun proyek-proyek ini tidak ada, yang berkontribusi pada peningkatan tingkat kemiskinan," katanya kepada BBC.
Ancaman keamanan yang konstan menghalangi semua rencana untuk mendanai proyek-proyek seperti itu. Turki sudah memimpin dua operasi militer melawan wilayah yang dikuasai oleh administrasi Kurdi, SDF di Suriah.
Kelompok ini sebagian besar dipimpin oleh Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang dinyatakan Ankara sebagai organisasi teroris. Turki berkata keberadaan kelompok tersebut di perbatasan adalah ancaman bagi keamanannya.
Dron pemantau AS melayang di atas kepala mereka.
Ada juga bahaya kebangkitan ISIS.
Kehadiran militer AS menawarkan perlindungan dari ancaman-ancaman ini. Namun belum jelas berapa lama markas mereka di sana akan terus beroperasi,
"Kalau AS angkat kaki, hanya perlu kurang dari 24 jam untuk seluruh kawasan itu jatuh ke tangan Turki atau pemerintah Suriah," kata Hamki, seraya menambahkan bahwa kedua skenario akan berakibat "katastrofik" pada masyarakat di wilayah itu.
"Orang-orang tidak punya masalah dengan pihak manapun. Mereka hanya ingin hidup dengan terhormat," ujarnya.
Anak-anak seperti Amir dan Walaa tidak tahu apa-apa selain perang dan keputusasaan sepanjang hidup mereka.
"Saya berharap punya lebih banyak uang supaya saya bisa sekolah dan bekerja [di tempat lain]. Cuma itu harapan saya," kata Amir.