Konten Media Partner

Tak Cuma di Bali, Perilaku Buruk Turis Terjadi di Seluruh Dunia, Apa Sebabnya?

28 Agustus 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tak Cuma di Bali, Perilaku Buruk Turis Terjadi di Seluruh Dunia, Apa Sebabnya?
zoom-in-whitePerbesar
Belakangan ini kita sering menyaksikan perilaku buruk wisatawan, mulai dari merusak situs kuno hingga tidak menghormati budaya lokal. Pakar menyebut kesadaran itu bisa menjadi hal yang baik.
Pada musim panas ini, tampaknya setiap hari ada saja perilaku buruk turis di seluruh dunia yang menjadi berita utama.
Pekan lalu, dua orang Amerika yang mabuk menyelinap ke bagian tertutup Menara Eiffel dan tidur di sana.
Pekan sebelumnya, seorang perempuan Prancis ditangkap karena mengukir gambar hati dan inisial namanya di Menara Miring Pisa yang ikonik di Italia.
Seorang remaja Kanada merusak kuil Jepang berusia 1.200 tahun, pada bulan lalu. Tepat setelah seorang pria asal di Bristol mengukir dua nama di Colosseum Roma dan mengatakan kepada pihak berwenang bahwa dia tidak mengetahui usia tempat bersejarah tersebut.
Dan siapa yang bisa melupakan turis Jerman yang melakukan pertunjukan di dalam pura suci Bali tanpa mengenakan busana – setelah sebelumnya kehabisan uang untuk membayar tagihan di beberapa hotel lokal?
Seakan-akan seluruh dunia sudah lupa bagaimana harus berperilaku di negara orang. Kejadian-kejadian ini bisa jadi mencerminkan kenyataan yang tidak mengenakkan: selama kita melakukan perjalanan, ternyata kita berperilaku buruk.
Dari Pompeii hingga piramida Mesir, beberapa keajaiban buatan manusia yang paling terkenal di dunia penuh dengan grafiti berusia ribuan tahun yang diukir di dindingnya oleh para pelancong kuno.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak pelancong “terhebat” di dunia – seperti Christopher Columbus dan Hernan Cortes – termasuk yang terburuk.
Dan menurut Lauren A Siegel, dosen pariwisata di Universitas Greenwich di London, pada abad ke-18 dan ke-19, sudah lazim bagi bangsawan Inggris yang mengikuti Grand Tour of Europe untuk meremehkan dan mengabaikan orang-orang dan tempat-tempat yang mereka kunjungi.
Yang berbeda pada musim panas kali ini adalah kita semakin sering mendengar tentang wisatawan yang berkelakuan buruk. Tetapi pada akhirnya, ini bisa menjadi hal yang baik.
Setiap kali ada laporan baru mengenai perilaku yang tidak sopan, tidak sensitif, atau sekadar tidak sopan, kemarahan kolektif kita tampaknya semakin meningkat, yang bisa jadi berujung pada momen pembalasan bagi wisatawan yang nakal.
Pada zaman ketika orang-orang semakin sadar akan hak istimewa (privilese) dan cara kita memperlakukan orang lain dari budaya yang berbeda, meningkatnya sorotan pada wisatawan yang sombong dan tidak sopan ini barangkali tampak seperti kemajuan alami dari gerakan sosial lainnya saat ini.
Namun, para ahli berpendapat ada kombinasi beberapa faktor yang mendorong perilaku buruk di luar negeri, dan perhatian baru yang kita berikan terhadap hal tersebut.
Menurut Siegel, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, saat ini banyak wisatawan bersaing untuk mendapatkan “like” dan “view” di media sosial.
“Orang-orang kembali melakukan tindakan yang lebih ekstrem di feed Instagram atau TikTok mereka,” katanya.
Ironisnya, akun media sosial seperti Passenger Shaming yang sangat populer juga digunakan untuk menyerukan perilaku tidak sensitif dan tidak sopan.
David Beirman dari University of Technology Sydney, mencatat hampir 1,5 miliar orang melakukan perjalanan internasional pada 2019.
Dengan perjalanan yang kini melonjak ke tingkat tertinggi sejak sebelum pandemi, ia mengatakan tidak dapat dihindari bahwa beberapa wisatawan akan berpikir "berpose telanjang di depan pura di Bali, mabuk-mabukan di tempat suci Islam, atau menari di depan kamp konsentrasi Nazi itu keren”.
Gail Saltz, pembawa acara dalam siniar How Can I Help? mengatakan dia melihat faktor-faktor lain yang juga berperan, termasuk “perjalanan balas dendam” setelah bertahun-tahun dikurung akibat pandemi dan kecemasan.
“Orang-orang merasa adil jika saya sekarang bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan [selama lockdown], dan saya bisa melakukannya secara bertahap,” katanya.
“Mereka datang dengan pola pikir bahwa [negara asing] adalah tempat bersenang-senang dan saya bisa melakukan apa yang saya inginkan.”
Secara khusus, Saltz tidak terkejut dengan banyaknya orang yang tertangkap mengukir nama mereka di monumen-monumen kuno.
“Mereka mengira ini adalah kesempatan untuk mengabadikan diri mereka sendiri.”
Namun, berita-berita utama yang memalukan pada musim panas ini mungkin menawarkan peluang untuk perubahan. Dengan setiap pelanggaran baru, kita diingatkan bahwa perjalanan internasional adalah sebuah keistimewaan.
Baru-baru ini pembuktian atas pernyataan tadi paling jelas terlihat di Hawaii. Ketika kebakaran hutan paling mematikan dalam sejarah modern AS melanda sebagian Maui (salah satu tujuan wisata paling populer di AS).
Ribuan orang yang menyukai pantai terus terbang ke sana, dan seorang warga setempat berkata kepada BBC bahwa wisatawan sedang berenang di "perairan tempat warga-warga kami meninggal tiga hari yang lalu".
Kita berharap orang-orang yang memiliki hak istimewa atau privilese juga memiliki tanggung jawab.
Kita mungkin merasa jijik dengan gambaran #passengershaming tentang seorang pelancong yang kaki telanjangnya bertumpu pada kepala orang lain, tapi kita juga seharusnya merasa malu ketika mendengar para pelancong mengeluh ketika mereka tidak bisa lagi menjajal wahana flying fox di Lahaina, saat wilayah tersebut dilanda bencana alam.
Hal yang indah tentang perjalanan adalah keajaiban-keajaiban dunia menjadi lebih menakjubkan setelah kita mengunjunginya sendiri.
Kita lebih peduli terhadap apa yang kita ketahui dan cenderung berusaha lebih membantu melindunginya – atau setidaknya tidak menghancurkannya.
Film terbaru Oppenheimer dengan jelas menyatakan hal ini. Dalam sebuah adegan yang berkesan, Menteri Perang AS Henry Stimson dengan tegas menghapus Kyoto dari daftar kota yang menjadi sasaran bom atom. Ibu kota Jepang kuno itu, dengan kuil-kuit bersejarahnya, terlalu berharga untuk dihancurkan. Dia tahu hal ini, katanya, karena dia pernah berbulan madu di sana.
Di film, itu adalah kalimat tertawaan, tapi pesannya nyata. Kita tidak akan merusak apa yang kita sayangi.
Kyoto diselamatkan dari potensi ledakan bom atom karena Menteri Perang AS berbulan madu di sana.
Beberapa destinasi telah mengambil pendekatan proaktif terhadap ide ini. Tempat-tempat wisata seperti Bali dan Islandia sekarang secara resmi meminta wisatawan berjanji untuk menghormati budaya dan lingkungan mereka ketika berkunjung.
Palau, negara kepulauan di Samudra Pasifik. mewajibkan pengunjung untuk menandatangani ikrar lingkungan pada saat kedatangan.
Lokasi-lokasi yang masuk dalam daftar keinginan (bucket-list) para pelancong juga semakin mengatur pengunjungnya.
Orang-orang yang mengunjungi Australia tidak bisa lagi mendaki Uluru (Batu Ayres) karena negara tersebut mengakuinya sebagai situs suci Aborigin.
Sementara itu, Amsterdam baru-baru ini meluncurkan kampanye iklan “stay-away” (menjauh) yang menargetkan orang-orang Inggris yang mabuk.
Siegel memuji pedoman yang lebih ketat ini. Dia memandangnya sebagai pengakuan yang semakin besar terhadap masalah, yang dilakukan oleh sesama pelancong.
Dia merujuk pada tren baru "Instagram vs Realitas" di media sosial, di mana orang-orang dengan sengaja menunjukkan kerumunan di balik layar dan kekacauan yang biasa terjadi di tempat-tempat wisata, yang sering kali dihilangkan dari gambar dan video yang dibuat dengan sempurna oleh para influencer.
Dan setiap kali hal ini terjadi, harta karun global kita akan menjadi sedikit lebih aman.
Larry Bleiberg adalah mantan presiden Society of American Travel Writers.
Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul Is this the summer of bad tourists? dapat anda baca di BBC Travel.