Konten Media Partner

Taylor Swift: ‘Swiftposium’ – Simposium yang Menelaah Pengaruh Taylor Swift di Dunia

25 Februari 2024 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Taylor Swift: ‘Swiftposium’ – Simposium yang Menelaah Pengaruh Taylor Swift di Dunia

Sejumlah akademisi menelaah pengaruh Taylor Swift dalam sebuah simposium.
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah akademisi menelaah pengaruh Taylor Swift dalam sebuah simposium.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hati Georgia Carroll langsung terpikat setelah telinganya mendengar senandung Taylor Swift di album berjudul Fearless. Waktu itu umurnya baru 14 tahun.
Satu setengah dekade berlalu dan kini Dr Carroll disebut-sebut sebagai satu-satunya pemegang gelar PhD di dunia dalam studi tentang sang megabintang.
Lantas apa hasil evaluasi Dr Carroll tentang Taylor Swift?
"Saat ini, rasanya tidak berlebihan kalau [Swift] dibilang salah satu orang terkuat di dunia."
Dr Carroll adalah satu dari puluhan pakar yang bertandang ke Melbourne pekan ini untuk menghadiri simposium akademisi internasional yang berupaya menjelaskan bagaimana Swift menjelma menjadi orang yang sangat berpengaruh di muka bumi.
Simposium seperti ini baru pertama kali diadakan. Ini sekaligus menjadi acara pendahuluan untuk tur musik Taylor bertajuk Eras Tour di Australia. Lebih dari 400 makalah dari berbagai disiplin ilmu didaftarkan dari seluruh dunia - memicu kehebohan dan menjadi berita utama dunia.
'Awalnya cuma lelucon'
Ide 'Swiftposium' lahir bulan Juli lalu dalam bentuk cuitan di media sosial X (tadinya Twitter) dan hanya mendapat beberapa "like". Namun, begitu panitia mengumumkan pelaksanaan acara secara resmi beberapa bulan kemudian, 'Swiftposium' menjadi viral secara internasional dalam waktu semalam.
Bangun-bangun panitia mendapati simposium ini hendak diliput BBC, majalah Rolling Stone, dan CNN.
"Saya membatin: 'Wah, ini si bos harus saya email'," Dr Eloise Faichney berkata sambil nyengir. "Konferensi mungil ini tiba-tiba menjadi raksasa."
Para penggemar juga bersusah payah untuk mengikuti konferensi. Pada Senin (12/02) waktu setempat, ratusan orang - dengan aksesoris berlian imitasi, sepatu koboi, dan lipstik merah khas Taylor Swift - berbondong-bondong ke gedung Melbourne nan ikonik: Capitol.
Semuanya demi menyimak kuliah tentang sang biduanita.
Sebelumnya, ada pula sanggar kilat membuat gelang persahabatan (diambil dari penggalan lirik lagu "You're on Your Own, Kid") yang tiketnya juga ludes.
Soumil, 19 tahun, mengaku acara yang diselenggarakan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT University), ini seolah mengobati kekecewaan mereka yang gagal mendapatkan tiket tahun lalu.
"Senang rasanya masih bisa menjadi bagian dari semua ini," ujarnya.
Tiket untuk temu penggemar langsung ludes seketika.
Panitia simposium lantas mengklarifikasi bahwa konferensi yang didukung tujuh universitas di Australia dan Selandia Baru ini bukanlah sebuah konvensi penggemar.
"Walaupun sebagian dari kita adalah fans Taylor, simposium ini jelas - bagi kami - adalah tentang bagaimana menimbang seseorang seperti dia secara serius dari kacamata akademik," terang Dr Emma Whatman.
"Ini bukanlah sebuah selebrasi tanpa kritik."

Pengaruh 'tingkat dewa'

Tidak bisa dipungkiri bahwa 'Taylor Mania' telah menjadi fenomena dunia selama setahun belakangan. Pada 2023, majalah Times menobatkan Swift sebagai Person of the Year, atau tokoh paling berpengaruh.
Belum ada tanda-tanda hal ini akan berubah.
Pada Senin (13/02), perempuan berusia 34 tahun ini lagi-lagi mendominasi berita utama via foto-fotonya bersama kekasihnya, pemain futbol Travis Kelce, saat timnya memenangkan Super Bowl. Minggu lalu, Taylor Swift juga sukses di ajang Grammys dengan membawa pulang trofi album tahun ini untuk yang keempat kalinya.
Kucing-kucing peliharaan Swift, publisis, dan teman-teman masa kecilnya juga terkenal dan punya penggemar setia.
"Entah bagaimana [Swift] menjadi superstar setengah dewa di planet ini, bahkan lebih besar dari yang saya perkirakan," ujar salah satu pembicara utama simposium, Brittany Spanos.
Spanos adalah reporter Rolling Stone yang tahun 2020 silam mengajar studi tentang sang idola di universitas untuk yang pertama kalinya.
Swift sendiri sudah lama menjadi perhatian utama di tengah momen-momen dan berbagai perdebatan pop lainnya semenjak terkenal pada usia remaja.
Interaksinya dengan Kanye West pada 2009 adalah salah satu momen yang selalu dikenang penggemar Taylor Swift
Dia menjelma menjadi salah satu seniman berpenghasilan tertinggi dan yang paling dirayakan sepanjang masa. Pada saat yang bersamaan, Taylor Swift juga memicu percakapan mendalam mengenai banyak isu mulai dari pembayaran royalti streaming ke misogini ke boikot massal berbasis media sosial.
Konferensi ini juga punya panel khusus membahas "Swiftonomics" - istilah yang dipakai untuk menjelaskan efek Swift yang luar biasa ke sektor ekonomi. Sampai-sampai pemimpin dunia memintanya untuk tur ke negara mereka.
Ada juga para pakar yang mendiskusikan bagaimana lagu-lagu hits Swift digunakan untuk latihan CPR anak remaja. Ada pula diskusi seru tentang bagaimana romansanya dengan Kelce mendorong para perempuan untuk merasa diterima oleh komunitas penggemar olahraga yang didominasi laki-laki.
Atensi Taylor Swift pada olahraga futbol meningkatkan pendapatan NFL - Liga Futbol Amerika Serikat.
Bahkan ada analisis lirik terhadap sikap Swift terhadap transportasi publik (ironisnya, menurut Harrison Croft, seiring dengan semakin seringnya Taylor Swift menggunakan pesawat pribadi, lagu-lagunya yang memuat referensi kereta dan bus juga semakin banyak).
Mereka yang penat mengikuti kuliah bisa menikmati duet antara seorang musisi yang banting setir menjadi akademisi dengan kloningan AI yang luar biasa mirip dengan suara Taylor Swift saat masih muda. Duet ini menunjukkan bagaimana vokal Taylor Swift bertransformasi selama 17 tahun terakhir.
Untuk penggemar sastra, konferensi ini menghadirkan duo ibu-anak yang membacakan puisi mengenai cemoohan masyarakat terhadap kegemaran anak perempuan - sebuah performa yang mengundang decak kagum penonton. Bagi penggila politik, ada presentasi akademis yang membahas bagaimana anggota parlemen Australia menggunakan Swift untuk bisa lebih dekat dengan masyarakat.
Madeline Pentland, 27, menemukan lebih dari 30 pidato politik yang mengutip lirik-lirik Taylor Swift yang paling ikonik. Salah satunya adalah seorang bendahara New South Wales, yang tidak malu-malu menggunakan 20 penggalan lirik dalam satu pidato.
Temuan Pentland menunjukkan kaum pria lebih mungkin untuk mengutip Taylor Swift - tetapi penggunaannya lebih untuk serangan politis atau mencemooh lawan. Sementara kaum perempuan menggunakan lirik lagu untuk mendukung pemikiran mereka akan suatu isu.
Yang paling menggelikan Pentland adalah lirik-lirik tersebut digunakan pada hobi favorit politik Australia - melengserkan pemimpin.
Popularitas Taylor Swift di antara para politisi mengejutkan sejarawan Madeline Pentland.
Pentland juga kecewa karena ada beberapa lirik lagu Taylor Swift yang tidak digunakan - meski sangat cocok.
"Saya kira akan ada beberapa penggalan lagu dari album Bad Blood tetapi saya tidak menemukannya!" ujarnya.
Dua pakar lainnya mengeksplorasi bagaimana Swift seolah menjadi magnet teori konspirasi - mulai dari fans delusional yang "menganalisa" gerak-gerik Taylor Swift yang dinilai strategis sampai-sampai orang-orang sayap kanan yang melihat konspirasi di berbagai hal.
Beberapa hari yang lalu, Presiden AS Joe Biden melontarkan candaan tentang bagaimana kisah cinta Taylor Swift adalah bagian dari rekayasa Super Bowl dan ini bisa membantunya untuk terpilih kembali sebagai presiden.
Pada waktu yang sama, para penggemarnya menyebarkan informasi di internet bahwa album rekaman ulang Reputation akan segera dirilis.
Clare Southerton, 35, tertarik mengenai makna semua ini tentang berkembangnya komunitas teori konspirasi.
"Terdapat perbedaan yang besar antara, 'Oh, lihat, gaun warna biru itu artinya album 1989 adalah proyek berikutnya'... dan menjadi teroris domestik. Tapi ini membantu kita untuk memahami, kenapa orang-orang menikmati hal ini," ujarnya kepada BBC.
Ada beberapa debat yang kurang nyaman mengenai betapa menyeramkannya fans Swift, bagaimana musiknya mencerminkan kolonialisme, dan bagaimana dia secara kontroversial didapuk sebagai penjahat emisi transportasi.
Akademisi asal Singapura, Aimee-Sophia Lim - yang mempelajari bagaimana Taylor Swift menginspirasi aktivisme politik di Asia Tenggara - berkata bahwa dia adalah penggemar berat Taylor.
Tetap saja perempuan berusia 23 tahun itu sering dikecewakan karena feminisme Taylor Swift cenderung "terpusat di Amerika dan kulit putih".
"Barangkali orang-orang dengan kulit berwarna dan mereka di negara berkembang sebaiknya mengadvokasi diri mereka sendiri dan komunitas… tetapi jangkauan Taylor tidak bisa dipungkiri," ujar Aimee-Sophia Lim kepada BBC dari Singapura.
"Lebih bagus lagi kalau dia bisa memperluas aktivismenya, jadi mungkin dia bisa memberikan platform kepada mereka yang mampu untuk berbicara mewakili diri mereka sendiri."

Bagaimana dia bisa seberpengaruh itu?

Tidak semua orang latah atas 'Taylor mania'.
Sabrina - yang sudah berencana 'kabur' saat Eras Tour tiba - mengaku tidak paham bagaimana pengaruh Swift sampai sebegitu gilanya.
"Saya tidak mengerti semua keramaian ini… saya benar-benar tidak mengerti," ujarnya kepada BBC.
Dr Carroll berkata ini semua adalah buah dari betapa luasnya daya tarik dan citra yang dibangun Swift. Swift, sambung dia, juga berhasil membangun "hubungan yang sangat erat" dengan para fans-nya - kebanyakan penggemar merasa sama-sama tumbuh dewasa dengan Taylor.
"Taylor menghabiskan sepanjang kariernya untuk membuat para fans merasa mereka bisa menjadi temannya," katanya kepada BBC.
"Dan Taylor melakukan semua ini sampai-sampai para fans bersedia melakukan berbagai hal untuk mendapatkan perhatiannya," imbuh Dr Carroll.
Terkadang hal-hal ini bisa merisaukan - para fans tercatat mengerubungi pesta pernikahan teman Taylor, menghabiskan puluhan ribu dolar untuk cinderamata, terobsesi kepadanya, dan banyak lagi.
Dr Carroll menelaah pengaruh Taylor Swift.
Sepanjang simposium yang diadakan di University of Melbourne, orang-orang menyamakan Swift dengan Elvis, Michael Jackson, Madonna, dan Beyoncé.
Kepada BBC, Spanos mengatakan berat untuk membandingkan Taylor Swift dengan artis-artis di era yang berbeda. Tetap saja Spanos yakin bahwa Swift adalah yang paling beken di dunia saat ini.
"Dia akan dipandang sebagai penulis lagu terbesar dari generasinya… dan salah satu penulis lagu terbesar sepanjang masa."
Dr Carroll berargumen bahwa Swift mampu mengangkat ketenarannya ke level lebih jauh karena dedikasi dari para penggemarnya.
"[Bagi artis lain], cakupan pengaruh mereka tidak jauh-jauh dari para penggemarnya. Tapi ini tidak lagi berlaku untuk Taylor."
Dr Carroll berpendapat adalah hal yang bagus - dan sudah saatnya - orang-orang tertarik akan hal ini.
Setahun yang lalu, ketika Dr Carroll memperoleh gelar doktornya, banyak yang menertawakan topik studi yang dipilihnya. Sekarang dia memberikan pidato kunci di salah satu konferensi akademik yang paling dipublikasikan di dunia.
"Rasanya seperti: Ya Tuhan, akhirnya mereka menangkap ini!" ujar Dr Carroll. "Akhirnya ini diperhatikan, dan apa yang saya pelajari diakui punya nilai tersendiri.
"Kita tidak hanya akan bersantai-santai di konferensi ini dan menjadi fans - itu bakal terjadi - tapi ada banyak hal yang bisa ketahui tentang dunia dengan mempelajarinya."