Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
Konten Media Partner
THR Dinanti, THR Ditabung – Mengapa THR Saja Dinilai Tak Cukup Mendorong Masyarakat Berbelanja dan Menggenjot Ekonomi Indonesia?
10 Maret 2025 10:45 WIB
THR Dinanti, THR Ditabung – Mengapa THR Saja Dinilai Tak Cukup Mendorong Masyarakat Berbelanja dan Menggenjot Ekonomi Indonesia?
Pemerintah berharap besar pencairan tunjangan hari raya (THR) dapat menggenjot perekonomian Indonesia. Namun, para pekerja yang BBC News Indonesia ajak bicara sepakat bakal berhati-hati membelanjakan THR-nya dan lebih memilih menabung demi bersiap untuk yang terburuk. Ekonom pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2025 bakal lebih loyo dibanding tahun lalu.
Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, sebelumnya menyatakan pemerintah akan mencairkan THR untuk para aparatur sipil negara (ASN) tiga minggu sebelum Lebaran. Padahal, biasanya THR baru turun 10 hari sebelum hari raya.
"Percepatan pencairan THR untuk ASN dengan alokasi sekitar Rp50 triliun bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara signifikan, memperkuat konsumsi domestik, serta mendorong perputaran ekonomi di berbagai sektor, terutama perdagangan dan jasa," kata Haryo , Senin (3/3).
Dua hari berselang, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer pun menyebut THR untuk pekerja swasta ditargetkan turun dua minggu sebelum Lebaran.
BBC News Indonesia berbicara dengan ASN, pekerja kantoran swasta, dan buruh pabrik mengenai pentingnya THR bagi mereka, bukan untuk berbelanja, tapi menabung dan menyiapkan jaring pengaman di tengah lesunya perekonomian.
Sejumlah ekonom menilai para pekerja memang cenderung berhati-hati di tengah melemahnya daya beli, meningkatnya kebutuhan harian, bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK), dan efisiensi anggaran pemerintah yang memicu efek domino di masyarakat.
"Pencairan THR ini memang enggak terlalu bisa menyelamatkan perekonomian yang sedang lesu," kata Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Menabung dengan THR
Sudah satu setengah bulan Nisa bergelut dengan efisiensi anggaran.
Kantornya, sebuah instansi pemerintah di Jakarta Pusat, terpaksa memangkas kira-kira setengah anggaran belanja untuk 2025 setelah keluar instruksi Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari agar seluruh kementerian dan lembaga mengencangkan ikat pinggang.
Perjalanan dinas jadi salah satu pos belanja yang terdampak. Imbasnya, sepanjang tahun ini, Nisa dan kawan-kawan sekantornya belum melakukan perjalanan dinas sama sekali, termasuk untuk program-program yang sebetulnya membutuhkan banyak kerja lapangan.
Mau tak mau, pemasukan Nisa ikut tergerus.
Gaji ASN seperti Nisa pada dasarnya terdiri dari gaji pokok dan sejumlah tunjangan. Meski telah lebih dari 10 tahun bekerja, gaji pokoknya tak sampai Rp5 juta. Maka, seperti banyak ASN lainnya, tunjangan kinerjanya tercatat lebih besar.
Di luar itu, biasanya Nisa juga mendapat uang saku untuk setiap perjalanan dinas yang ia lakukan. Jumlahnya beragam, tergantung lokasi dan jenis kegiatan. Namun, umumnya ia bisa mendapat Rp300.000 untuk sehari perjalanan dinas.
Tanpa tambahan uang saku perjalanan dinas, Nisa bilang pemasukan bulanannya berkurang hingga "jutaan" rupiah. Karena itu, ia memutuskan berhemat dan menekan pengeluarannya.
Nisa mengurangi frekuensi bermain tenis, hobi yang telah dijalankannya bertahun-tahun, karena butuh uang untuk sewa lapangan.
Ia berhenti belanja baju atau aksesori, yang sebelumnya biasa dilakukan minimal sebulan sekali. Ia pun jadi selektif mengiyakan ajakan buka puasa bersama selama Ramadan.
"Aku sangat menahan spending," kata Nisa.
"Apa-apa jadi lebih dihitung."
Meski belum berkeluarga dan masih tinggal bersama orang tua di Jakarta, Nisa tetap menanggung kebutuhan rumah sehari-hari, dari listrik hingga air dan perkakas mandi.
Saat Lebaran, biasanya ia pun menyisihkan sebagian THR untuk orang tua dan saudara-saudara, serta memberikan sumbangan pada yang membutuhkan. Sisanya, ia bakal gunakan untuk belanja pribadi, entah baju atau sepatu baru.
Namun, untuk Lebaran tahun ini, yang diperkirakan jatuh pada akhir Maret atau awal April, ia jadi berpikir dua kali untuk sekadar beli baju baru.
"Kalau bisa ditabung, ya ditabung. Kalau memang enggak urgent banget, ditabung saja," kata Nisa.
Baginya, THR tahun ini sangat penting, bukan untuk berbelanja tapi memperkuat jaring pengaman di tengah berkurangnya pemasukan karena efisiensi anggaran.
Karena itu, Nisa berharap THR tetap bisa turun 100% tahun ini, tidak hanya 50% seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19.
Sebelumnya, pada Selasa (4/3) Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan segera mencairkan THR Lebaran 2025 bagi para ASN, yang anggarannya telah disiapkan sebesar Rp50 triliun.
Meski begitu, saat ditanya apakah pemerintah akan membayarkan THR 100%, Sri Mulyani hanya menjawab : "Nanti saja ya."
Bila ternyata pemerintah hanya mencairkan 50% THR seperti saat pandemi Covid-19, Nisa bilang dia tak bisa menerima.
"Enggak ikhlas."
Ramai-ramai menahan belanja
Hari-hari ini, Nisa bukan satu-satunya yang mencoba berhemat dan menahan belanja. Sejumlah warga mengaku kini berhati-hati mengatur keuangannya, hanya keluar uang untuk hal-hal yang "sangat perlu", dan fokus menabung.
Lemahnya daya beli dan turunnya konsumsi tercermin dari deflasi bulanan yang terjadi pada Januari-Februari 2025, masing-masing dengan persentase 0,76% dan 0,48%.
Pada Februari, deflasi bahkan juga tercatat secara tahunan dengan angka 0,09%. Ini pertama kalinya terjadi sejak Maret 2000, dan jadi bahan perbincangan publik karena harga barang-barang biasanya justru melonjak jelang Ramadan.
Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebut sejumlah faktor di balik hal ini.
Ia bilang banyak orang menahan belanja salah satunya karena situasi tidak pasti yang menghantui di tengah tingginya gelombang PHK dan terbatasnya peluang kerja.
Sepanjang 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada sekitar 80.000 orang yang mengalami PHK, naik dari 60.000 PHK yang terjadi di tahun sebelumnya. Kurang lebih 24.000 PHK pada 2024 disebut terjadi di sektor manufaktur.
Tak hanya itu, 60 perusahaan pun disebut pemerintah berpotensi melakukan PHK massal di 2025. Salah satunya, yang telah terjadi, adalah PHK terhadap 12.000 pekerja perusahaan tekstil Sritex pada akhir Februari lalu setelah yang bersangkutan pailit.
"Masyarakat berjaga-jaga, khawatir pasca-Lebaran gelombang PHK lebih tinggi lagi dan dia jadi korban PHK," kata Bhima.
"Jadi ada ketidakpastian kerja ke depannya."
Terlebih lagi, Bhima mengatakan ada semakin banyak orang yang masuk kategori generasi sandwich, atau kelompok masyarakat di usia produktif yang harus menanggung biaya hidup diri sendiri, anak, serta orang tua atau keluarga besar.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio ketergantungan lansia (usia 60 tahun ke atas) terus meningkat dari 14,02 pada 2017 menjadi 16,76 pada 2021.
Indikasinya, 100 orang warga berusia produktif (usia 15-59 tahun) mesti menanggung sedikitnya 17 penduduk lansia pada 2021.
Hasil survei Litbang Kompas pada 2022 menunjukkan, sekitar 67% responden merupakan bagian dari generasi sandwich. Apabila angkanya diproporsikan terhadap jumlah penduduk produktif Indonesia, jumlahnya sekitar 56 juta orang.
Dari sana, kata Bhima, generasi sandwich terpaksa mengalokasikan sebagian besar pemasukannya untuk kebutuhan keluarga.
"Jadi spending untuk hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri bahkan sangat kecil," kata Bhima.
"Kalaupun ada sisa, itu akan ditabung, disimpan. Kecenderungannya begitu."
Semua ini lantas diperparah dengan efisiensi anggaran yang dijalankan pemerintah sejak awal 2025.
Dengan beredarnya kabar soal pemecatan tenaga kerja honorer di sejumlah instansi pemerintah, Bhima bilang muncul ketidakpastian yang membuat pekerja semacam itu waswas dan hati-hati dalam berbelanja, khawatir bila tiba-tiba mereka diberhentikan.
Pengetatan anggaran pemerintah pun memicu efek domino.
Mohammad Faisal, ekonom sekaligus direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyebut sejumlah kementerian dan lembaga jadi tidak bisa optimal menjalankan program-program penting yang dapat menggerakkan roda perekonomian.
Ini termasuk program untuk mendorong kinerja usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang selama ini berkontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi nasional, serta untuk melindungi para pekerja di sektor pertanian.
Nisa, ASN di Jakarta Pusat, juga menyoroti dampak berantai efisiensi anggaran.
Tak hanya pendapatannya dari uang saku perjalanan dinas berkurang, para ASN pun disebut tak bisa menjalankan kegiatan-kegiatan yang bisa memicu perputaran uang di masyarakat.
Contoh sederhananya, kata Nisa, saat sebuah instansi mengadakan acara di satu daerah, ada uang yang dikeluarkan untuk hotel dan katering yang dikelola pengusaha lokal.
"Tingginya okupansi hotel kan salah satunya dari rapat-rapat itu," kata Nisa.
"Dengan efisiensi anggaran, pasti berkurangnya signifikan."
'Dipaksa kreatif oleh pemerintah'
Oktober 2024, Chatarina mulai bicara serius dengan pacarnya, merancang pernikahan mereka yang bakal berlangsung di Juli 2025.
Ia dan pacarnya lantas menghitung dengan hati-hati segala pemasukan yang berpotensi didapatkan untuk menutupi biaya pernikahan dan membangun kehidupan setelahnya.
Chatarina, pekerja swasta kelas menengah di Jakarta Selatan, biasanya mendapat bonus tahunan dari kantornya saat gajian Januari. Selain itu, bakal ada tambahan lagi dari THR pada Maret.
Bonus itu langsung ia alokasikan untuk lamaran di awal Februari, sementara THR rencananya bakal digunakan untuk renovasi rumahnya di Tangerang, Banten.
Tak disangka, kantornya, sebuah konsultan konten digital yang biasa menangani klien sejumlah instansi pemerintah, mengumumkan untuk menunda pencairan bonus tahunan. Bonus itu disebut akan dicairkan secara berkala, tanpa jadwal yang pasti, dengan alasan perusahaan sedang melakukan efisiensi.
Chatarina pusing. Ia putuskan buka tabungan dan menyiapkan banyak hal terkait lamaran secara manual tanpa jasa pihak ketiga, termasuk dekorasi, seserahan, dan baju lamaran.
Di tengah itu semua, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan instruksi soal efisiensi anggaran kementerian dan lembaga pada 22 Januari.
Kantor Chatarina terdampak. Ada kementerian yang batal bekerja sama dengan kantornya, ada pula yang sekadar mengurangi cakupan kerja dan nilai proyeknya.
Imbasnya, kantor Chatarina yang sebelumnya sudah berhemat kembali mengencangkan ikat pinggang. Sejumlah pengeluaran coba dipangkas, termasuk biaya transportasi karyawan yang selama ini bisa diganti kantor.
Otomatis, ongkos Chatarina bolak-balik Tangerang-Jakarta untuk kerja sehari-hari ikut membengkak.
Sementara itu, setelah riset sana-sini, Chatarina mendapati biaya resepsi pernikahannya begitu besar. Akhirnya, ia dan pacar sepakat untuk tidak menjalani resepsi pada Juli nanti. Cukup pemberkatan nikah saja di gereja.
Banyak hal pun sebisa mungkin kembali dikerjakan sendiri, termasuk dekorasi dan undangan pemberkatan.
"Rasanya kita dipaksa kreatif di pemerintahan baru ini," kata Chatarina.
Tanpa resepsi, Chatarina menghitung ia dan pasangannya bisa menabung sekitar Rp200 juta hingga Rp300 juta.
Uang sebesar itu, menurutnya, lebih baik digunakan untuk memulai hidup baru setelah menikah, plus berjaga-jaga bila sesuatu terjadi di masa depan.
"Karena jadi enggak terprediksi. PHK sekarang banyak. Kekhawatiran saya itu soal PHK," kata Chatarina.
"Terus soal kesehatan, jaga-jaga kalau misalkan suatu saat sakit, terus BPJS enggak menanggung, sementara biaya pengobatan kan mahal. Karena enggak ketebak, takut suatu hari ada perawatan-perawatan yang enggak ditanggung lagi sama BPJS."
Kekhawatiran soal PHK tak hanya dirasakan pekerja kantoran seperti Chatarina, tapi juga Sri Rahmawati, buruh pabrik pakaian jadi di Cakung, Jakarta Timur.
Karena itu, Rahma berharap besar pada THR, yang disebutnya dapat jadi jaring pengaman seandainya terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sebagian dari THR-nya pun bakal ia sisihkan untuk orang tua dan mertuanya, entah untuk membeli pakaian baru atau sekadar menyiapkan camilan untuk saudara yang berkunjung ke rumah saat Lebaran.
"Upah itu kan kadang kala tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari," kata Rahma, yang juga ketua umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), pada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Kadang kita-kita yang buruh biasa itu hanya punya uang lebih dari THR."
Mengingat pentingnya THR bagi buruh, Rahma menyerukan agar seluruh perusahaan bisa tepat waktu mencairkan THR, tidak kelewat mepet dengan Lebaran atau bahkan sengaja menghindari kewajiban pembayaran.
Menurutnya, ada saja perusahaan nakal yang memberhentikan buruh sebelum kontraknya habis di masa sebelum Lebaran agar tidak perlu membayarkan THR.
"Kemudian dia merekrut lagi orang yang berbeda. Makanya, kami berasumsi itu menghindari pemberian THR saja," kata Rahma.
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Celios, mengatakan praktik semacam itu memang kerap terjadi, utamanya di industri padat karya.
Maka, pemerintah diminta menguatkan kerja-kerja posko aduan permasalahan THR, dan sigap menindaklanjuti sehingga para pekerja bisa mendapatkan haknya.
"Banyak perusahaan yang menghindar dari pembayaran THR," kata Bhima.
"Ini yang harusnya didorong, tingkat kepatuhan bayarnya diharapkan tiap tahun meningkat."
'THR saja tak cukup untuk menyelamatkan perekonomian'
Mohammad Faisal, direktur eksekutif CORE Indonesia, mengatakan lemahnya daya beli terjadi salah satunya karena turunnya upah riil, atau kemampuan uang yang diterima masyarakat untuk membeli barang dan jasa.
Karena itu, ia bilang banyak pekerja terpaksa hidup pas-pasan dengan gaji bulanannya, tanpa bisa menyisihkan sebagian pemasukan untuk tabungan.
THR jadi sangat penting karena membuat pekerja bisa meningkatkan konsumsinya, termasuk untuk membeli makanan dan pakaian atau pulang kampung saat Lebaran.
"Jadi maknanya itu besar sekali," kata Faisal.
Namun, mempertimbangkan perekonomian yang kini lesu, Faisal memperkirakan banyak orang akan lebih hati-hati dalam membelanjakan THR-nya tahun ini, dan konsumsi bisa jadi baru naik di hari-hari jelang Lebaran.
Ini sejalan dengan pernyataan sejumlah warga yang BBC News Indonesia ajak bicara, yang mengatakan lebih memilih untuk menabung sebagian THR-nya alih-alih dibelanjakan.
Maka, Faisal menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan pertama 2025 bakal melambat dibanding periode sama di 2024 sebesar 5,1%.
Apalagi, pada triwulan pertama 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga didorong pemilihan umum presiden yang melibatkan perputaran uang besar.
"Di kuartal satu 2025 ini pertumbuhan ekonomi bisa hanya 4,9%, atau bahkan di bawah itu," ujar Faisal.
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Celios, sepakat dengan Faisal.
Menurutnya, dengan segala tanda-tanda yang ada, termasuk melemahnya daya beli serta keengganan atau ketidakmampuan masyarakat untuk meningkatkan konsumsi, ekonomi Indonesia bakal hanya tumbuh antara 4,9% dan 4,97% di triwulan pertama 2025.
Deni Surjantoro, juru bicara Kementerian Keuangan, optimistis pencairan THR bakal membawa efek berganda, termasuk meningkatkan konsumsi masyarakat, pendapatan pedagang, produksi, pendapatan pemerintah, dan kesempatan kerja.
"Ini akan berdampak pada perekonomian, seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujar Deni.
Meski begitu, Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, menyebut THR saja tidak cukup untuk "menyelamatkan" perekonomian saat ini.
"Pencairan THR ini memang enggak terlalu bisa menyelamatkan perekonomian yang sedang lesu, karena ini kan banyak sekali faktornya," kata Riefky.
Untuk memperbaiki keadaan, pemerintah disebut mesti menyelesaikan isu-isu mendasar atau struktural yang ada.
"Seperti isu produktivitas, penciptaan lapangan kerja, lalu kemudian lapangan kerja formal, meningkatkan daya beli masyarakat, itu semua harus dipecahkan dulu," ujar Riefky.
"Kalau itu enggak dipecahkan, maka saya rasa enggak ada yang bisa signifikan menggenjot kembali perekonomian."
Wartawan Johanes Hutabarat di Jakarta berkontribusi untuk liputan ini.