Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
‘Tidak Ada lagi yang Menggantikan Kami’ – Penjaga Tradisi Mentawai yang Perlahan Hilang Ditelan Zaman
7 November 2024 12:01 WIB
‘Tidak Ada lagi yang Menggantikan Kami’ – Penjaga Tradisi Mentawai yang Perlahan Hilang Ditelan Zaman
Keberadaan sikerei bukan hanya sebagai tabib atau dukun bagi masyarakat adat Mentawai di Sumatra Barat. Mereka memiliki peran penting melestarikan Arat Sabulungan—sistem kepercayaan, pengetahuan dan perilaku Suku Mentawai. Namun, minimnya regenerasi membuat jumlah sikerei kian menyusut.
Aman Deun duduk meringkuk menahan sakit yang menusuk-nusuk perutnya di teras rumah. Sesekali ia meringis, mencengkeram erat bantal kecil yang dipakainya untuk mengganjal bagian bawah perut.
“Sudah semalaman perut rasanya sakit tak terkira,” kata Aman Deun lirih dengan bahasa Mentawai.
Suaranya nyaris tenggelam oleh riuh air hujan.
Hujan deras baru saja reda dari langit hutan Siberut, menyisakan bau tanah basah. Sayup-sayup terdengar gemerisik atap rumah-rumah Desa Matotonan yang terbuat dari susunan daun sagu kering beradu dengan terpaan angin dan sisa-sisa gerimis.
Desa ini terletak di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.
Terkenal akan orang adat dan kebudayaannya, Mentawai punya dua hal yang masuk dalam daftar warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaann—tato dan sikerei.
Namun jumlah sikerei kini sudah jauh berkurang, hanya tersisa sekitar 200 orang di seluruh Kepulauan Mentawai yang luasnya terbentang hingga 6.000 km2.
Aman Deun, yang usianya sudah menginjak 70-an tahun, telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sebagai sikerei.
Dia mengaku baru kali ini merasakan sakit yang begitu mengganggu, sampai-sampai dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia bahkan tak kuasa untuk masuk ke hutan mencari tanaman obat sendiri.
“Saya membutuhkan kawan-kawan untuk mengobati penyakit saya,” katanya, merujuk pada sikerei-sikerei lain yang tersisa di Matotonan.
Tekadnya kuat untuk segera sehat kembali, karena beberapa hari lagi akan ada punen—pesta besar untuk memperingati ulang tahun desa. Dalam setiap perayaan seperti ini, perannya sebagai sikerei sangat dibutuhkan.
Senja mulai turun saat para tetangga Aman Deun berduyun-duyun datang ke rumah panggung kayunya. Mereka bukan hanya mampir menengok dirinya, tapi juga untuk menjenguk Bajak Leket Sainak, kakaknya, yang sedang sakit parah.
Di dalam rumah, Bajak Leket terbaring tak bergerak. Matanya separuh terbuka dengan nafas satu-satu. Dia sudah tak mampu bicara, hanya sesekali menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
Tubuhnya tulang berbalut kulit, yang nyaris sepenuhnya ditutup dengan tato—atribut kebesaran bagi sikerei. Bajak Leket, sama seperti Aman Deun, juga seorang sikerei.
“Sudah empat bulan keadaannya begitu. Awalnya perutnya sakit, lalu lemas, dan akhirnya sulit untuk makan,” kata Menggeu Kerei, istri Bajak Leket.
Di antara para tetamu yang menyesaki rumah mereka, ada empat sikerei lain yang hendak melakukan ritual penyembuhan pada kakak-beradik yang sedang sakit itu.
“Teng… teng… teng…” bunyi lonceng berdentang, tanda ritual akan segera dimulai.
Keempatnya mengenakan pakaian khas sikerei: luat, ikat kepala dari rangkaian manik-manik yang disisipi bunga simakauinauk kuning dan pucuk enau; tudak, kalung manik-manik; dan kabit, cawat dari kulit kayu baiko.
Mereka lalu merapal urai, senandung mantra untuk meminta bantuan kekuatan kepada roh leluhur, dengan bahasa yang hanya dipahami oleh para sikerei.
Lantunan itu menyayat bak gesekan biola, seakan-akan memohon dengan segala kerendahan hati.
Dua sikerei dengan hati-hati mengambil racikan dedaunan yang telah dicampur air.
Teu Legei, salah satu sikerei, mengusapkannya ke wajah dan tubuh Aman Deun, sementara sikerei lainnya, Aman Gurui, mengusap sekujur tubuh Bajak Leket dengan ramuan.
Usai ritual, Aman Deun tercenung melihat kondisi kakaknya dan dirinya sendiri. Dia sadar betul, keberadaan sikerei kini semakin tertelan zaman.
“Kami semua sikerei tua, sudah mulai sakit-sakitan,” katanya.
Bukan tidak mungkin suatu saat nanti orang Mentawai tidak punya sikerei, lanjut Aman Deun. Padahal, dalam adat mereka, setiap kejadian butuh ritual, dan setiap ritual butuh sikerei.
“Sudah habis. Kami yang tua-tua ini akan mati, tidak ada penerus lagi,” ucapnya pelan, merapatkan selimut tebal ke badannya yang penuh tato.
Identitas orang Mentawai
Kepulauan Mentawai dikenal sebagai Bumi Sikerei, julukan yang melekat dan menjadi semacam merek dagang. Sosok sikerei dengan atribut khasnya banyak terpampang di brosur-brosur perjalanan wisata.
Selain terpikat ombak Mentawai untuk berselancar, banyak pula turis lokal dan mancanegara datang ke Siberut untuk mencicipi sendiri pengalaman hidup di dalam hutan. Dan tentu saja, untuk melihat sikerei.
Bagi orang Mentawai, sikerei adalah sosok penting dalam Arat Sabulungan, sebuah panduan hidup tradisional yang meyakini bahwa semua hal dan benda di alam semesta memiliki roh.
Mereka percaya, manusia harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan semua makhluk. Dan sikerei adalah penghubung roh-roh dan jiwa orang-orang di alam nyata maupun gaib.
Baca juga:
Sikerei adalah rimata, yakni orang yang didahulukan sebagai pemimpin acara adat.
Dalam kajian antropologi, agama bukanlah inti dari kebudayaan. Maka Arat Sabulungan pun, bagi masyarakat adat Mentawai, memiliki arti jauh lebih luas dari sekadar kepercayaan.
“Ini adalah sistem pengetahuan dan pola perilaku,” ujar Juniator Tulius, antropolog asal Mentawai.
Seluruh kegiatan tradisional orang Mentawai berhubungan dengan Arat Sabulungan, kata Juniator.
Sebagian dari aktivitas manusia modern Mentawai pun masih dibalut oleh Sabulungan, meski menurut data nasional, penduduk Kabupaten Mentawai telah memeluk agama-agama yang diakui negara.
Berdasar data Sensus Penduduk Kabupaten Mentawai pada 2022, hampir separuh penduduk memeluk Protestan (48,17%), disusul Katolik (28,81%) dan Islam (22,79%).
Sementara pemeluk Arat Sabulungan masuk dalam kategori "lainnya" (0,20%).
“Sulit mencari padanan bahasa Indonesia untuk mengemukakan arti sikerei bagi masyarakat Mentawai,” kata Maskota Delfi, antropolog yang sudah tiga dekade meneliti Kepulauan Mentawai.
“Bisa disebut sebagai gelar keilmuan, hanya saja tidak bersertifikat, tapi mendapat pengakuan dari khalayak [sekitar],” lanjutnya.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia.
Di dalam diri sikerei juga ada kebijaksanaan dan pengetahuan akan ilmu pengobatan tradisional yang didapat secara turun-temurun dan telah berakar sejak Indonesia belum merdeka.
Peran sebagai penyembuh ini masih dirasakan hingga sekarang.
Di Desa Matotonan, misalnya, waktu tempuh ke rumah sakit terdekat sekitar 4 jam. Rumah Sakit Umum Siberut terletak di pusat kota di pulau itu.
Saat BBC News Indonesia berkunjung ke Pulau Siberut pada pertengahan 2024 silam, fasilitas kesehatan ini belum beroperasi.
Adapun puskesmas terdekat terletak di Desa Madobag, desa tetangga Matotonan.
Puskesmas Sarereiket dapat dijangkau sekitar 2,5 jam dengan menggunakan pompong—perahu kecil yang muat untuk tiga orang dan dilengkapi mesin pasang copot.
Maka ketika beberapa waktu lalu Maria Saumanuk sedang hamil anak kedua dan merasakan sakit di perutnya, dia segera memanggil sikerei.
“Dia memberi [ramuan] obat, setelah saya minum sakitnya hilang,” kenang Maria.
“Terdengar seperti bohong, tapi kami percaya sikerei bisa menyembuhkan penyakit.”
Maria menyebut pertolongan sikerei itu “menyelamatkan nyawanya”.
Menghormati pilihan
Tubuh Sabarial, 35 tahun, bergerak naik-turun di atas perahu penumpang yang melaju melawan gelombang ke Pulau Siberut.
Raut wajahnya yang keras melembut kala melihat sang ayah, Aman Alangi, sudah menunggu di tepi Sungai Rereiket.
Aman Alangi tak kalah bungah, matanya berbinar-binar memandang putra sulungnya.
Dia menjemput Sabarial dengan perahu pompong, yang kemudian akan mengantarkan keduanya melalui sungai yang meliuk-liuk ke Desa Matotonan.
Ini adalah satu-satunya akses tercepat menuju desa. Mereka harus bergegas, karena Matotonan hanya dialiri listrik delapan jam dalam sehari. Jika malam tiba, keadaan bisa jadi gelap gulita.
Sabarial lahir di Matotonan, namun kini bekerja sebagai wartawan di sebuah media lokal di Pulau Sipora.
Sudah satu tahun belakangan ia tak pulang kampung, tetapi begitu mendengar sang ayah mengeluh sakit, ia memutuskan pulang.
Sesampainya di rumah, ayah dan anak ini melepas lelah dengan selonjoran di teras. Aman Alangi menyandarkan punggung ke tiang. Kakinya sedang tak mampu berdiri lama-lama.
“Mungkin karena perjalanan di sungai tadi,” katanya.
Sepanjang perjalanan sekitar satu jam tadi, Aman Alangi hanya mengenakan cawat dan ketika hujan mengguyur Lembah Sarereiket, dia hanya berlindung pada jas hujan plastik.
Sabarial mengeluarkan obat maag dari tas dan mengulurkannya kepada bapaknya.
Dia sengaja membeli obat di apotek sebelum menyeberang tadi. Sama seperti Aman Deun yang sakit perut, Aman Alangi juga merasakan sakit yang sama.
Tapi obat pemberian Sabarial rupanya tak mampu menghilangkan sakitnya. Aman Alangi memutuskan mengumpulkan dedaunan dan meminum obat racikannya sendiri. Dia mengaku merasa lebih baik.
Aman Alangi sudah 23 tahun menjadi sikerei. Dia berguru kepada Aman Deun dan dinobatkan pada 2001 melalui upacara adat.
“Keinginan saya menjadi sikerei adalah untuk mengobati keluarga. Sehingga ketika ada yang sakit, tidak harus memanggil sikerei lain. Ini keinginan dari hati, tidak ada yang memaksa,” kata Aman Alangi.
Proses menjadi sikerei ini tidak mudah. Menurut Sabarial, ayahnya butuh satu tahun untuk melalui berbagai tahapan dan belajar ramuan obat-obatan, ritual adat, urai, dan tarian.
“Calon sikerei juga harus mengorbankan materi berupa ternak untuk upacara adat, yang kalau dirupiahkan bisa mencapai ratusan juta,” jelas Sabarial.
Hidup seorang sikerei juga dibatasi oleh sejumlah pantangan, seperti tidak boleh tidur bersama istri, bahkan tidak boleh memakan daging hewan tertentu ketika sedang melakukan ritual.
Berbagai alasan ini membuat Sabarial dan dua saudaranya memilih untuk tak meneruskan jejak ayahnya menjadi sikerei.
“Saya tahu kemampuan anak-anak saya. Mereka tidak yakin mampu menjadi sikerei seperti saya, maka lebih baik menyekolahkan mereka,” tukas Aman Alangi.
Sabarial sudah masuk pesantren sejak usianya tujuh tahun. Dia menimba ilmu agama Islam di sebuah pesantren di Jakarta.
Meski demikian, Sabarial telah memeluk agama Islam seperti halnya keluarganya yang lain—termasuk ayahnya—sebelum memutuskan ke Jakarta.
Walaupun masih mempraktikkan Arat Sabulungan, Aman Alangi dan sebagian besar warga Matotonan diwajibkan memeluk agama untuk urusan administrasi negara.
Ketika sang ayah dinobatkan jadi sikerei pada 2001, Sabarial yang kala itu berusia 13 tahun mengaku merasa gundah.
“Saat itu, berat bagi saya menerima kenyataan bahwa ayah saya seorang sikerei. Dalam praktiknya, ayah saya memiliki tato. Pun ketika ada upacara adat, beliau juga harus makan babi,” kata Sabarial.
Peran sikerei sebagai penghubung roh dengan manusia, juga dipandang bertentangan dengan keyakinan yang dipeluknya.
Namun semakin ia beranjak dewasa, Sabarial mengatakan semua perbedaan ini tak masalah lagi. Mereka berdamai untuk saling menghormati pilihan hidup masing-masing.
“Ayah saya menghormati saya sebagai seorang muslim, saya sebagai orang Mentawai tetap membantu ayah sebagai sikerei di desa,” ia melanjutkan.
Hari semakin sore, tetapi Aman Alangi masih merasa ngilu di lututnya. Lalu tanpa tanda ataupun aba-aba, dia berdiri dan menghentakkan kaki, menggetarkan lantai kayu di rumah panggungnya.
Sambil merapal urai, Aman Alangi membungkuk dan berderap di ruang gelap, sementara Sabarial memandang ayahnya dengan kagum.
“Saya bangga. Saya adalah anak seorang sikerei di kampung pedalaman, dan saya tidak malu,” dia berkata.
“Anggapan bahwa kami adalah orang terbelakang itu salah. Ini merupakan kekayaan adat yang luar biasa untuk Indonesia.”
Tak ada sikerei baru
Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau utama—Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan—dan beberapa pulau kecil. Pulau Siberut adalah yang terbesar.
Dahulu kala, sikerei ada di semua pulau utama. Namun sekarang, hanya tersisa sekitar 200 orang di Pulau Siberut saja.
Data resmi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai mencatat ada 54 sikerei di Desa Matotonan, Buttui, dan Taileleu di Siberut Selatan.
Dari jumlah itu, hanya ada satu sikerei yang berusia 35 tahun, sementara sisanya telah berusia di atas 40 tahun. Satu orang sikerei, menurut data itu, sudah berusia 92 tahun.
Kepala Desa Matotonan, Ali Umran, mengatakan, dari 49 sikerei yang ada di desanya, hanya 39 saja yang masih aktif.
“Sebagian sakit, ada juga yang sudah meninggal dunia,” ujarnya.
“Sejak 2019, tidak ada lagi penambahan sikerei di Matotonan.”
Tarida Hernawati, antropolog dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai, mengatakan sekitar 22 tahun lalu dia menyaksikan dalam satu tahun rata-rata ada 10 orang yang dinobatkan menjadi sikerei di satu desa.
“Saya juga melihat masih banyak orang-orang yang sedang belajar menjadi sikerei,” tambah Tarida.
Kini, sama seperti di Desa Matotonan, Tarida mengaku hampir tidak ada penobatan sikerei baru di dusun-dusun yang pernah dia datangi.
Hariadi Sabulat, 58 tahun, merupakan salah satu sikerei dari Desa Matotonan yang masih aktif. Pada tahun 90-an, ia mengingat bagaimana ayahnya memaksa dirinya untuk mengikuti jejak menjadi sikerei.
“Awalnya saya menolak. Lalu bapak saya mengatakan, untuk apa kamu punya ternak babi yang banyak. Babi yang besar-besar ini untuk siapa?” Hariadi menirukan sang ayah.
Keluarganya sudah turun-temurun menjadi sikerei. Selain ayahnya, kakek Hariadi juga seorang sikerei. Kakak lelaki dan adik lelakinya pun juga diminta orang tuanya menjadi sikerei. Maka saat Hariadi menolak, dia sampai dibawa ke sidang adat.
“Saat disidang ke tiga kalinya, baru saya terima. Sebelumnya selalu saya tolak, sampai bapak saya marah besar,” ia melanjutkan.
Maka dimulailah perjalanan Hariadi dan dua saudaranya menuntut ilmu jadi sikerei.
Mereka harus belajar dari seorang sikerei senior. Banyak babi yang harus mereka sediakan selama menuntut ilmu jadi sikerei.
“Masing-masing menyerahkan sepuluh babi,” sebut Hariadi.
Selama proses belajar menjadi sikerei, dia tidak boleh bekerja. Maka mereka harus punya sinuruk, yang bertugas membantu segala persiapan menjadi sikerei.
“Itu harus kita tanggung makannya, gulanya, rokoknya,” imbuh Hariadi, yang kala itu harus menanggung sepuluh sinuruk.
Hariadi juga berkewajiban memberi imbalan untuk sang guru berupa tiga ekor babi besar, sebidang kebun sagu, dua pohon durian, dua bidang lahan kelapa, dua lahan kebun keladi, dua ekor ayam jantan, dan dua keranjang ayam berisi induk dan anak ayam yang sudah besar.
Tahapan ini berlangsung dua kali, sehingga Hariadi mengaku harus istirahat selama dua tahun untuk membesarkan babi.
“Biaya menjadi sikerei memang sangat berat, kita harus menanggung sendiri,” sebut Hariadi, menambahkan bahwa di balik semua itu, dia tidak pernah menyesal menjadi sikerei.
Dia pun berharap masih ada generasi baru yang mau menjadi sikerei.
“Selama masih ada yang mau menjadi sikerei, budaya Mentawai di Matotonan masih akan lama bertahan,” katanya.
Lia eeruk
Hari besar yang ditunggu-tunggu tiba. Sepanjang tiga hari, dimulai sejak 10 Agustus 2024, seluruh warga Desa Matotonan yang berjumlah sekitar 1.300 jiwa akan terlibat dalam hajatan besar atau lia eeruk, merayakan hari jadi desa.
Ini adalah hari terakhir dan puncak perayaan. Semua sikerei harus memimpin jalannya acara dan musti tampil prima.
Aman Deun telah bersiap sejak fajar mulai merekah dan kabut mulai menipis dari udara pagi Matotonan. Ini hari yang penting untuknya.
“Badan sudah sehat, saya bisa tidur nyenyak tadi malam,” kata Aman Deun. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Suara gendang bertalu-talu, menandakan lia eeruk sudah akan dimulai.
Warga mulai berdatangan, dari anak-anak hingga orang tua, memenuhi uma, rumah besar orang Mentawai yang juga berfungsi sebagai balai desa.
Aman Deun memandang senang ke arah kumpulan warga dan turis yang datang.
“Simagere [jiwa] saya senang melihat ini semua, sehingga saya merasa sehat.”
Sebanyak 20 orang sikerei dan para sikalabai—istri sikerei—duduk berjajar, mengenakan pakaian kebesaran masing-masing.
Para sikalabai menghiasi kepala mereka dan mengenakan kalung manik-manik. Wajah mereka kuning dipoles sari kunyit.
Suasana berubah khidmat saat para sikerei memulai ritual. Seorang sikerei merapal urai dengan suara bergetar rendah. Nadanya naik turun seperti lantunan lagu syahdu.
Baca juga:
Para sikerei dan sikalabai kemudian berjalan mengitari orang-orang yang hadir di balai desa, dengan membawa sepiring daun dan bunga.
Mereka membagikan seruas daun enau atau katsila yang diikatkan ke kalung manik-manik untuk semua orang, sambil mengucapkan doa dengan bahasa Mentawai.
“Sailaku saila saila ngangon bolo, saila ngangan besik, saila simakatanganga, saila batang, saila ula saila simalauru.”
“Lewat saja penyakit menular, lewat saja semua penyakit, lewat saja hal-hal buruk, lewat saja ular, jangan datang.”
Ritual kemudian berlanjut dengan pengorbanan dan persembahan, yang disimbolkan dengan ayam dan babi.
Menjelang siang, hidangan pesta mulai disiapkan. Kuali-kuali besar dengan kuah menggelegak berisi babi. Sagu dalam buluh bambu dibakar. Keladi direbus dan disajikan dengan daging kelapa parut. Makan siang dihidangkan dalam piring-piring kayu panjang.
Lia eeruk berlangsung hingga malam hari. Puncaknya adalah upacara untuk mengusir pittok atau roh jahat.
Dengan mengibas-ngibaskan seikat daun besar di satu tangan, dan lonceng di tangan lainnya, para sikerei mulai melantunkan urai untuk mengusir pittok.
Aman Alangi, yang hari ini juga mengaku sudah sehat kembali, memimpin ritual puncak ini.
Ritual lalu ditutup dengan turuk lajo simagere atau tarian pemanggil roh.
Para sikerei menari di dalam lingkaran, saling meliuk dan mengisi satu sama lain.
Derap kaki mereka seragam dan seirama dengan ketukan genderang, menggetarkan lantai kayu dengan suara berdebam.
Gerakan-gerakan dalam tarian sikerei pada umumnya terinspirasi dari satwa yang kerap ditemui di hutan-hutan Siberut.
Nyaris tengah malam, seluruh ritual pada hari itu selesai. Tak terbayangkan bagaimana letihnya tubuh-tubuh tua Aman Deun dan Aman Alangi. Meski lelah, kedua sikerei mengaku merasa puas.
“Saya ingin tunjukkan kalau sikerei itu masih ada,” kata Aman Alangi.
‘Bisa tinggal nama saja’
Lia eeruk kali ini, bagi Kepala Desa Matotonan Ali Umran Sarubei, menjadi salah satu caranya untuk terus melestarikan tradisi Mentawai. Sebab, dia khawatir dengan jumlah sikerei di desanya yang terus berkurang.
“Dengan majunya zaman, peran sikerei mulai tergeser. Maka, kami mencoba memaksimalkan potensi desa untuk mempertahankan [tradisi],” ujarnya.
Mahkota Delfi, antropolog yang telah puluhan tahun meneliti kebudayaan Mentawai, mengatakan masih ada harapan untuk gelar sikerei tetap lestari asal ada niat yang kuat dari orang Mentawai sendiri.
Karena, tidak harus dari keturunan sikerei untuk menjadi sikerei.
“Bisa dari kemauan nenek moyang atau kemauan sendiri,” ungkap Delfi.
“Yang penting, ada niat dari hati.”
Delfi juga menyarankan supaya warga desa bersama-sama mendukung regenerasi sikerei.
“Sikerei kan tokoh yang diperlukan desanya, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama untuk mendukong calon sikerei sampai dinobatkan,” kata dia.
Ali Umran sendiri mengakui ada beberapa calon sikerei di desanya yang terkendala dana untuk membiayai rangkaian ritual hingga masa penobatan. Solusinya, ia menawarkan subsidi.
“Anggaran yang kami persiapkan mungkin tidak signifikan untuk membiayai seluruh kegiatan. Kami bisa membantu separuhnya,” kata Ali Umran.
Tarida Hernawati, antropolog dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai, khawatir akan masa depan Mentawai bila tak ada solusi.
“Jika tidak ada upaya-upaya pelestarian, saya rasa Mentawai sebentar lagi hanya tinggal nama kepulauan saja, bukan lagi entitas budaya,” kata Tarida.
Kalau identitas orang Mentawai yang terpusat pada sikerei tak ada lagi, kata Tarida, “tidak ada bedanya dengan etnis-etnis lain.”
Kekhawatiran inilah yang kini terus menggelayut di benak Aman Deun.
Kedua anak laki-lakinya tidak ada yang mengikuti jejak menjadi sikerei. Ia takut jika suatu saat nanti menutup usia, tak ada lagi sikerei yang mengantarkan rohnya. Terlebih, peran sikerei akan tergantikan.
Di atas lantai kayu rumah panggungnya yang dingin oleh angin malam, Aman Deun duduk bersila dan menarik nafas panjang.
“Jika saya mati dan tidak ada sikerei lagi, mungkin nanti yang memimpin doa [menggantikan peran sikerei] adalah ustaz, pendeta, atau pastor,” ia berujar pelan.
Dan dia tidak ingin itu terjadi.
--
Bajak Leket Sainak, kakak Aman Deun, meninggal dunia pada 15 September 2024, sebulan setelah BBC Indonesia mengunjungi Desa Matotonan.
Artikel ini merupakan bagian pertama dari dua seri liputan tentang “Para sikerei terakhir Mentawai”. Bagian kedua akan terbit pada 8 November 2024 dan mengetengahkan kisah anak-anak muda Mentawai dalam merawat tradisi dengan cara mereka sendiri.
Produksi video oleh Dwiki Marta. Wartawan Febrianti di Padang, Sumatra Barat, berkontribusi pada laporan ini.