Konten Media Partner

Tiga Alasan Mengapa Keanggotaan Indonesia di BRICS Bisa Menjadi Bumerang Saat Trump Berkuasa

20 Januari 2025 12:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Tiga Alasan Mengapa Keanggotaan Indonesia di BRICS Bisa Menjadi Bumerang Saat Trump Berkuasa

Prabowo Subianto di tengah pemimpin-pemimpin dunia di KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil pada 19 November 2024.
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto di tengah pemimpin-pemimpin dunia di KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil pada 19 November 2024.
Keputusan Indonesia bergabung BRICS menjadi sorotan setelah Donald Trump mengancam akan menekan blok ekonomi yang ingin lepas dari dominasi Dollar AS itu.
Apa saja yang perlu dilakukan Indonesia untuk menavigasi hubungan dengan AS di bawah kuasa Trump?
Keanggotaan di BRICS membuat hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di bawah periode kedua Donald Trump akan dimulai dengan posisi negatif, ujar para pengamat.
Presiden terpilih AS Donald Trump—yang sedianya dilantik pada Senin (20/1) hari ini—telah mengumbar akan memberlakukan tarif 100% bagi negara-negara anggota BRICS apabila mereka "mengganti dollar" dalam perdagangan internasional.
"Negara-negara BRICS mencoba untuk menjauh dari dollar dan [mereka] berpikir kita hanya diam dan menonton," tegas Trump lewat akun Truth Social pada 30 November 2024.
Trump menambahkan pihak AS meminta komitmen dari negara-negara BRICS untuk tidak menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dollar AS yang disebutnya "perkasa".
"[Jika tidak] mereka akan menghadapi tarif 100% dan bersiap-siaplah mengucapkan selamat tinggal pada ekonomi AS yang luar biasa," imbuhnya.
Gertakan Trump ini merupakan reaksi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS terakhir yang berlangsung di Kazan, Rusia pada November 2024.
Pada pertemuan itu, negara-negara anggota BRICS membahas peningkatan transaksi-transaksi non-dolar AS dan penguatan mata uang lokal.
BRICS—singkatan dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—dipandang sebagai kelompok yang ingin menentang dominasi negara-negara Barat.
Salah satu hal yang menjadi perhatian BRICS adalah dibutuhkannya sistem keuangan global yang lebih inklusif. Mereka ingin mengurangi dominasi US$ yang selama ini menjadi mata uang utama dalam perdagangan dan investasi dunia.
Di sisi lain, Indonesia secara resmi bergabung dengan BRICS pada 6 Januari bersama Mesir, Etiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Dilansir Reuters, Brasil, yang menjadi presiden BRICS pada tahun 2025, menyebut Indonesia diterima secara konsensus oleh negara-negara anggota blok ekonomi itu.
Donald Trump akan dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari 2025.
KTT BRICS 2025 akan berlangsung di Rio de Janeiro pada bulan Juli.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva sebelumnya menekankan pentingnya BRICS untuk mengembangkan metode pembayaran baru untuk untuk memfasilitasi perdagangan antar negara-anggota.
Di bawah Trump, Amerika Serikat diprediksi akan menjadi lebih agresif dalam menjalankan kebijakan luar negeri mereka.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir tercatat surplus. Hal ini dikarenakan nilai ekspor Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan nilai impor.
Angka ekspor Indonesia ke AS baru meningkat setelah tahun 2020 setelah periode pertama Trump berakhir.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Parahyangan, Idil Syawfi, mengatakan apabila Trump benar-benar menerapkan kebijakan tarif 100% ini, maka ini akan merugikan Indonesia mengingat sebagian besar ekspor Indonesia ke AS adalah bahan baku mentah.
Di sisi lain, Idil mengatakan bergabungnya Indonesia ke BRICS dikhawatirkan membuat AS memandang Indonesia lebih condong menjadi "bagian dari kelompok revisionis" dibandingkan "mendukung status quo yang pada saat ini adalah Amerika Serikat".

Baca juga:

Pendiri lembaga penelitian dan pelatihan independen Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menggarisbawahi dua pendiri BRICS, Rusia dan China, yang oleh AS sudah dianggap sebagai kompetitor yang mulai mengancam secara politik.
"Amerika [Serikat] tidak bisa menoleransi keberadaan kompetitor yang lebih dari sekedar biasa-biasa saja," ujar Dinna kepada BBC News Indonesia pada Jumat (17/1).
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pakar, berikut ini adalah hal-hal yang perlu menjadi pertimbangan Indonesia dalam menjaga stabilitas hubungan dengan AS di bawah Trump.

Gaya kepemimpinan Trump diprediksi akan semakin agresif

Di bawah kekuasaan Trump, Amerika Serikat diperkirakan akan menjadi lebih agresif dan unilateralis dalam melindungi kepentingan ekonomi mereka.
"Ini adalah Amerika Serikat yang berbeda. Trump periode kedua diperkirakan akan lebih agresif daripada Trump periode pertama," ujar Radityo.
Beberapa narasi agresif yang didengungkan Trump antara lain adalah keinginannya untuk mengambil alih Terusan Panama setelah memprotes biaya yang dikenakan kepada kapal-kapal AS untuk melintasi kanal itu.
Selain itu, Trump juga diberitakan menggertak Meksiko dan Kanada dengan ancaman tarif 25%.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, dilaporkan mengunjungi kediaman Trump di Florida pada 29 November 2024 untuk membahas ancaman itu.
Dinna dari Synergy Policies memprediksi AS di bawah Trump serta Menteri Keuangan Scott Bessent akan mengindahkan "kesepakatan-kesepakatan internasional yang pernah ada sebelumnya".
"Padahal kita tahu bahwa sejak ikut WTO, tarif itu sudah tidak boleh lagi diterapkan," ujar Dinna yang juga praktisi dan pengajar hubungan internasional.
Periode kedua Trump diperkirakan akan lebih agresif dari yang sebelumnya
Radityo pun menekankan pentingnya untuk terus membangun dialog dengan AS demi meyakinkan negara adidaya itu bahwa Indonesia tidak "berniat buruk dengan bergabung ke BRICS".
Untuk itu, sambung dia, dibutuhkan diplomat-diplomat handal yang bisa menavigasi hubungan dengan Amerika Serikat.
"Masalahnya sampai detik ini, posisi duta besar kita di Amerika Serikat kosong sejak beberapa waktu dan tidak ada tanda-tanda akan segera ditunjuk," ujar Radityo.
Radityo mengkhawatirkan diplomasi Indonesia-AS akan terlalu berpusat kepada presiden. Padahal, menurut dia, hubungan diplomatik sehari-harinya tetap berada di tangan para diplomat di lapangan.

Baca juga:

Selain itu, pengamat menilai Trump sejauh ini terkesan tidak memandang penting Indonesia dalam politik luar negeri mereka.
"Misalnya ketika Prabowo datang ke Amerika Serikat, Trump tidak menemui [Prabowo] secara langsung," ujar Idil.
"Lalu kemarin calon Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth yang tidak mengenal negara-negara ASEAN ketika ditanya Senat."
Idil mengatakan rekam jejak Trump yang begitu transaksional dalam menjalin hubungan dengan negara lainnya membuat Indonesia perlu bekerja keras agar dipandang sebagai negara relevan oleh AS.
Dari situ, Radityo pun menyarankan presiden untuk mengerahkan diplomat-diplomat senior seperti dua wakil menteri luar negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir dan Arif Havas Oegroseno dalam menavigasi hubungan dengan AS.
Selain itu, sosok seperti mantan menteri perdagangan, Marie Elka Pangestu yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) juga bisa dimanfaatkan.
"Manfaatkanlah orang-orang yang punya pengalaman diplomatik tinggi [atau] pengalaman personal berhubungan dengan Amerika Serikat. Jangan semuanya dilakukan sendiri oleh presiden," ujar Radityo.

Baca juga:

Saat ini, posisi duta besar Indonesia untuk AS untuk sementara masih dipegang kuasa hukum ad interim Sade Bimantara.
Menanggapi isu kosongnya posisi itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, menyebut pencalonan duta besar merupakan hak prerogatif presiden.

Keanggotaan Indonesia di BRICS cenderung merugikan dari sisi geopolitik

Radityo menilai keanggotaan di BRICS lebih condong merugikan Indonesia.
"Keuntungan ekonominya [bergabung ke BRICS] masih belum jelas," ujar Radityo kepada BBC News Indonesia.
"Sementara kerugiannya geopolitiknya sudah di depan mata.
Senada, pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengatakan Indonesia berada di posisi rugi karena ancaman dari Trump ditujukan kepada BRICS secara keseluruhan.
"[Trump] tidak akan melihat [Indonesia] baru masuk [BRICS]," ujarnya.
Selain itu, Dinna menilai pemerintahan Trump yang sangat anti-China akan "menghantam" negara mana pun yang dianggap mendukung negara Asia Timur itu.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS membuat Indonesia dipandang lebih dekat ke blok ekonomi yang menantang AS.
Senada, Idil mengingatkan mitra dagang terbesar Indonesia saat ini adalah China yang tidak lepas dari ekspor bijih nikel dan industri kendaraan listrik.
Selain hubungan yang semakin erat dengan China, Idil menilai Indonesia juga "semakin menjauh" dari AS seperti yang dapat dilihat dari maju-mundurnya investasi Apple di Indonesia.
Dinna mengaku belum melihat adanya rencana strategis dari Indonesia untuk menghadapi hal-hal di atas, termasuk menunjuk kementerian yang akan mengomandoi Indonesia sebagai anggota BRICS.
Dinna pun menyarankan agar Prabowo memberikan penjelasan publik mengenai apa saja yang sudah disiapkan Indonesia pada tahun pertamanya sebagai anggota baru BRICS.

Isu "de-dolarisasi" yang menjadi sorotan AS

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Roy Soemirat, menegaskan Indonesia tidak pernah terlibat dalam pembahasan de-dolarisasi dan tidak melihat adanya urgensi untuk melakukan upaya tersebut.
"Namun bagi Indonesia, kita perlu mendukung upaya-upaya otoritas moneter untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dari dinamika kurs global," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Radityo menilai negara-negara pendiri BRICS sebenarnya masih berbeda pandangan mengenai "de-dolarisasi".
Rusia dan China, menurut Radityo, memiliki kepentingan masing-masing untuk meninggalkan dolar AS. Seperti diketahui, Rusia saat ini tengah menghadapi sanksi Barat terkait perang Ukraina.
"[Sementara] China kemungkinan besar akan perang dagang dengan Amerika Serikat," ujar Radityo.
Apakah Indonesia dapat menavigasi hubungan dengan AS sebagai anggota baru BRICS?
Meski begitu, Radityo meragukan negara-negara BRICS lainnya seperti India dan Afrika Selatan akan betul-betul akan meninggalkan dolar AS terlebih setelah adanya ancaman Trump.
"Negara-negara ini adalah negara-negara produsen yang membutuhkan pasar. Pasarnya masih negara-negara maju yang menggunakan dolar," ujarnya.
"Jadi apakah ini hanya sekadar retorika geopolitik atau betul-betul opsi ekonomi?"
Di sisi lain, pengamat mengatakan diterimanya Indonesia sebagai anggota BRICS mengindikasikan ekspektasi dari negara-negara pendiri blok ekonomi itu.
Idil meyakini ada "harapan dan tekanan" dari Brasil, Rusia, dan China bahwa Indonesia dapat berkontribusi terhadap agenda de-dolarisasi mereka.
"Ini yang kemudian akan jadi dilema bagi Indonesia. Apakah akan bermain aman dengan abstain, menentang de-dolarisasi dengan bergabung dengan India, atau terpengaruh Brasil, Rusia, dan China," ujar Idil.

Bagaimana tanggapan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia?

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, menyanggah analisis yang menyebut bergabungnya Indonesia ke BRICS tergesa-gesa.
"Keanggotaan Indonesia dalam BRICS adalah hasil pertimbangan sejak lama, dan merupakan keputusan yang well-calculated [dipertimbangkan dengan baik berdasarkan kajian yang matang," ujar Roy kepada BBC News Indonesia pada Jumat (17/1).
"Dan ini merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Jadi, kita berpartisipasi aktif di semua forum, dan tidak ada kecenderungan pada kubu-kubu tertentu."
Roy menyatakan keanggotaan Indonesia di BRICS justru akan semakin meningkatkan posisi strategis Indonesia sebagai negara yang memiliki pengaruh di berbagai forum multilateral.
"Kita juga bisa memiliki peran yang lebih besar sebagai pembangun jembatan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi," ujarnya.
Roy menyebut Indonesia tidak akan berspekulasi tentang rencana BRICS ke depannya ataupun posisi Indonesia terhadap isu-isu yang dibahas blok ekonomi itu.
"Namun yang pasti Indonesia akan ikut aktif membentuk norma yg disepakati bersama berdasarkan dialog setara antara para anggota," ujarnya,
"Acuan utama dalam hubungan Indonesia dengan negara maupun [kelompok] internasional apapun adalah kepentingan nasional. Jadi, langkah apapun yang kita ambil akan berkiblat pada hal tersebut."

Baca juga:

Adapun mengenai hubungan Indonesia dengan AS di bawah Trump, Roy lagi-lagi menyatakan tidak perlu ada spekulasi.
Indonesia, sambung Roy, akan terus memantau perkembangan kebijakan perdagangan dengan AS dan memastikan kepentingan nasional tetap terjaga.
"Tentunya fokus kami adalah menjaga stabilitas hubungan kerja sama dan mencari solusi melalui dialog yang konstruktif," ujar Roy.
"Upaya diplomasi akan terus diperkuat untuk menjaga konsistensi prinsip hubungan luar negeri Indonesia, serta stabilitas hubungan dan kerja sama dengan AS."