Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
‘Tiga Hari Minum Air Hujan’ – Banjir Bandang Melanda Halmahera Tengah, Murni akibat Cuaca atau Aktivitas Pertambangan Nikel?
25 Juli 2024 17:45 WIB
‘Tiga Hari Minum Air Hujan’ – Banjir Bandang Melanda Halmahera Tengah, Murni akibat Cuaca atau Aktivitas Pertambangan Nikel?
Banjir besar yang menerjang sejumlah desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak akhir pekan lalu menyebabkan ribuan warga mengungsi. Walau cuaca ekstrem diklaim pemerintah sebagai faktor utama, pegiat tambang dan lingkungan mengatakan insiden ini tidak lepas dari aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut.
Sejumlah desa yang berlokasi di sekitar pertambangan nikel – tepatnya di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara – terdampak apa yang diklaim para aktivis sebagai “banjir terbesar” di wilayah tersebut.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, banjir merendam empat desa yakni Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen, dan Desa Lukolamo sejak Sabtu (20/07).
Sedikitnya 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar di empat desa tersebut terdampak banjir, menurut Walhi Maluku Utara.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halmahera Tengah per Rabu (24/07) mengatakan ada total 1.726 orang pengungsi yang terimbas banjir dan tersebar di beberapa posko darurat.
Ketinggian air di beberapa tempat dilaporkan mencapai lebih dari satu meter. Walhi Maluku Utara menyebut banjir juga memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan penyebab banjir adalah intensitas hujan yang tinggi sejak Sabtu (20/7). Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut cuaca ekstrim sebagai penyebab bencana – terutama diduga pengaruh dua siklon tropis, Gaemi dan Prapiroon.
Akan tetapi, para pegiat lingkungan mengeklaim banjir terjadi karena perusahaan-perusahaan pengolahan nikel yang berada di kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), terus membuka lahan untuk tambang nikel, sehingga menyebabkan fungsi alami hutan hilang.
Berdasarkan catatan Walhi Maluku Utara, sudah terjadi 16 kali banjir di wilayah tersebut sejak 2019. Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) – organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi persoalan tambang di Indonesia – mencatat ada 12 kali banjir besar – dengan ketinggian air mencapai 1 meter – yang merendam desa-desa di sekitar kawasan industri nikel di Weda Bay, sejak 2020.
LSM Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebut eksploitasi nikel di Halmahera Tengah terjadi sejak tahun 2019-2020. Sebelum marak kegiatan tambang, banjir memang beberapa kali terjadi tetapi tidak sampai berhari-hari seperti saat ini.
Baca juga:
Menurut warga setempat, eksploitasi nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara sudah dimulai sejak 2010-an. Pertambangan bertambah besar dengan kehadiran Kawasan Industri Weda Bay di, sejak 2018. Perusahaan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) mengoperasikan kawasan industri tersebut.
Warga yang tinggal sekitar 50 meter dari bantaran anak Sungai Kobe mengakui daerah tersebut memang rawan banjir, tetapi sebelum kehadiran perusahaan tambang air cepat surut bahkan pada hari yang sama langsung.
Warga juga mengatakan daerah itu mengalami krisis air akibat rusaknya sungai. Dalam laporannya, Jatam menyebut di Desa Lelilef, misalnya, krisis air bersih mulai terasa sejak 2019, atau setahun setelah PT IWIP beroperasi.
Namun, menurut perusahaan, bencana banjir disebabkan hujan deras yang telah berlangsung selama beberapa hari. Perusahaan juga menegaskan akan melakukan seluruh kegiatan operasional sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Bagaimana kronologi terjadinya banjir menurut versi pemerintah?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut air yang meluap dari Sungai Kobe di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara menyebabkan banjir, pada Minggu (21/7).
“Hal ini dipicu oleh intensitas hujan tinggi yang mengguyur wilayah Provinsi Maluku Utara sejak Sabtu (20/7),” ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam keterangannya.
“Banjir diperparah dengan adanya air pasang laut di daerah tersebut. Ketinggian muka air mencapai satu meter.”
Abdul menjelaskan tidak ada korban jiwa dalam banjir ini. Banjir Halmahera Tengah juga tidak dikategorikan sebagai bencana nasional karena hanya satu kecamatan yang terdampak.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sambung Abdul, seharusnya bisa menanggulangi bencana sesuai kapasitasnya. Dia menambahkan BPBD Halmahera Tengah masih melakukan upaya penanganan darurat berupa evakuasi warga terdampak dan pendataan korban terdampak serta kaji cepat kerugian materil.
Baca juga:
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi, menyebut faktor cuaca sebagai penyebab banjir yang menerpa sejumlah desa di Halmahera Tengah.
“Dari pemantauan lapangan dan keterangan BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika], pada saat itu ada cuaca ekstrim,” ujar Agus Cahyono pada Rabu (25/07).
Laporan BMKG yang dirujuk Kementerian ESDM menyebut banjir besar yang menenggelamkan desa-desa di Weda, Halmahera Tengah akibat luapan Sungai Kobe terjadi pada Minggu (21/07) dan berlanjut hingga Selasa (23/07).
Data BMKG menunjukkan pengaruh dua siklon tropis, Gaemi dan Prapiroon, diduga menjadi salah satu penyebab banjir.
‘Selama tiga hari minum air hujan’
Rani, 32 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga asal Ambon yang sudah tinggal di Desa Woejerana di Weda Tengah, Halmahera Utara, selama sembilan bulan.
Dia mengaku keluarganya sudah tidur ketika seseorang menggedor pintu rumahnya karena banjir tiba pada Sabtu (20/07).
“Kami lari mengungsi ke masjid. Malam itu kami terjaga sampai jam setengah dua [pagi]. Kalau saya sendiri sebenarnya tidak terlalu panik, tapi karena ada anak, [saya menjadi] panik. Karena di jalan besar airnya sudah setinggi pinggang orang dewasa,” ujar Rani yang terpaksa menggendong anaknya dan membawa berkas-berkas penting yang masih bisa diselamatkan.
Sementara Yarden Koke, 38 tahun, warga Desa Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, dikagetkan banjir yang tiba-tiba menerjang pada Sabtu (20/07) tengah malam.
Yarden mengatakan dirinya dan keluarga tidak bisa bergegas ke tempat-tempat yang tidak terjangkau air karena “sudah tergenang semua”. Mereka bisa bertahan selama tiga hari karena rumah adat mereka berbentuk rumah panggung.
“Untung saja lantai kami tidak tergenang,” ujar Yarden merupakan anggota masyarakat adat kepada wartawan Adlun yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Kamis (25/07).
Selama tiga hari itu, imbuhnya, mereka mengaku “setengah mati” mencari air. Bahkan, untuk membeli air galon pun tidak mungkin karena depot-depot air setempat juga tenggelam banjir.
“Jadi kami selama tiga hari itu minum air hujan.”
Yarden menambahkan banjir memang sering menimpa wilayahnya. Namun, sebelum kehadiran perusahaan tambang, banjir akibat luapan Sungai Kobe biasanya langsung surut pada hari yang sama.
“Setelah ada perusahaan tambang ini banjirnya sampai dua-tiga hari. Setelah perusahan ada, hampir tiap bulan sering banjir. Kali ini yang terbesar,” ujar Yarden yang mengaku tidak pernah mendengar soal proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) ataupun dilibatkan di dalamnya.
“Mungkin di desa lain ada, tapi di sini tidak.”
Saida, 48 tahun, warga Desa Woejerana di Weda Tengah, Halmahera Utara mengeklaim baru kali ini banjir di wilayah terjadinya dalam skala seperti ini.
“Biasanya [banjir besar] enam tahun sekali, itu pun jarang. Tapi sekarang banjir sudah bukan enam tahunan [bahkan] sudah bukan bulanan lagi, setiap minggu kalau hujan besar… airnya naik,” ujar Saida yang juga mengeluhkan kualitas air di daerahnya.
“Dulu kondisi air sungai bagus, tapi sekarang saya tidak pernah melihat air sungai jernih.”
Pernyataan Saida diamini Yarden yang mengatakan warga sebelumnya bisa mandi di sungai atau bahkan meminum airnya.
“Setelah ada perusahaan, bahkan kita mau mandi pun sudah tidak bisa,” tandasnya.
Apakah bencana banjir di Halmahera Tengah akibat aktivitas pertambangan nikel?
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) – organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi persoalan tambang di Indonesia – mengatakan banjir besar yang merendam desa-desa tersebut adalah “salah satu banjir terbesar yang terjadi di Halmahera Tengah pasca wilayah daratannya banyak diokupasi untuk kepentingan pertambangan nikel”.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa peristiwa ini sudah beberapa kali terjadi. Jatam mencatat ada 12 kali banjir besar yang merendam desa-desa di sekitar kawasan industri nikel di Weda Bay, sejak 2020.
Menurut Melky, fenomena ini sama sekali tidak dianggap serius oleh pemerintah.
“Apa yang kemudian menyebabkan ketika terjadi hujan dalam intensitas seperti ini, itu banjir bandangnya itu berlangsung dalam skala yang sangat besar?” ujar Melky.
“12 kali terjadi ini, pemerintah enggak belajar bahwa ada sesuatu yang serius yang mestinya harus dibenahi.”
Melky mengatakan data yang dihimpun Jatam sampai dengan bulan Juli memperlihatkan bukaan lahan secara keseluruhan di Halmahera Tengah mencapai lebih dari sekitar 21.000 hektare.
“Ketika bukaan lahan itu berjalan cepat, maka fungsi alami kawasan hutan untuk meresap air, kan, hilang. Ketika hujan datang, maka banjir atau longsor itu pasti akan terjadi,” ujar Melky.
Baca juga:
Secara terpisah, Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara, mengatakan banjir tidak lepas dari kerusakan bentang alam di bagian hulu. Ekosistem hutan, sambung dia, tidak lagi bisa menahan laju kecepatan air ke wilayah desa-desa di pesisir.
“Dalam satu dekade terakhir Hutan Primer seluas 188 ribu hektare telah mengalami mengalami deforestasi seluas 26.100 [akibat] masifnya penambangan nikel di Halmahera Tengah,” klaim Faizal pada Kamis (24/07).
Faizal menjelaskan bahwa Desa Lukolamo di Kecamatan Weda Tengah memang rawan banjir karena posisinya berada di dataran rendah sehingga pasti akan tergenang apabila Sungai Kobe meluap.
“Namun, beberapa tetua kampung di desa Lelilef Waibulen (desa induk Dusun Lukolamo sebelum dinaikkan statusnya menjadi desa) [mengatakan] meluapnya sunga Kobe yang besar biasanya setiap 15 sampai 20 tahun baru terjadi, tapi tidak membawa lumpur seperti saat ini,” klaim Faizal.
Lebih lanjut, Faizal menjelaskan, saat ini pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah mencapai jumlah 24 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 37.952,74 hektare dan yang terluas izin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel (kawasan Industri Nikel PT IWIP) seluas 45.065 hektare.
“Daerah tersebut mengalami keseringan banjir sejak hadirnya investasi industri nikel di Halmahera tengah terutama PT. IWIP dan PT. Tekindo Energi. Walhi Maluku Utara mencatat sejak 2019 sampai saat ini sudah terjadi 16 kali banjir di wilayah tersebut,” klaim Faizal.
“Tapi yang terparah adalah saat ini, dimulai Sabtu [20/07] dini hari kemarin.”
Pius Ginting, Kordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), mengatakan pemerintah harus menjadikan bencana ini sebagai momentum untuk melakukan evaluasi terhadap hilirisasi nikel melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
“Perlu dilakukan pembatasan produksi nikel, pembatasan penambangan, mengingat kawasan Halmahera memiliki kecenderungan curah hujan yang terus tinggi terkait dampak iklim,” ujarnya.
Menurut Pius, hasil analisis spasial menunjukan, dari tahun 2013 hingga 2023, hutan yang hilang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, PT IWIP, dan perusahaan tambang mencapai 10.803 hektar.
“Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukan bahwa deforestasi di wilayah tambang tersebut mencapai 7.167 hektar,” tutur Pius.
Bagaimana perusahaan tambang merespons kejadian banjir?
Media lokal Haliyora yang berbasis di Kota Ternate, Maluku Utara melaporkan pemicu banjir diduga karena adanya tanggul PT IWIP yang jebol – tepatnya di Kilo 15.
Media TribunTernate.com juga memberitakan hal serupa.
Ketika BBC News Indonesia memintai tanggapan PT IWIP, manajemen PT IWIP membantah pemberitaan tersebut.
Adapun mengenai tudingan sejumlah pihak tentang aktivitas tambang nikel masif sebagai faktor penyebab bencana banjir, manajemen PT IWIP melalui surat elektronik menyatakan pihaknya “akan melakukan seluruh kegiatan operasional sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia”.
“Perlu kami tegaskan bahwa tidak ada upaya dari kami untuk melakukan pemalangan sungai manapun,” terang manajemen PT IWIP dalam email mereka yang diterima BBC News Indonesia pada Kamis (25/07).
Manajemen PT IWIP dalam keterangan resminya menyebut bencana banjir disebabkan “hujan deras yang telah berlangsung selama beberapa hari ini”.
“Besarnya volume air hujan telah menyebabkan sejumlah desa di dekat kawasan industri kami terendam banjir. Sebagai komitmen kami terhadap masyarakat, kami telah mengerahkan tim tanggap darurat untuk membantu penanganan situasi bencana banjir yang terjadi,” tutur manajemen PT IWIP.
BBC News Indonesia juga sudah menghubungi PT. Tekindo Energi untuk dimintai tanggappan, tetapi hingga artikel ini diterbitkan direksi belum merespons.
Apa kata pemerintah pusat dan daerah tentang tuduhan aktivitas pertambangan nikel sebagai penyebab bencana?
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan pihaknya belum bisa berkomentar mengenai apakah aktivitas pertambangan nikel setempat menjadi penyebab banjir – dia membandingkannya dengan bencana tanah longsor di area pertambangan emas ilegal di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pada awal bulan Juli.
“Berbeda dengan kasus longsor Bone Bolango, misalnya, itu clear [jelas] dilaporkan BPBD karena ada aktivitas pertambangan liar [...] Untuk [yang] Weda ini, kita masih belum memiliki laporan lengkap atau data lengkap terkait ekses dari aktivitas pertambangan. Pun dari BPBD tidak melaporkan demikian ke kita,” ujar Abdul.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Halmahera Tengah, Rais Musa, mengakui dampak bencana banjir kali ini lebih parah dibandingkan yang sebelumnya.
"Tahun-tahun sebelumnya memang sering terjadi, tetapi dampaknya tidak seperti saat yang ini,” ujarnya pada Kamis (25/07).
Namun, Rais tidak menanggapi ketika ditanya apakah aktivitas pertambangan menjadi penyebabnya, dengan mengatakan: "soal itu mungkin [ke] yang lebih teknis, ya”.
Sementara Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi mengatakan pihaknya masih menunggu penjelasan dari tim teknis mengenai hal tersebut.
Baca juga:
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya, menyarankan perusahaan-perusahaan tambang untuk menurunkan jumlah produksi untuk mengurangi “beban lingkungan”.
“Kalau misalnya produksinya cukup besar, kegiatan atau aktivitasnya juga padat sehingga nanti kurang bisa diantisipasi ketika ada kejadian alam seperti hujan yang turun dengan debit yang besar,” ujar Fachruddin saat dihubungi pada Rabu (24/07).
“Itu saran saya ke semua perusahaan tambang, bukan hanya ke [PT] IWIP.”
Di sisi lain, Fachruddin mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan instansi terkait untuk melakukan investigasi mengenai apakah aktivitas tambang nikel setempat menjadi penyebab banjir.
“Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Halteng [Halmahera Tengah] masih fokus untuk penanganan dampak banjirnya. [Sedang mengurus] pengungsi dan bantuan sosial lainnya,” ujar Fachruddin.
Wartawan BBC News Indonesia Tri Wahyuni di Jakarta dan kontributor di Halmahera Tengah, Adlun Fiqri, serta Amahl Azwar di Jakarta melaporkan untuk artikel ini.
Live Update