Tiko dan Ibu Eny, Kisah Keluarga yang Bertahan Hidup di dalam Rumah Besar

Konten Media Partner
6 Januari 2023 21:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiko dan Ibu Eny, Kisah Keluarga yang Bertahan Hidup di dalam Rumah Besar
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nama Pulung Mustika Abima yang akrab dipanggil Tiko, 23 tahun, viral bersamaan dengan pembersihan rumah besar dua lantai miliknya yang tak terurus.
Tiko tinggal bersama ibunya, Eny, di rumah tersebut tanpa listrik dan air bersih selama lebih dari satu dekade. Masyarakat sekitar menyebut mereka kerap menawarkan bantuan, tapi selalu ditolak sang ibu yang kini menjalani perawatan kejiwaan.
Namun, seorang sosiolog melihat hal ini sebagai respons traumatis seorang perempuan yang kondisinya dalam tekanan.
Untuk menuju rumah Tiko, BBC News Indonesia harus melewati portal keamanan yang dijaga warga setempat.
Luas setiap rumah di kompleks ini umumnya berukuran lebih dari 100 meter persegi dengan bangunan bertingkat dua atau tiga. Halaman depannya penuh dengan taman, dan punya ruang untuk parkir mobil.
Rumah Tiko berada di ujung kompleks, dan hari itu ramai dipadati orang-orang yang didominasi anak-anak dan ibu-ibu.
"Pengen tahu kabarnya saja. Dari jaman saya pacaran, ini [rumahnya] nggak ada lampunya. Kalau malam nggak berani lewat sini,” kata Anisa sembari duduk di atas sepeda motornya.
Di antara kerumunan ini, Tiko tidak terlalu menjadi perhatian warga.
Beberapa anak kecil yang datang dari kampung seberang ramai dengan mainan lato-lato di tangan Mereka mendengar desas desus ada artis atau pesohor media sosial yang akan datang.
Kerumunan masyarakat yang penasaran dengan rumah Tiko dan Ibu Eny.
"Katanya Raffi Ahmad mau datang," celetuk seorang bocah perempuan yang matanya berbinar-binar. Yang lain mengatakan, "Besok bunda milenial [YouTuber] mau datang lagi ikut bersih-bersih rumahnya."
BBC News Indonesia menghindari kerumunan dan masuk ke salah satu ruas kompleks, di sebuah pos penitipan mobil.
Di situlah tempat biasa Tiko dan sebagian anak-anak muda warga setempat "makan, tidur dan ngobrol" bersama.
BBC News Indonesia bertemu dengan Tiko, tapi pria bertubuh ramping ini tak punya banyak waktu untuk berbincang. Ia sudah ada janji untuk tampil di sebuah acara televisi.
Tiko berada di kerumunan warga yang datang.
Saat BBC News Indonesia bertanya, apakah ada keluarga jauhnya menghubungi setelah dirinya viral?
"Kalau itu nggak tahu saya," kata Tito sambil mengangkat kedua tangannya, enggan bercerita lebih jauh tentang soal ini.
Ia pun mengomentari kerumunan warga yang datang memadati sekitar rumahnya. "Senang, cuma agak risih juga, terlalu ramai, nggak ada ruang gerak saya," katanya sambil berlalu.

Apa kata teman-teman Tiko?

Pos jaga di kawasan rumah Tiko. Tempat Tiko dan teman-temannya berkumpul. Ahmad Saihu [kanan jaket hitam]
Di luar kerumunan dengan kebisingannya, BBC News Indonesia mendapat cerita lebih lengkap dari Ahmad Saihu, teman kongko Tiko.
Saihu mengatakan mulai mengenal Tiko sejak awal pandemi atau saat ia mulai bekerja sebagai penjaga penitipan mobil yang dikelola oleh pengurus RT setempat.
"Saya kenal dia, pas jaga parkir saja. Dua tahun lalu. Dulu (sebelum itu), jual gorengan. Ibunya masak, dia yang dagangin," kata Saihu.
Upah menjaga mobil Rp1,1 juta per bulan. "Cuma dia ambilnya harian karena buat biayai ibunya. Buat membantu ibunya beli nasi.
"Kadang kalau nongkrong di sini bilang, 'ntar dulu bang, mau beli nasi dulu buat ibu'," tambah Saihu.
Saihu juga berkata, Tiko orang yang tertutup untuk membicarakan masalah keluarganya ketika kongko.
Kawasan perumahan di kediaman Tiko.
Meski demikian, semua warga sudah tahu kondisi rumah Tiko yang sudah 12 tahun tidak dialiri listrik dan air bersih, termasuk ibunya yang hidup dengan gangguan jiwa. Semua orang sekitar berusaha memberi air bersih dan makanan, kata Saihu.
"Tapi mereka takut karena ibunya galak. Marah-marah gitu. Seakan-akan orang lain itu musuh. Mungkin trauma masa lalunya," kata Saihu.
Selama ini, kata Saihu, untuk kebutuhan sehari-hari Tiko menampung air hujan atau menenteng ember yang berisi air dari tetangga. Sementara, ibu Eny di rumah memasak menggunakan kayu bakar.

Rumah hampir disita

Rumah Tiko berlantai dua hampir disita, menurut pengakuan seorang warga.
Tidak ada yang tahu persis apa masalah keluarga Tiko, tapi warga setempat mengatakan dulunya keluarga ini hidup makmur sampai ayahnya pergi meninggalkan rumah.
Keberadaan Tiko dan ibunya yang diperkirakan berusia 60 tahun terkuak ke publik setelah dua pembuat konten YouTube, Bang Brew TV dan Pratiwi Noviyanthi, membuat konten horor rumah kosong.
Kini rumah tersebut sudah dibersihkan warga, termasuk petugas kebersihan dari kelurahan. Listrik dan air dilaporkan mengalir lagi, berkat bantuan masyarakat.
Hal lain yang terungkap adalah rumah yang ditempati Tiko dan Eny sempat akan disita, seperti dilaporkan seorang YouTuber, Bang Satria.
"Itu [peristiwa penyitaan] faktornya juga, kenapa mamanya Tiko selalu histeris kalau ada orang masuk. Karena pernah ingin dilelang, dan mamanya Tiko menilai orang yang masuk ini adalah orang yang mau merebut rumahnya," kata pemilik saluran YouTube Bang Satria.

Respons trauma

Sebuah boneka bergantung di pintu masuk rumah Tiko
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Heru Nugroho, menilai reaksi penolakan Ibu Eny terhadap orang dari luar, termasuk bantuan, sebagai "respons trauma".
"Trauma karena ada [penyitaan], karena dia janda, tidak punya pendapatan, ekonominya lemah, merasakan powerless ketika berhadapan dengan kuasa-kuasa yang mau mengusir itu," kata Profesor Heru kepada BBC News Indonesia, Jumat (06/01).
Selain itu, reaksi itu juga kemungkinan karena sudah merasakan tidak ada lagi perlindungan.
"Dia merasa tidak percaya lagi pada aparat, tidak percaya pada hukum dan keadilan di negeri ini, sehingga ketika dia menolak seperti itu, jangan-jangan bukan persoalan semata-mata gengsi," lanjut Prof Heru.
Halaman parkir rumah Tiko, masih terlihat sebuah ember yang digunakan untuk menampung air hujan yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Lalu fenomena yang viral ini, kata Prof. Heru, membuktikan solidaritas sosial "lebih cepat daripada policy negara dalam mengatasi problem sosial."
Fenomena Tiko dan Ibu Eny bisa jadi ada di sebelah rumah kita, di kota-kota besar lainnya. Namun, Profesor Heru meyakini orang di sekitarnya pasti akan bahu membahu mengulurkan tangan ketika ada tetangganya yang menghadapi masalah.
"Dalam situasi apa pun, sifat manusia sosial itu muncul, meskipun kita hidup di Jakarta yang individualistik," katanya.