Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
TNI AL Minta Utang Rp5,45 Triliun ke Pertamina Dihapus, Bagaimana Duduk Perkaranya?
2 Mei 2025 10:10 WIB
TNI AL Minta Utang Rp5,45 Triliun ke Pertamina Dihapus, Bagaimana Duduk Perkaranya?

Selama bertahun-tahun TNI berutang triliunan rupiah kepada PT Pertamina (Persero) dari proses pembelian bahan bakar minyak. Pimpinan institusi militer baru-baru ini meminta utang itu dihapus. Mungkinkah secara hukum dan apa konsekuensinya?
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali menyebut lembaganya memiliki tunggakan setidaknya Rp5,45 triliun kepada Pertamina. Dia mengusulkan kepada Komisi I DPR agar utang itu dihapuskan.
"Ini mengganggu sekali, mengganggu kegiatan operasional," kata Ali dalam Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPR, Jakarta, 28 April lalu.
"Harapannya [utang] ini bisa ditiadakan—untuk masalah bahan bakar. Jadi terputus, diputihkan," tuturnya.
Merespons perkataan Ali, Pertamina menyebut akan berkoordinasi dengan pemerintah. Yang jelas, perusahaan plat merah itu menggarisbawahi bahwa "Pertamina harus memiliki kemampuan menjaga operasional perusahaan".
Seorang pakar pertahanan yang pernah bekerja di lingkaran Istana Negara menilai persoalan utang TNI kepada Pertamina "telah berlarut-larut". Dia menyarankan agar tunggakan itu dihapus secara transparan agar "penjaga kedaulatan negara tidak terus-menerus dibebani utang".
Namun seorang peneliti isu energi mengusulkan agar persoalan utang-piutang itu diselesaikan secara adil. Kuncinya, kata dia, masalah ini harus diselesaikan secara bersama-sama oleh menteri koordinator dan para menteri di bidang pertahanan, keuangan, dan badan usaha negara.
Bagaimana duduk perkara utang TNI ke Pertamina?
Dalam dua rapat di Komisi I DPR, yakni pada 28 dan 29 April lalu, persoalan utang TNI ke Pertamina mencuat.
Laksamana Muhammad Ali, orang nomor satu di TNI AL, menyebut lembaganya adalah pengguna bahan bakar minyak terbesar di institusi militer—lebih banyak ketimbang Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
"Kapal kami, walaupun diam, tidak bergerak, tapi dieselnya tetap hidup untuk menghidupkan air conditioner (pendingin ruangan). Karena kalau dimatikan, peralatan elektronik di dalamnya akan rusak," kata Ali.
Konsumsi bahan bakar itu menjadi persoalan, klaim Ali, karena lembaganya membeli dari Pertamina dengan harga industri. Kategori harga ini diberlakukan Pertamina, antara lain untuk pemilik pabrik dan pembangkit listrik.
Bahan bakar industri dijual dengan harga yang berbeda dengan bahan bakar untuk kendaraan pribadi.
"Harusnya [yang kami beli] bisa dialihkan menjadi bahan bakar subsidi," ujar Ali.
Lebih dari itu, Ali juga mengeluhkan apa yang dia sebut sebagai "perbedaan perlakuan".
Tidak seperti lembaganya, Ali menyebut Polri membeli bahan bakar minyak dari Pertamina dengan harga yang disubsidi pemerintah.
"Ini mungkin perlu disamakan nanti," kata Ali.
'Bukan persoalan baru'
Masalah utang-piutang antara TNI dan Pertamina setidaknya telah mencuat ke publik 19 tahun lalu.
Pada 2006 eks Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Komisaris Utama Pertamina.
Penunjukkan itu memicu kontroversi, antara lain karena TNI memiliki utang Rp1,6 triliun dari pembelian bahan bakar minyak.
Meski begitu, proses jual-beli bahan bakar antara TNI dan Pertamina masih terus berlanjut. Pada 2009, utang TNI ke Pertamina meningkat hingga Rp7 triliun.
Desember 2013, Pertamina dan Kementerian Pertahanan meneken nota kesepahaman. Bukan cuma bahan bakar minyak, Pertamina juga akan memasok pelumas untuk keperluan operasional TNI.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Hanung Budya, saat itu menjabat Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, bilang perjanjian itu dibuat untuk memastikan kebutuhan bahan bakar TNI "bisa dipenuhi secara berkelanjutan".
Per 2013, Hanung menyebut Pertamina memasok 425 juta liter bahan bakar minyak, bukan hanya ke TNI, tapi juga Polri. Setiap tahun, pasokan itu meningkat sekitar 5%.
Dalam seremoni di kantor Kementerian Pertahanan itu, Hanung Budya menyelipkan harapannya terkait aspek finansial dari jual-beli bahan bakar minyak itu.
Alasannya, kata Hanung, Pertamina bukan hanya bertugas memasok bahan bakar untuk kepentingan nasional. Sebagai penghasil deviden negara, Pertamina disebutnya juga dituntut mengejar keuntungan.
Juni 2017, utang TNI untuk pembelian bahan bakar minyak melonjak hingga Rp10 triliun. Data tersebut diungkap Direktur Utama Pertamina saat itu, Elia Massa Manik.
Elia berkata, jumlah utang TNI itu berasal dari pembayaran yang semestinya dilunasi sejak 2014.
"Ini akan memengaruhi keuangan perseroan," kata Elia saat itu.
"Ini biaya yang harus kami tanggung untuk menjalankan perintah pemegang saham," ujarnya.
Pertamina dimiliki pemerintah Indonesia penuh. Bukan hanya TNI, pemerintah pun memiliki utang kepada Pertamina, dari tahun ke tahun, termasuk yang dikeluhkan oleh Elia Manik.
Baca juga:
Utang pemerintah kepada Pertamina itu, antara lain berasal dari subsidi elpiji dan subsidi bahan bakar minyak untuk kendaraan pribadi.
Desember 2020, tatkala Basuki Tjahaja Purnama menjabat Komisaris Utama Pertamina, persoalan utang-piutang ini juga mencuat.
Basuki alias Ahok diminta anggota Komisi VII DPR untuk menagih pemerintah membayar utang triliunan rupiah tersebut.
"Kasihan Pertamina itu," kata Harry Poernomo, saat itu anggota dewan dari Partai Gerindra, kepada Ahok di forum resmi lembaganya.
Bagaimana proses TNI membeli bahan bakar minyak selama ini?
Regulasi tentang pembelian dan pengelolaan bahan bakar di lingkup TNI beberapa kali direvisi dalam kurun dua dekade terakhir.
Tata cara pembelian yang kini berlaku adalah Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 5 Tahun 2020.
Merujuk peraturan itu, pembelian bahan bakar oleh TNI didasarkan pada dokumen rencana kebutuhan.
Dokumen itu disusun dan dapat diajukan per tiga bulan dan tahunan "dengan perhitungan yang realistis dan rasional".
Empat unit organisasi di TNI, yaitu Markas Besar, TNI AD, AL, dan AU menyampaikan rencana kebutuhan itu secara berjenjang ke kepada Menteri Pertahanan melalui Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan.
Pembelian bahan bakar minyak, termasuk pelumas, yang diajukan itu kemudian dilakukan Kementerian Pertahanan dengan Pertamina—dalam skema penunjukan langsung.
Regulasi itu memungkinkan pembelian lewat pemasok lain, tapi diwajibkan melalui proses lelang.
Pembelian ini diikuti proses penyaluran ke setiap unit organisasi di TNI. Setelah digunakan, mereka wajib melaporkan penggunaannya ke Kementerian Pertahanan.
Dua pejabat eselon satu di kementerian itu, yakni Dirjen Kekuatan Pertahanan dan Dirjen Prencanaan Pertahanan ditugaskan untuk mengawasi seluruh proses ini.
Bagaimana masalah utang ini muncul?
Salah satu akar persoalannya adalah perbedaan antara kebutuhan dan alokasi anggaran yang dimiliki TNI. Ini adalah penilaian Jaleswari Pramodhawardani, pakar pertahanan yang menjabat deputi di Kantor Staf Presiden periode 2016-2024.
"TNI AL secara spesifik memiliki kebutuhan operasional yang sangat tinggi, terutama kapal perang yang harus siaga 24 jam setiap hari menuntut ketersediaan bahan bakar yang signifikan," kata Jaleswari.
"Sementara itu, alokasi anggaran negara, meski terus berupaya ditingkatkan, terkadang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan riil di lapangan.
"Kesenjangan inilah yang berpotensi memicu timbulnya mekanisme utang sebagai solusi jangka pendek untuk menjaga roda operasional tetap berjalan," ujar Jaleswari.
Pada 2024, TNI AL mendapat anggaran tahunan sebesar Rp24,75 triliun dari APBN. Tahun sebelumnya, mereka mendapat Rp23,7 triliun.
Menurut Jaleswari, persoalan utang ini muncul juga karena periode penyusunan dan pencairan anggaran negara yang tidak seiring. Dihadapkan pada kebutuhan riil, dia menduga TNI memilih pragmatis: berutang.
Fluktuasi harga bahan bakar disebut Jaleswari pada titik tertentu juga menimbulkan tekanan finansial kepada TNI.
Di luar tiga aspek yang dianggapnya bisa memicu persoalan utang itu, Jaleswari mempertanyakan efisiensi dan pengawasan terhadap pemakaian bahan bakar itu.
"Potensi inefisiensi dan lemahnya pengawasan di masa lalu dapat berkontribusi pada akumulasi utang," ujar Jaleswari.
Apa respons pemerintah?
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, angkat bicara terkait utang TNI kepada Pertamina di Komisi I DPR, Rabu (30/04) lalu. Namun dia tidak mengungkap bagaimana siasatnya untuk melunasi tunggakan tersebut.
Sjafrie hanya berbicara tentang akuntabilitas dan transparansi penggunaan bahan bakar di lingkungan TNI.
"Kami gunakan sistem digital untuk melihat penggunaan dan melacak ke mana perginya bahan bakar yang digunakan TNI," ujarnya.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyebut TNI dan Kementerian Pertahanan semestinya telah memiliki alokasi untuk membayar bahan bakar minyak yang mereka beli dari Pertamina.
"Tentang belanja BBM kementerian, mungkin ada yang berasal dari belanja BBM 2024, itu berarti ada dalam DIPA kementeriannya masing-masing," kata Suahasil kepada pers, Rabu lalu.
"Jadi kalau yang belanja adalah TNI, ya ada di Kementerian Pertahanan dan itu dianggarkan ke sana di dalam 2025," ujar mantan Komisaris Pertamina ini.
Lantas apa solusinya?
Solusi ini semestinya dipikirkan oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan, menurut Jaleswari.
Dua opsi yang bisa mereka ambil, kata Jaleswari, adalah menambah alokasi anggaran bagi TNI atau menyusun ulang jadwal pembayaran utang kepada Pertamina.
"Ketergantungan pada mekanisme utang jangka panjang harus diminimalkan dengan perencanaan anggaran yang lebih akurat dan responsif terhadap kebutuhan operasional TNI," ujarnya.
"Solusi ini Ini harus dipikirkan benar-benar karena masalah ini sudah terjadi di era presiden sebelumnya, tapi belum mendapatkan solusinya," kata Jaleswari.
Adapun, pakar ekonomi makro dari Universitas Trisakti, Komaidi Notonegoro, menganggap Pertamina harus aktif menagih piutang mereka dari TNI.
Untuk menjamin proses penagihan tak memicu persoalan baru, Komaidi menilai pejabat setingkat menteri koordinator harus turut terlibat.
Utang TNI AL sebesar Rp5,4 triliun, kata Komaidi, terlihat kecil jika dibandingkan dengan omset Pertamina yang mencapai sekitar Rp1.200 triliun per tahun.
Namun jika dikomparasi dengan laba Pertamina sebesar Rp42 triliun pada 2024, besaran utang TNI AL itu disebut Komaidi signifikan bagi keuangan perusahaan itu.
"Untuk militer ini berkaitan dengan pertahanan negara, tapi di satu sisi lain ada aspek bisnis keuangan Pertamina. Dampaknya bisa ke mana-mana," kata Komaidi.
"Jadi perlu penyelesaian yang adil intinya," ucap Komaidi yang juga direktur eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer) Institute ini.
Bisakah utang TNI AL dihapus?
Bisa, merujuk UU Nomor 1 Tahun 2025. Beleid ini adalah versi ketiga dari UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Aset berupa piutang yang dapat dihapusbukukan merupakan piutang macet yang telah dilakukan upaya penagihan secara optimal, namun tidak tertagih dan tidak disebabkan oleh adanya kesalahan," begitu bunyi Pasal 62D ayat 3.
Setelah mengeluarkan piutang dari neraca keuangan, BUMN seperti Pertamina masih tetap memiliki kewajiban untuk terus melakukan penagihan.
Upaya tersebut menjadi syarat sebelum BUMN berhenti melakukan penagihan—atau yang dalam bahasa akuntansi disebut hapus tagih.
Pasal 62E mengatur, hapus tagih dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri BUMN.