Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
TNI Geruduk Polrestabes Medan, Mengapa Tindakan di Atas Hukum Terus Terjadi?
8 Agustus 2023 7:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTindakan Mayor Dedi Hasibuan bersama puluhan anggota TNI berseragam lengkap yang menggeruduk Mapolrestabes Medan, Sabtu (05/08), merupakan tindak pidana obstruction of justice yang termuat di pasal 221 KUHP, kata Direktur Eksekutif Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar.
Karenanya, menurut dia, mereka harus diseret ke peradilan umum.
Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, menyebut tindakan sejumlah prajurit TNI menggeruduk Mapolrestabes Medan itu "kurang etis" dan memerintahkan polisi militer "memeriksa" para prajurit itu.
Apa yang terjadi di Mapolrestabes Medan?
Peristiwa penggerudukan yang terjadi di Mapolrestabes pada Sabtu (05/08) berkaitan dengan penangkapan dan penahanan tersangka mafia tanah.
Sang tersangka, Ahmad Rosyid Hasibuan, merupakan saudara Mayor Dedi, penasihat hukum Kodam I Bukit Barisan.
Dalam video yang beredar di media sosial, Mayor Dedi dan sejumlah anggotanya yang mengenakan seragam lengkap mendatangi Mapolrestabes.
Mereka menemui Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fathir Mustafa.
Di pertemuan itu, Mayor Dedi setengah berteriak mempertanyakan permintaan penangguhan penahanan terhadap tersangka Ahmad Rosyid yang tak kunjung dikabulkan.
Dia bahkan menjamin bahwa tersangka Ahmad Rosyid tidak akan melarikan diri kapan pun polisi akan memeriksanya.
Di tengah kondisi tegang itu, Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Teuku Fathir, berupaya menjelaskan bahwa tersangka ditahan berdasarkan alat bukti dan tiga laporan polisi.
Selain itu dia juga mengatakan, kalau sampai penangguhan dikabulkan akan menjadi pertanyaan di masyarakat terutama pelapor.
Polisi, kata Kasat Reskrim Teuku Fathir, akan dianggap tidak becus menangani perkara tersebut.
Namun penjelasan itu tak diterima Mayor Dedi dan berkeras bahwa saudaranya harus dilepaskan.
"Proses hukum tetap berjalan, tapi hanya konteks ditangguhkan. Kapan nanti mau diperiksa silakan," ucap Mayor Dedi.
Usai perdebatan panas tersebut, Polrestabes Medan disebutkan membebaskan tersangka dugaan pemalsuan tanda tangan lahan PTPN II di Kecamatan Percut, Seituan itu, bersamaan dengan bubarnya puluhan personel TNI.
Dalam perkembangan terbaru Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Teuku Fathir, membenarkan bahwa tersangka telah ditangguhkan penahanannya.
Akan tetapi dia tidak merinci alasan penangguhan.
Adapun Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi, memastikan bahwa proses hukum terhadap penanganan kasus tersangka ARH masih berjalan.
Polisi akan menuntaskan kasusnya sesuai perundang-undangan yang berlaku, katanya.
"Proses hukum masih berjalan, selama ini berjalan," ujarnya kepada wartawan Apriadi Gunawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (07/08).
Tindakan prajurit TNI ke Mapolrestabes Medan masuk kategori obstruction of justice
Direktur Eksekutif Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menyebut peristiwa yang terjadi di Mapolrestabes Medan mirip dengan insiden penyerangan sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ke lapas Cebongan, Sleman, pada 2013.
Meskipun dengan derajat yang beda, namun katanya, tindakan tersebut bisa disebut sebagai "intimidasi terhadap penegakan hukum" lantaran merasa masih memiliki kekuatan seperti di masa Orde Baru.
"Tindakan ini seperti tindakan di atas hukum dengan mengintimidasi aparat hukum.
"Padahal reformasi militer menghendaki militer menjaga kedaulatan negara sebagai alat pertahanan.
"Militer sama sekali tidak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses-proses penegakan hukum," jelas Wahyudi Djafar kepada BBC News Indonesia, Senin (07/08).
Pengamat militer, Al Araf, mengatakan sikap intimidasi seperti ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, karena tidak ada mekanisme penghukuman terhadap anggota TNI yang terlibat dalam kejahatan umum.
Sepanjang pengamatannya, prajurit yang melanggar hukum pidana umum kerap diadili di Peradilan Militer yang kebanyakan kasusnya bebas dari hukuman berat.
Tidak adanya keadilan di Peradilan Militer, katanya, menyebabkan tidak ada efek jera bagi prajurit yang melakukan pelanggaran.
Contoh kasusnya terjadi di Jeneponto, Sulawesi Selatan, pada April lalu.
Ratusan orang tak dikenal yang diduga anggota TNI menyerang Mapolres Jeneponto sehingga menyebabkan kerusakan dan satu anggota polisi mengalami luka tembak.
Peristiwa penyerangan itu diduga bermula dari terjadinya pengeroyokan terhadap dua anggota TNI dari Kodam V/Brawijaya yang merupakan warga Jeneponto.
Persoalan tersebut berakhir damai antara Polri dan TNI.
Kasus lainnya adalah bentrokan antara anggota Polda NTT dan anggota Denpom IX/Kupang usai pertandingan final futsal di GOR Oepoi Kota Kupang, NTT pada April lalu.
Keributan tak hanya berlangsung di GOR, tapi merember hingga aksi perusakan rumah dinas Kapolda NTT.
Lagi-lagi persoalan ini berakhir damai antara TNI dan Polri.
Faktor berikutnya, cara pandang yang keliru soal esprit de corps yang keliru.
Dan terakhir, kata Al Araf, dipengaruhi oleh keterlibatan TNI dalam urusan di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara, semisal kegiatan sosial politik.
"Akhirnya timbul masalah-masalah seperti ini [intimidasi di Mapolrestabes Medan]," imbuh Al Araf.
Itu mengapa, kata Wahyudi Djafar, prajurit TNI yang menggeruduk Mapolrestabes Medan "harus diproses secara pidana" karena melanggar Pasal 221 KUHP dan disidang di peradilan koneksitas.
Pengadilan koneksitas yang dimaksud dia diatur dalam Pasal 89 KUHAP yang menyebutkan peradilan koneksitas untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh pelaku yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
Sebab tanpa adanya penghukuman secara pidana umum, sambungnya, tindakan serupa akan terus terjadi.
Sementara kalau mengandalkan peradilan militer hampir pasti para prajurit itu dibebaskan dari hukuman berat.
"Itu yang kemudian tidak ada pembelajaran untuk kasus-kasus [penyerangan oleh anggota TNI] berikutnya. Penyerangan kepada aparat hukum terus terjadi," ungkapnya.
Tapi lebih dari itu, Wahyudi Djafar mengatakan kunci utama untuk mengakhiri tindakan semena-mena prajurit TNI adalah dengan merevisi UU Peradilan Militer yang menjadi mandat TAP MPR nomor 6 dan 7 serta Pasal 65 UU TNI.
Pasal 65 UU TNI menyebutkan, "prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang".
Hanya saja pasal itu tak bisa dilaksanakan sepanjang UU Peradilan Militer tahun 1997 belum direvisi. Sehingga proses hukum terhadap anggota TNI tetap berlangsung di pengadilan militer.
Kalau Presiden Jokowi mau serius membenahi TNI, sambungnya, langkah cepat yang bisa diambil dengan mengeluarkan Perpu yang isinya secara khusus memberlakukan Pasal 65 UU TNI.
"Dengan berulangnya kasus-kasus ini menjadi semacam 'sandaran' kalau Presiden berkehendak untuk memastikan adanya proses akuntabilitas bagi prajurit TNI yang melakukan kejahatan di lingkungan peradilan umum, disidang di pengadilan umum."
Apa langkah TNI?
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen TNI), Laksamana Muda Julius Widjojono, mengatakan, pihaknya menyerahkan persoalan ini ke Kodam I/Bukit Barisan karena "ini masalah kewilayahan".
Namun demikian Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut tindakan sejumlah prajurit TNI menggeruduk Mapolrestabes Medan itu "kurang etis".
"Mungkin kemarin kan, sudah sebagai bukti awal mereka melakukan seperti itu, saya kira kurang etis prajurit TNI seperti itu," kata Yudo di Mako Paspampres, Jakarta Pusat, Senin (07/08).
Yudo pun menyatakan telah memerintahkan polisi militer untuk memeriksa para prajurit itu.
Sementara itu Menkopolhukam, Mahfud Md, menyatakan kejadian yang berlangsung pada Sabtu (05/08) itu sebagai "ironi jika benar terjadi".
Dia mengatakan sudah meminta Inspektorat Jenderal Angkatan Darat (Itjen AD) untuk turun tangan menyelesaikan perkara ini.
Selain itu Kemenkopolhukam juga disebut akan berkoordinasi terkait masalah tersebut.
Terpisah, Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan, Kolonel Infantre Rico Julynto Siagian, berkata Mayor Dedi dan puluan anggota lain saat ini "sedang diperiksa" oleh Staf Intelijen (Sintel) Kodam.
"Kepada Mayor Dedi saat ini tetap kami minta keterangan atau periksa terkait masalah tersebut. Puluhan anggota juga kami mintai keterangan. Mereka dimintai keterangan di Sintel Kodam," kata Rico seperti dilansir Tempo.