TNI Menahan Kepala Basarnas dan Tetapkan Status Tersangka Setelah KPK Minta Maaf

Konten Media Partner
31 Juli 2023 21:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi tiba di kantor Basarnas, Jakarta pada Rabu (26/7), atau sehari setelah OTT KPK yang menjerat salah satu pejabat Basarnas. Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi tiba di kantor Basarnas, Jakarta pada Rabu (26/7), atau sehari setelah OTT KPK yang menjerat salah satu pejabat Basarnas. Foto: Luthfi Humam/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pusat Polisi Militer TNI menetapkan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap di lembaganya. Keduanya langsung ditahan.
Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Marsekal Muda R Agung Handoko, menyampaikan penetapan status tersangka itu dalam jumpa pers yang digelar di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (31/07).
“Menetapkan kedua personel TNI atas nama HA (Henri Alfiandi) dan ABC (Afri Budi Cahyanto) sebagai tersangka,” ujarnya.
Kedua personel aktif TNI itu langsung ditahan malam ini, kata Agung.
Penetapan tersangka oleh polisi militer ini terjadi tiga hari setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf karena telah menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pada Jumat (28/07) lalu.
Johanis mengatakan tim penyidik KPK membuat "kekeliruan, kekhilafan" saat melakukan penangkapan Henri Alfiandi.
Sehari setelah permintaan maaf itu, Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Asep Guntur, mengundurkan diri.
TNI menyebut KPK "telah melebihi kewenangannya" dalam menjalankan tugas dan kewenangannya karena berdasarkan Undang-undang Peradilan Militer hanya penyidik militer yang berhak menetapkan status tersangka terhadap personel TNI aktif.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengapresiasi penetapan tersangka Kabasarnas oleh Puspom TNI.
Menurut Ketua MAKI Boyamin Saiman, TNI tidak akan "melindungi pelaku" dan akan bertindak "profesional" karena perkaranya terkait suap.
"Yang bermasalah itu kan KPK, kemarin mengumumkan tersangka, dasarnya tidak ada karena sprindiknya tidak ada, wewenangnya juga tidak punya. KPK itu berwenang kalau dia membentuk gabungan dan menjadi ketua," kata Boyamin.
Jika KPK terus merasa punya wewenang, hal itu akan berakibat pada "pembebasan tersangka di pengadilan", lanjut Boyamin.
Dia juga mendesak Dewan Pengawas KPK untuk menyelesaikan masalah ini.

Kepala Basarnas diduga menerima suap

Dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang di Basarnas, KPK menyebut terjadi persekongkolan antara pejabat di dalam instansi dengan perusahaan peserta lelang sebelum tender dibuka.
Kepala Basarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi, diduga menerima suap senilai Rp88 miliar lebih agar memenangkan perusahaan tertentu dalam tender proyek tahun 2021 - 2023.
Selain menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Badan SAR Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyeret empat orang lainnya.Mereka meliputi anak buah Henri Alfian yang merupakan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto, sebagai penerima suap.
Kemudian Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil sebagai pemberi suap.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan kelimanya tersangkut kasus dugaan suap sejumlah proyek pengadaan barang di Basarnas dari tahun 2021-2023.
Di antaranya pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan yang nilai kontraknya Rp9,9 miliar, selanjutnya pengadaan public safety diving equipment dengan nilai kontrak sebesar Rp17,4 miliar, dan pengadaan kendaraan kendali jarak jauh untuk KN SAR Ganesha yang mencapai Rp89,9 miliar.
Alexander menjelaskan praktik suap tersebut berlangsung melalui "persekongkolan antara pejabat di dalam instansi dengan perusahaan peserta lelang" demi mengakali sistem pengadaan elektronik atau e-procurement.Henri Alfiandi diduga sudah "mengatur" tiga perusahaan peserta lelang itu sebagai pemenang tender dengan kesepakatan Henri menerima jatah komisi sebesar 10%.
"Tentu dalam proses lelangnya pun itu sudah diatur, atau dengan kata lain proses lelang hanya sekadar formalitas," sebut Alexander dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta.