Konten Media Partner

Torremolinos, Bekas Kota Nelayan Miskin yang Jadi Awal Gerakan LGBTQ+ di Spanyol

22 Oktober 2023 15:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi LGBT. Foto: Sokolov Olleg/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi LGBT. Foto: Sokolov Olleg/Shutterstock
Dulunya merupakan kota nelayan yang miskin, Torremolinos kini menjadi surga bagi kaum LGBTQ+.
Jalan setapak di luar Mariquita Copas, bar kecil di “gaybourhood” di La Nogalera, bersinar biru. Teras minum tempat saya duduk dikelilingi oleh kotak-kotak berisi pohon palem di jantung Costa del Sol, Spanyol selatan, beberapa blok dari Mediterania.
Saat saya menyesap bir pada malam pertama saya di kota itu, saya menyaksikan pemandangan para pejalan kaki yang memegang tas-tas belanja mampir untuk mengobrol, seorang laki-laki dan perempuan duduk berangkulan di bangku, dan penduduk setempat yang gay mendentingkan gelas koktail mereka.
Di tengah itu semua, tampak seorang seniman waria berjanggut, sangat tinggi dengan sepatu boot selutut, topi kulit dan bodysuit kamuflase ketat. Saya segera menyadari, bahwa ini adalah suasana malam biasa di Torremolinos.
Tentu saja, situasinya tidak selalu seperti ini. Sampai sekarang, saya belum mengetahui peran penting Torremolinos dalam sejarah LGBTQ+ Spanyol.
Tapi, seperti yang akan saya pelajari, kota ini bukan cuma menjadi tempat bagi bar ramah gay pertama yang dibuka di Spanyol pada 1962.
Kota ini juga tempat bagi gerakan memperjuangkan hak-hak gay Spanyol dimulai, bahkan diwarnai dengan kekerasan.
Mengapa Torremolinos?
Awalnya merupakan desa nelayan yang miskin, iklim subtropis Torremolinos –salah satu yang terhangat di Spanyol—menjadi kunci dalam perkembangannya menjadi sebuah resor pada era 1950-an.
Pemerintahan fasis Francisco Franco tertarik mendorong pembangunan hotel demi membangkitkan perekonomian Spayol yang hancur akibat perang. Pada 1959, kota ini memiliki hotel bintang lima pertama di negara itu: Hotel Pez Espada.
Para selebriti berdatangan. Mulai dari Brigitte Bardot, Greta Garbo, dan Pablo Picasso hingga Grace Jones, Frank Sinatra, dan John Lennon – era keemasan yang diperingati di jalur seni jalanan kota Ruta del Murales, yang diresmikan pada tahun 2022.
Dibantu oleh munculnya penerbangan sewaan pada akhir 1950-an, kota yang kian kosmopolitan dan liberal ini mulai menarik para seniman, musisi, penulis, hingga pengunjung queer juga.
Terlepas dari kenyataan bahwa homoseksualitas masih dianggap sebagai kejahatan di bawah rezim Franco, pada 1962, pasangan gay asal Inggris membuka Tony’s Bar di gang sempit berbentuk huruf L di Pasaje Begoña.
"Meskipun Tony's tidak dapat didefinisikan sebagai 'bar gay' seperti yang kita pahami sekarang, itu adalah tempat di mana pemiliknya adalah gay dan memberikan kebebasan kepada pelanggannya," kata Jorge M Pérez. Jorge adalah presiden Asosiasi Pasaje Begoña, yang didirikan pada 2018 dengan tujuan "memulihkan memori dari tempat ini dan menyelamatkan bagian yang terlupakan dalam sejarah Spanyol”.
Tony’s langsung sukses dan selama beberapa tahun berikutnya, itu mengilhami banyak perusahaan lain yang melayani komunitas gay.
Kota sepi yang dulunya dihuni komunitas nelayan segera bertransformasi menjadi pusat queer yang dikenal karena inklusivitas dan hedonismenya.
Ada La Sirena yang sering digerebek (dijuluki “The Sissy Bar”); Bar Tabarin yang pertama kali mengadakan acara telanjang; Pourquoi Pas, klub lesbian pertama di kota itu (masih beroperasi sebagai bar LGBTQ+); dan tempat jazz The Blue Note yang dimiliki oleh penyanyi lesbian asal Belanda, Pia Beck.
Suasana hidup di Torremolinos juga merupakan rumah bagi Manolita Chen, seorang perempuan trans yang menjadi orang Spanyol pertama yang secara legal mengubah jenis kelaminnya dan mengadopsi anak.
“Saat itu, pada tahun 1962-1963, saya bekerja di sebuah restoran di Calle San Miguel,” kata Chen.
"The Begoña Passage adalah kebebasan, itu adalah dunia lain. Cahaya itu, bagi kami, seperti berada di New York, kami belum pernah melihat neon itu seumur hidup kami."
Pada tahun 1971, pemerintah Franco mulai menindak aktivitas terkait gay yang berkembang pesat di Torremolinos, yang berpusat di sekitar Pasaje Begoña.
Pada tanggal 24 Juni 1971, polisi dengan kejam menggerebek daerah tersebut, menutup dan mendenda tempat-tempat itu.
Polisi juga menangkap lebih dari 100 orang (beberapa laporan menunjukkan bahwa yang ditangkap hingga 400 orang) – kebanyakan dari mereka adalah turis.
Perez mengatakan peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Great Raid ini bukanlah akhir cerita dari bar-bar gay di kota itu, tetapi itu berbeda dengan Kerusuhan Stonewall di Kota New York.
"Pasaje Begoña menunjukkan kepada dunia bahwa pembangkang seksual ada di tengah kediktatoran – dianiaya, disiksa, dipenjara. Namun, di sanalah mereka, [LGBTQ+] menunjukkan bahwa mereka memiliki hak untuk bahagia. Namun, tidak seperti persitiwa Stonewall Inn, di Begoña Passage, Great Raid adalah akhir dari pesta untuk sementara waktu; dan skandal yang luar biasa, sebagaimana dibuktikan oleh pemberitaan terkait protes dari negara-negara Eropa lainnya."
Benar saja, area tersebut menjadi kosong setelah penggerebekan, dan para penghuni liar, prostitusi, dan obat-obatan mulai masuk, menjadi tren yang meluas ke kota itu secara keseluruhan.
Pada awal 1990-an, Torremolinos menjadi semakin identik dengan bar norak dan pelarian murah bagi para wisatawan Inggris yang mabuk. Namun sejak 2018, alun-alun kota dan stasiunnya mendapat manfaat dari skema regenerasi lima tahun senilai €10 juta.
Penggerebekan itu sendiri sekarang diperingati dalam mural ikonik di Pasaje Begoña, yang memberi penghormatan kepada para pionir tahun 1960-an yang tak kenal takut.
Saat ini, para perintis tersebut mungkin akan senang mengetahui bahwa komunitas beranggotakan 68.000 orang ini telah menjadi rumah bagi puluhan bar, klub, dan bisnis Queer yang berkembang pesat.
Marco America, pendiri Pinktorremolinos.com, menjelaskan bahwa dalam 13 tahun sejak dia pindah ke sini, dia melihat Torremolinos berubah secara signifikan.
Perubahan ini sebagian besar berkat festival Pride yang menarik 50.000 orang, serta delapan atau sembilan festival tahunan LGBTQ+ lainnya, seperti sebagai Infinity, Mad Bear Beach dan Matrix.
Gill Douglas, pemilik bar gay bernama Boomerang, pindah dari Skotlandia ke Torremolinos dua dekade lalu.
“Selama bertahun-tahun, ada banyak tempat untuk perempuan, tapi untungnya tempat-tempat itu sekarang terintegrasi,” kata dia.
“Anda bisa melihat semua orang duduk dengan nyaman bersama di Torremolinos sebagaimana semestinya. Masih ada beberapa malam khusus perempuan setiap bulannya, dan Boomerang memiliki pelanggan dari seluruh spektrum dan setiap negara.. persis seperti yang saya inginkan.”
Setelah menghabiskan bir saya pada malam pertama kami di kota, pacar saya dan saya meninggalkan bar waria dan menjelajahi tempat-tempat lainnya, mulai dari bar wine La Nogalera yang ramai bernama El Armario Bodega, hingga klub Aqua yang luas dan Men’s Bar yang telah lama didirikan dan menjadi tempat bagi kerumunan yang lebih tua.
Sementara itu, di pinggir laut, ada klub pantai ramah LGBTQ+ seperti Eden dan El Gato, tempat bendera Pride berkibar tinggi di Playa del Bajondillo yang berangin. Di dekatnya ada pusat LGBTQ+, Hotel Ritual.
Torremolinos telah melalui perjalanan budaya yang cukup panjang, dan kisahnya masih terus berkembang. Namun menurut Pérez, satu hal yang pasti beresonansi dengan pengunjung hari ini adalah bagaimana "semua orang dapat sepenuhnya menunjukkan identitas seksual mereka tanpa merasa didiskriminasi atau dilanggar - dalam kebebasan mutlak".
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris dari artikel berjudul Torremolinos: Where Spain's gay rights movement began di BBC Travel.