Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten Media Partner
Tujuh Pemuda Diduga Memerkosa Remaja Perempuan di Lokasi Tanah Milik Polres Belu, NTT – Mengapa Bisa Terjadi di Lingkungan yang Seharusnya Aman?
28 Maret 2025 13:25 WIB
Tujuh Pemuda Diduga Memerkosa Remaja Perempuan di Lokasi Tanah Milik Polres Belu, NTT – Mengapa Bisa Terjadi di Lingkungan yang Seharusnya Aman?
Tujuh pemuda ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerkosaan remaja perempuan 16 tahun di satu lokasi tanah milik Polres Belu, Nusa Tenggara Timur. Mengapa kasus kekerasan seksual ini bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya aman?
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Belu, Iptu Rio Rinaldy Panggabean, mengatakan enam dari tujuh tersangka sudah ditahan.
"Kami masih terus mengejar satu pelaku lain," ujar Rio ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Kamis (27/03).
Pelaku yang masih buron itu diketahui berinisial KP. Sementara enam tersangka yang sudah ditahan adalah BA (20), PC (25), ANB (25), CMS (25), FMP (18), dan JAC (19).
BA, menurut Rio, adalah anak dari anggota polisi yang bertugas di Polsek Raimanuk. Rumah yang menjadi TKP juga merupakan milik orang tua BA.
Kasus pencabulan anak di bawah umur itu terjadi di sebuah rumah bantuan pemerintah di kompleks asrama Polres Belu di Atambua pada tanggal 11 dan 12 Maret 2025.
Rumah semi permanen itu adalah satu dari sejumlah rumah bantuan untuk eks pengungsi Timor Timur yang merupakan anggota kepolisian di awal tahun 2000, menurut Polres Belu.
Walaupun statusnya dimiliki oleh orang tua BA, BA dilaporkan menempati rumah itu seorang diri.
"Jarak dari Polsek Raimanuk ke Polres Belu itu sekitar satu jam. Dalam rentang waktu kejadian, [ayah BA] tidak mendiami rumah tersebut," jelas Rio.
Baca juga:
Rio mengatakan rumah bantuan yang menjadi TKP itu berada di luar lingkungan Markas Komando (Mako) Polres Belu sehingga tidak ada penjagaan.
"Kalau Markas Komando kantor Polres Belu tentunya ada penjagaan. Rumah bantuan ini di luar lingkungan Markas Komando, walaupun masih mendiami tanah Polres Belu," ujar Rio.
Di sisi lain, Bripka Wilfridus Seran, anggota Bagian Logistik Polres Belu, mengatakan sebetulnya patroli dilakukan termasuk di depan rumah yang menjadi TKP.
"Anggota [Polri] lalu lalang melewati jalur [depan rumah] itu juga," ujar Wilfridus yang dihubungi terpisah oleh BBC News Indonesia.
"Menurut kami, keamanan di lingkungan sini terjamin. Cuma kejadian kemarin itu mungkin, kalau menurut saya, itu kecolongan."
Wilfridus menyebut tidak ada kecurigaan sebelumnya karena tidak pernah ada kasus kekerasan atau tindak pidana lain di lingkungan tersebut.
Selain itu, "anak-anak ini kelihatannya mereka baik-baik saja. Tidak pernah menciptakan sesuatu kejadian yang menghebohkan".
Meski menyebut ada kegiatan patroli dan penjagaan, Wilfridus menambahkan: "Cuma ini kejadiannya, kan, sampai dalam rumah. Jadi kami juga memang tidak cek sampai ke dalam".
Aktivis perempuan Nusa Tenggara Timur, Sarah Lery Mboeik, mengecam kejadian tersebut.
Menurut dia, kasus dugaan pemerkosaan ini mencerminkan adanya kecenderungan pembiaran aparat kepolisian bagi para pelaku kekerasan seksual.
"Ini mengindikasikan bahwa hampir tak ada lagi ruang aman untuk anak dan perempuan bebas dari kekerasan seksual ini sangat mengkhawatirkan karena sudah pada tahap darurat," ujarnya.
Bagaimana kronologi kasus ini menurut polisi?
Kasat Reskrim Polres Belu, Iptu Rio Panggabean mengatakan korban berinisial EFM, 16 tahun, tiba di Atambua pada tanggal 10 Maret 2025 pukul 23.30 WITA.
EFM yang berasal dari Kupang menempuh perjalanan darat sekitar 6-7 jam.
"Dia datang dari Kupang untuk menemui keluarganya," ujar Rio kepada Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
EFM diturunkan oleh supir travel di dekat Polres Belu. Di situ, dia bertemu dengan empat dari tujuh pelaku. Dalam keterangan korban ke polisi, terjadi pembicaraan antara korban dan para pelaku.
Para pelaku kemudian mengiming-imingi korban dengan tempat menginap sehingga dia mau diajak ke rumah salah satu pelaku.
Rio mengatakan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), korban menjelaskan ingin bertemu dengan pamannya, tetapi waktu sudah hampir tengah malam.
"Salah satu pelaku menawarkan untuk menginap di rumahnya. Kemudian korban mau. Baru muncul niat jahat dari para pelaku untuk melakukan tindakan tersebut," ujarnya.
Rio menjelaskan rentang waktu kejadian adalah dari tanggal 11 Maret pada pukul 01.30 WITA sampai 03.00 WITA keesokan harinya atau 12 Maret 2025.
Sejauh ini, polisi sudah memeriksa tiga saksi dan berencana memanggil sejumlah saksi tambahan.
Adapun korban, lanjut Rio, telah mendapat pendampingan dari dinas perlindungan anak setempat. Polres Belu juga telah menyurati LPSK untuk memberikan restitusi kepada korban.
Berdasarkan keterangan dari Polres Belu, laporan dari korban LP/B/62/III/2025/SPKT/Polres Belu/Polda NTT tertanggal 12 Maret 2025.
Sementara konferensi pers yang dilakukan Polres Belu mengenai penetapan sejumlah tersangka dilakukan pada 23 Maret 2025, sebagaimana dilaporkan Tribunnews.
Seperti disebutkan di awal artikel enam tersangka yang sudah ditahan adalah BA (20), PC (25), ANB (25), CMS (25), FMP (18), dan JAC (19).
Satu tersangka, KP, masih buron.
Rio menegaskan tidak ada satu pun dari tersangka yang merupakan anggota kepolisian. Satu tersangka, BA, adalah anak dari anggota Polsek Raimanuk.
"Rata-rata semuanya belum ataupun tidak bekerja," ujar Rio.
Baca juga:
BBC News Indonesia kemudian menanyakan lebih lanjut: siapa para tersangka apabila bukan anggota Polres tetapi tinggal di lingkungan tersebut.
Rio menjelaskan rumah-rumah bantuan tersebut memang dibangun untuk anggota kepolisian, tetapi kemungkinan sekarang sudah pensiun atau menjadi purnawirawan—namun kerabatnya masih menempati rumah-rumah itu.
"Mungkin keponakannya atau saudaranya, tetapi mendiami lingkungan ini," ujarnya.
Pendamping: Korban takut dibunuh karena satu pelaku belum ditangkap
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Belu melakukan pendampingan kepada korban EFM sampai dia pulang ke Kupang pada tanggal 16 Maret.
Kepala Dinas P3AP2KB Belu, Sabina Mau, mengatakan korban sebetulnya hendak meminta bantuan kepada beberapa pelaku.
"Dia minta tolong untuk diantarkan ke terminal bus. Dia mau mencari pamannya, tapi tidak tahu alamat dan hari sudah malam," ujarnya.
Paulina Fransiska Ando, konselor Dinas P3AP2KB Belu yang mendampingi EFM, mengatakan korban selama dua hari disekap di rumah kecil dan diancam dibunuh oleh para pelaku apabila dia melawan, berteriak, atau berusaha kabur.
Tidak ada satu pun pelaku yang menggunakan kondom.
"Kami bertanya: 'Mengapa tidak berteriak? Posisi rumah-rumah berdekatan' dan korban mengaku takut karena semua pelaku adalah orang asing," ujar Paulina ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Jumat (28/03).
Baru pada tanggal 13 Maret 2025 sekitar pukul 14.00 WITA, EFM nekad melarikan diri.
Korban lalu pergi ke salah satu supermarket untuk membeli roti dan air karena rasa lapar dan haus. Salah satu pengunjung supermarket melihat kondisi EFM yang terlihat lesu dan menanyakan kabarnya.
EFM sontak menceritakan kejadian yang menimpanya. Pengunjung supermarket itu, kata Paulina, kemudian menelepon polisi.
Korban lalu dijemput petugas kepolisian dan langsung dibawa ke unit pengaduan.
Menurut Paulina, EFM khawatir karena merasa telah mencemarkan nama baik keluarga besarnya.
"Lalu dia cemas karena salah satu pelaku [KP] belum ditangkap polisi. Dia takut dibunuh," ujar Paulina.
Pihak DP3AP2KB Belu harus menguatkan kondisi psikis EFM dan meyakinkannya untuk tetap membuat laporan.
Sebab, sambung Paulina, beberapa orang tua pelaku berusaha membujuk EFM untuk mencabut laporannya agar anak mereka dibebaskan.
"Kami memberikan pengetahuan ke dia bahwa ini kejahatan. Ini harus diproses," tutur Paulina.
Pihak DP3AP2KB terakhir mendengar korban EFM kabur dari rumah keluarganya.
Paulina menduga ini tidak lepas dari ketakutannya karena satu pelaku masih bebas.
"Kalau misalnya dia ke Atambua, pasti dia akan kembali ke Rumah Aman, karena dia merasa nyaman di sini," ujarnya.
Sementara dr. Widiasari Widjaja, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Kabupaten Belu, mengatakan pihaknya akan terus berusaha memonitor kondisi kesehatan korban.
Termasuk kekhawatiran terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
"Karena korban di Kupang, jadi kami bekerja sama dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak tingkat provinsi," ujarnya.
Apakah tidak ada penjagaan di sekitar lokasi kejadian?
Menurut Rio, lokasi rumah bantuan yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) berada di luar area Markas Komando (Mako) Polres Belu. Oleh karena itu, area tersebut tidak memiliki penjagaan khusus.
"Kalau Markas Komando kantor Polres Belu tentunya ada penjagaan. Rumah bantuan ini di luar lingkungan Markas Komando, walaupun masih mendiami tanah Polres Belu," ujar Rio.
BBC News Indonesia kemudian menanyakan apakah tidak ada anggota kepolisian aktif yang menginap di sekitarnya.
Rio mengatakan pihaknya hanya bisa memberikan keterangan "berdasarkan apa yang kami tangani".
"Kalau terlalu melebar juga kami tidak bisa. Kami juga takut memberikan pernyataan, nanti salah. Karena ini melibatkan institusi. Kami fokus pada tindak pidana," ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Bripka Wilfridus Seran, seorang anggota Bagian Logistik menjelaskan sebetulnya patroli dilakukan termasuk di depan rumah yang menjadi TKP.
"Kalau terkait penjagaan, sebetulnya ada," ujar Wilfridus.
"Selain patroli pun, anggota [Polri] lalu lalang, ke kantor, melewati jalur situ juga. Melewati depan rumah yang menjadi tempat kasus."
Di sisi lain, Wilfridus mengakui memang tidak ada kecurigaan karena sebelumnya tidak pernah ada kasus kekerasan atau tindak pidana lain di lingkungan tersebut.
"Menurut kami, untuk keamanan di lingkungan sini, ini terjamin. Cuma kejadian kemarin itu memang mungkin, kalau menurut saya, itu kecolongan."
"Kami pun juga tidak pernah berpikir ke sana. Karena anak-anak ini kelihatannya mereka baik-baik saja. Tidak pernah melakukan sesuatu kejadian yang menghebohkan seperti ini.
"Menurut massa di sini, mereka kalau menurut kami, anak-anak yang baik."
Meski ada kegiatan patroli dan penjagaan, Wilfridus menambahkan: "Cuma ini kejadiannya, kan, sampai dalam rumah. Jadi kami juga memang tidak cek sampai ke dalam".
Saat ini, Wilfridus menjelaskan kegiatan patroli rutin diperketat. Selain rutin setiap malam, hasil patroli juga dilaporkan beberapa jam sekali.
'Kami pun juga dari bagian logistik, sudah mendata ulang penghuni di lingkungan asrama sini," ujarnya.
"Kami juga sudah sampaikan kepada masyarakat yang menduduki atau membangun rumah di sekitar asrama sini, mungkin lebih baiknya mencari lahan sendiri [dan] membangun rumah sendiri untuk menjaga biar tidak kejadian lagi seperti ini."
Korban tertekan, takut dan trauma
Piter, 50 tahun, salah seorang paman dari EFM, mengatakan korban mengalami trauma yang luar biasa atas kejadian yang menimpanya.
"Dia tertekan, seperti kayak linglung dan takut," ujar Piter yang tinggal di Kupang kepada BBC News Indonesia pada Kamis (27/03).
Piter, yang meminta agar cukup nama panggilannya saja disebutkan, mengatakan EFM selama ini tinggal bersama ibunya di Kupang.
Ditanya mengenai tujuan EFM ke Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste itu, Piter mengatakan memang ada keluarga EFM yang tinggal di Atambua, yakni salah satu opanya.
Piter menyebut EFM sempat mendapat pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Belu.
Namun, korban masih terlihat ketakutan begitu tiba kembali di Kupang setelah menjalani pemeriksaan di Polres Belu.
Baca juga:
Peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban membawa beban tersendiri bagi keluarga, sambung Piter.
Keluarga, menurut dia, sangat terpukul dengan peristiwa itu apalagi terjadi lingkungan polisi.
Saat ini, Piter mengatakan keluarga EFM hanya bisa pasrah. Mereka mengembalikannya kepada pihak kepolisian yang melakukan penyidikan.
"[Soal] tuntutan, kami sesuai apa yang sudah tertera dari dalam UU, kita ikuti saja. Kita tidak bisa melampaui batas kalau memang. Menurut kami memang [kejadian] itu sangat fatal, kami terpukul juga sebagai keluarga," ujarnya.
Melihat kondisi EFM yang terpukul, pihak keluarga berencana membawanya ke psikolog. Akan tetapi, korban kemudian kabur dan sekarang keluarga berusaha mencarinya.
Di sisi lain, Piter mengeklaim sempat ada keluarga pelaku meminta bertemu secara empat mata dengan pihak keluarga korban.
Namun, dia tidak tahu maksud dari permintaan pertemuan tersebut
'Tak ada lagi ruang aman untuk anak dan perempuan'
Direktur Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR), Sarah Lery Mboeik, mengecam insiden yang menimpa EFM.
"Ini mengindikasikan bahwa hampir tak ada lagi ruang aman untuk anak dan perempuan," ujarnya.
Lery menyayangkan kasus dugaan kekerasan seksual justru terjadi di tanah asrama polisi.
Menurut dia, lokasi kejadian seharusnya aman bagi semua karena polisi seharusnya menjadi yang institusi terdepan dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.
"Ini sangat disayangkan dan miris, apalagi baru-baru ini kita semua disibukan dengan kasus eks Kapolres Ngada," ucap Lery.
Lery merujuk ke penetapan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, sebagai tersangka dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah anak di bawah umur pada awal Maret 2025.
Baca juga:
Lebih lanjut, Lery mengatakan kasus dugaan pemerkosaan di Belu mencerminkan adanya pembiaran yang cenderung dilakukan aparat kepolisian terhadap para pelaku kekerasan seksual.
"Bukti ini bisa kita lihat dengan kejadian dengan kasus di asrama Polres Belu. Sangat disayangkan. Kami ingin mempertanyakan: Bukankah di situ ada petugas piket dan segala macamnya? Ini menunjukkan tidak sensitif terhadap situasi dan lingkungan," tutur aktivis perempuan itu.
"Kadang-kadang kita punya intel ini tidak becus. Di dalam asrama [saja] jebol intelijen kita, apalagi di luar?"
Lery berharap agar polisi bisa mengungkap kasus ini dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai menimbulkan kesan ketidakadilan di masyarakat.
Lery juga mengkhawatirkan insiden di lingkungan asrama polisi ini sebagai fenomena "gunung es".
Menurut dia, ada potensi penyalahgunaan relasi kekuasaan yang dapat mengintimidasi korban dan keluarganya.
Oleh karena itu, perlindungan ekstra sangat diperlukan, seperti penggunaan LPSK atau rumah aman rahasia, untuk memastikan keamanan dan keberanian korban dalam mengungkap kebenaran.
"Bagaimana memproteksi korban untuk mendapatkan rasa aman sehingga dia mau bersaksi, keluarga juga bisa diproteksi agar bisa memberi kesaksian untuk mengungkapkan ini secara lebih baik," ujarnya.
Terpisah, Filomena Loe, aktivis perempuan dari VIVAT, menyoroti kelalaian penjagaan dari pihak Polres Belu. Dia mengatakan LSM-LSM setempat akan mengawal pengusutan kasus ini.
"Menurut saya, memang ini kecolongan, sih, teman-teman Polres," ujarnya.
"Seharusnya ada penjagaan di situ, apalagi ini ada nona-nona tengah malam."
Filomena menekankan tanggung jawab aparat kepolisian untuk menjaga keamanan, termasuk di lingkungan tempat tinggal mereka.
"Polres mungkin perlu tingkatkan kewaspadaan sehingga tidak terjadi lagi hal-hal seperti ini. Karena ini sangat disayangkan sekali," tegasnya.
Eliazar Robert melaporkan dari Kupang.