Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Umar Patek Bebas Bersyarat, Penyintas Bom Bali: Luka Saya Tak Akan Sembuh
9 Desember 2022 16:50 WIB
·
waktu baca 7 menitSeorang penyintas mengaku sedih dan kecewa dengan pembebasan bersyarat narapidana kasus Bom Bali yang menewaskan 202 orang, Umar Patek. Dia menyebut mantan komandan kelompok Jamaah Islamiyah itu berpotensi melakukan aksi teror kembali.
Senada, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, mengatakan keputusan pembebasan Umar Patek seperti melepaskan ‘bom waktu’ yang akan meledak suatu saat melalui aksi teror, tanpa ada pihak yang akan bertanggung jawab.
Dari sisi lain, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, melihat pembebasan Umar Patek dilakukan karena dia telah menunjukkan penurunan kadar deradikalisasi melalui ikrar setia kepada NKRI, bertugas menjadi pengibar bendera Merah Putih, dan mengajukan pembebasan bersyarat.
Selain itu, Umar Patek juga dapat menjadi bagian dari upaya negara untuk melakukan kontranarasi terhadap informasi-informasi radikalisme dan terorisme di masyarakat maupun media sosial.
Pada Rabu (07/12), Kementerian Hukum dan HAM mengumumkan bahwa Hisyam bin Alizein alias Umar Patek dikeluarkan dari Lapas Kelas I Surabaya, dengan program pembebasan bersyarat.
Umar Patek yang menjadi perakit bom Bali 2002 itu ditangkap di Pakistan pada 2011 lalu. Dia kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Dalam masa tahanan, dia mendapatkan serangkaian pengurangan hukuman dengan total sekitar 33 bulan.
Penyintas Bom Bali: Luka saya tak akan sembuh, dia sudah bebas
Thiolina Marpaung adalah penyintas dari tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 lalu.
20 tahun berlalu, dia masih terus menanggung trauma hingga luka fisik di matanya akibat serangan yang menewaskan 202 orang tersebut.
Di tengah beban tersebut, dia mengaku sedih dan kecewa ketika salah satu pelakunya Umar Patek mendapatkan pembebasan bersyarat.
“Yang membuat sedih adalah dia sebagai pelaku sudah bebas, sementara saya sampai saat ini masih harus menanggung luka seumur hidup. Luka saya tak akan sembuh. Dua bola mata saya cedera. Lensa di bola mata kiri diganti, mata kanan juga diganti karena masuk kaca di otot mata yang putih. Lensa mata yang Tuhan kasih, diganti lensa dari transplantasi,” kata Thiolina kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis (08/12).
Selain itu, ketua Yayasan Istri Suami Anak (Isana) Dewata tragedi bom Bali itu juga khawatir jika Umar Patek kemungkinan besar akan melakukan tindakan teror kembali di masa depan.
“Di hari yang sama dengan pembebasan bersyarat Umar Patek, terjadi bom teror di Bandung yang dilakukan mantan napi teroris. Ini seperti kode dari Tuhan yang menunjukkan walau sudah pernah masuk penjara, mereka saat keluar bisa berbuat lagi,” kata Thiolina.
Pembebasan bersyarat Umar Patek bersamaan dengan terjadinya aksi teror bom bunuh diri yang dilakukan mantan napi terorisme Agus Sudjadno alias Agus Muslim di Mapolsek Astanaanyar, Bandung, Rabu (07/12).
Pelaku yang baru bebas September 2021 lalu diduga pernak ditangkap terkait kasus terorisme 'bom panci' di Cicendo pada 2017.
Thiolina pun meragukan program pembimbingan dan pengawasan pemerintah terhadap Umar Patek hingga tahun 2030.
“Saya belum bisa percaya itu. Lihat yang di Bandung, Agus baru keluar tahun lalu. Tapi dia hilang dari pengawasan sehingga dapat melakukan aksinya. Bayangkan jika dibandingkan dengan Umar Patek yang memiliki keahlian teror lebih,” ujarnya.
Thiolina pun meminta agar hukuman terhadap Umar Patek dan pelaku teror yang lain untuk ditinjau ulang, dengan memberikan sanksi yang lebih ketat.
"Orang ini mendapatkan hidupnya kembali. Bagi banyak dari kita, kita tidak akan pernah mendapatkan hidup kita kembali," katanya. "Mengerikan. Mengerikan. Itu salah."
Laczynski menggambarkan pembebasan bersyarat Umar Patek sebagai "tendangan lain" setelah pembebasan Abu Bakar Ba'asyir tahun lalu - yang diduga sebagai dalang serangan Bom Bali.
Dalam tragedi itu, 88 warga negara Australia tewas. Pemerintah Australia telah melobi pembebasan Patek dan mengatakan akan menekan pihak berwenang Indonesia untuk menjanjikan pengawasan terus-menerus terhadapnya.
Warga Australia "berhak untuk kecewa dan prihatin dengan keputusan ini [pembebasan bersyarat Umar Patek]", kata menteri Chris Bowen.
Jalan bebas bersyarat Umar Patek
Kementerian Hukum dan HAM dalam siaran pers menyebutkan, pada Rabu (07/12), Hisyam bin Alizein Alias Umar Patek dikeluarkan dari Lapas Kelas I Surabaya, dengan program pembebasan bersyarat.
Sebelum dinyatakan bebas bersyarat, Umar Patek telah mendapatkan remisi sebesar lima bulan dengan alasan menunjukkan perilaku baik pada Agustus lalu.
Sejak pembebasan itu, status Umar Patek sudah beralih dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan Surabaya. Dia pun diwajibkan mengikuti program pembimbingan sampai dengan 29 April 2030.
Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas, Rika Aprianti, mengatakan, program pembebasan bersyarat merupakan hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh narapidana yang telah memenuhi persyaratan adminstratif dan substanstif.
“Persyaratan khusus yang telah dipenuhi oleh Umar Patek adalah telah mengikuti program pembinaan deradikalisasi dan telah berikrar setia NKRI. Pemberian pembebasan bersyarat kepada Umar Patek juga telah direkomendasikan BNPT dan Densus 88,” kata Rika.
‘Bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, menilai keputusan membebaskan Umar Patek seperti melepaskan ‘bom waktu’ yang dapat meledak suatu saat melalui aksi teror.
“Saya khawatir kalau dia dilepaskan bisa berakibat yang fatal dan menuai bencana nanti. Kalau nanti ternyata Umar Patek tiba-tiba melarikan diri atau melakukan teror bom, itu siapa yang akan bertangung jawab nanti,” kata Chaidar.
Dia melihat, Umar Patek dan para pelaku teror lainnya sebagai kelompok orang cerdas yang memiliki kemampuan untuk menginternalisasi kondisi lingkungannya dalam bentuk manipulasi dan kepura-puraan.
“Mereka ketika tertangkap mengembangkan sikap seakan-akan menerima, patuh, tidak radikal, dan seakan-akan telah berhasil dideradikalisasi. Padahal mereka adalah orang-orang cerdas dan memiliki kesadaran penuh bahwa basis ideologis mereka tidak mungkin berubah,” ujarnya.
Chaidar pun meminta negara untuk bersikap rasional dalam mengambil keputusan dan tidak terpengaruh oleh sikap-sikap yang diperlihatkan para teroris saat menjalani masa hukumannya.
“Mereka adalah pemain watak dan agen yang sangat bebas dalam menentukan sikap dan respon. Negara perlu menerapkan hukuman tegas bagi pelaku teror seperti dihukum seumur hidup atau mati,” katanya.
Umar Patek, 'suara kredibel' dalam kontra narasi
Di sisi lain, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, melihat pembebasan bersyarat Umar Patek dilakukan setelah dia memenuhi beberapa kriteria progam deradikalisasi.
Indikator itu di antaranya adalah Umar Patek telah ikrar setia kepada NKRI, bertugas menjadi pengibar bendera Merah Putih, dan mengajukan pembebasan bersyarat.
“Dari konteks kajian jaringan teror di Indonesia, orang yang melakukan tiga hal itu adalah orang yang setidaknya kadar radikalismenya sudah menurun. Lalu dari sisi perilaku individual, hal itu adalah sesuatu yang buat kelompok jaringan teror adalah tabu dan dijadikan sebagai teman para thogut,” kata Syauqillah.
Berkaca dari itu, Syauqillah melihat, Umar Patek telah mengalami penurunan kadar radikalismenya. Walaupun demikian, tambahnya, program deradikalisasi harus terus berlanjut di luar penjara dengan melibatkan masyarakat, para ulama dan negara sebagai aktor pemimpin.
“Kita tidak bisa bilang sama sekali tidak ada potensi ancaman, akan tetapi kemudian bagaimana memperkecil dengan program deradikalisasi,” katanya.
Selain itu, Syauqillah melanjutkan, Umar Patek adalah sosok yang memiliki suara kredibel dalam menyampaikan pesan-pesan antiradikalisme dan antiterorisme, baik ke kelompok teror, ke para napi teroris di dalam penjara, hingga masyarakat umum.
“Pemerintah perlu melibatkan Umar Patek dalam upaya kontra narasi dengan membangun bahwa yang dilakukan Umar Patek di masa lalu adalah keliru dan masyarakat jangan sampai ikut-ikutan."
“Upaya itu dilakukan ke jaringan teroris, di lapas maupun masyarakat umum. Lalu, dia melakukan kontra narasi dengan menyebarkan konten-konten melalui media sosial, guna meredam munculnya lone wolf yang memiliki relasi kuat akibat peran media sosial,” katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi direktur deradikalisasi dan direktur pencegahan BNPT untuk menanyakan tanggapan mereka terkait pertimbangan dalam memberikan rekomendasi pembebasan bersyarat dan kemungkinan potensi ancaman saat Umar Patek keluar dari penjara, namun hingga berita ini diturunkan mereka belum merespon.
Umar Patek adalah perakit dan perancang bom yang digunakan untuk menyerang Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang. Usai tragedi, Umar Patek disebut melarikan diri ke Filipina untuk bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf.
Di sana, dia disebut menjadi komandan lapangan pelatihan militer para anggota Jamaah Islamiyah yang terafiliasi dengan kelompok al-Qaeda.
Patek kemudian ditangkap Maret 2011 di Pakistan. Ia lalu diekstradisi ke Indonesia dan divonis 20 tahun penjara.
Tiga rekan Umar Patek yang menjadi aktor Bom Bali dan anggota Jemaah Islamiyah, Imam Samudra, Amrozi, dan Mukhlas alias Ali Gufron telah dieksekusi mati pada tahun 2008.