Konten Media Partner

‘Unjuk Rasa demi Gaza seperti yang Dulu Mereka Lakukan untuk Vietnam' – Ketika Protes Mahasiswa Mencerminkan Ketegangan di AS akibat Konflik Israel dan Palestina

3 Mei 2024 7:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

‘Unjuk Rasa demi Gaza seperti yang Dulu Mereka Lakukan untuk Vietnam' – Ketika Protes Mahasiswa Mencerminkan Ketegangan di AS akibat Konflik Israel dan Palestina

Momen paling menegangkan dari protes di UCLA terjadi pada hari Minggu.
zoom-in-whitePerbesar
Momen paling menegangkan dari protes di UCLA terjadi pada hari Minggu.
“Anak-anak saya ajak ikut supaya mereka terinspirasi,” tutur Shaan Sethi. Secara bergantian, kedua anak Sethi – umur 7 dan 9 tahun – diangkat tinggi-tinggi supaya mereka bisa melihat melampaui batas keamanan.
Di jantung Universitas California, Los Angeles (UCLA) – salah satu kampus paling bergengsi di Amerika Serikat – tengah berlangsung unjuk rasa menentang kondisi di Gaza saat ini.
Di seberang pembatas berupa dua baris pagar yang dijaga sekelompok petugas keamanan, sekitar 200 mahasiswa berkemah sejak Kamis (25/04). Poster-poster bertuliskan “Bebaskan Palestina” dan “Hentikan Genosida” terlihat di sana-sini.
Para mahasiswa ini menuntut pihak kampus untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu yang “diuntungkan” oleh operasi militer Israel di Gaza.
Serangan balasan Israel atas Hamas yang menyerang wilayah selatan Gaza pada 7 Oktober 2023 sejauh ini menewaskan sebanyak lebih dari 34.000 orang Palestina, menurut kementerian kesehatan setempat.
Serangan tak terduga Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober menewaskan 1.200 orang, sementara 240 lainnya menjadi sandera.
PBB memperkirakan lebih dari dua juta warga sipil di Gaza terancam bencana kelaparan.
Pengunjuk rasa pro-Israel menghancurkan batas pemisah kelompok pengunjuk rasa di UCLA
“Area kampus ini biasanya selalu terbuka. Anak-anak kampus berbaring santai di rerumputan atau bercengkerama di sela-sela kelas. Baru kali ini saya melihatnya dipagari dan dijaga ketat petugas keamanan seperti ini,” imbuh Sethi, lulusan Fakultas Ekonomi UCLA beberapa tahun silam, kepada BBC Mundo.
“Makanya saya ingin menunjukkan ini kepada buah hati saya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Anak-anak saya bisa paham betapa terbelahnya negara saat ini,” sambung dia.
Situasi di kampus-kampus mencerminkan ketegangan di AS akibat perang di Timur Tengah. Apa yang terjadi di kampus-kampus juga merefleksikan terbelahnya masyarakat Amerika di tengah dukungan pemerintahnya terhadap Israel – sekutu turun temurun.

Unjuk rasa dan ketegangan yang meningkat

Berbagai unjuk rasa di universitas-universitas AS ihwal perang di Gaza bukanlah sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari belakangan. Demo telah terjadi dengan intensitas yang kurang lebih sama sejak serangan Hamas dan awal operasi militer Israel.
Banyak unjuk rasa mendapat perhatian tajam para legislator Partai Demokrat dan Republik di Capitol Hill – sampai-sampai beberapa pejabat pusat bersaksi di depan Kongres.
Pada bulan Januari, serangkaian kontroversi yang dipicu dari konflik ini membuat Claudine Gay kehilangan posisinya sebagai rektor Universitas Harvard.
Dua minggu lalu, mobilisasi mencapai dimensi terbarunya tatkala polisi menyerbu Universitas Columbia di New York dan menangkap ratusan mahasiswa pro-Palestina yang berkemah di kampus.
Polisi menjaga kampus-kampus di Amerika Serikat sejak munculnya unjuk rasa soal Gaza.
Pada Selasa (30/04) malam waktu setempat, para petugas kembali memasuki kampus dan menangkap puluhan mahasiswa.
Tindakan ini diambil setelah para mahasiswa itu membarikade diri di salah satu gedung kampus – melewati tenggat waktu yang diberikan otoritas kampus agar mereka berhenti menginap di kampus.
Unjuk rasa semakin menegang pada Selasa (30/04) dini hari. Barikade diri yang dilakukan para mahasiswa ini dilakukan di Aula Hamilton yang namanya mereka ganti menjadi Hind Rajab, bocah Palestina berusia enam tahun yang tewas di Gaza awal tahun ini.
Universitas Columbia dilaporkan memerintahkan para mahasiswa dan staf kampus untuk menjauhi kampus atau dikeluarkan.
Aparat memasuki fasilitas kampus Universitas Columbia
Media setempat melaporkan pada Rabu (01/05) bahwa otoritas kampus memperbolehkan pihak kepolisian New York memasuki area kampus.
Pada pernyataan resminya, Universitas Columbia membenarkan pihak kepolisian memasuki kampus atas permintaan universitas untuk “memulihkan keamanan”.
“Setelah universitas mengetahui Aula Hamiltion diduduki, diserang, dan diblokir, kami tidak punya pilihan lain,” demikian pernyataan Universitas Columbia yang menyayangkan eskalasi konflik yang dilakukan mahasiswa.
Pada Selasa (30/04) pagi, para mahasiswa membarikade diri di gedung kampus Universitas Columbia
Akan tetapi, aksi protes dan pendudukan kampus tidak berhenti di Universitas Columbia: dari Yale, Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Emory, Emerson, Tufts, Brown, Stanford hingga Universitas Texas di Austin.
Di pesisir bagian barat Amerika Serikat pun demikian. Universitas Southern California (USC) - yang terletak di Los Angeles dan merupakan salah satu pusat pendidikan swasta paling bergengsi di negara bagian itu - membatalkan acara wisuda pada Kamis (25/04) “mengingat risiko keamanan akibat adanya unjuk rasa”.
Di UCLA, yang terletak di barat laut AS, puncak ketegangan terjadi pada Minggu (28/04) ketika para pengunjuk rasa pro-Palestina berhadapan dengan pengunjuk rasa tandingan yang diusung Dewan Amerika-Israel.
Dewan itu dibangun dengan misi “membangun komunitas Israel-Amerika yang berkomitmen dan bersatu demi memperkuat identitas Israel dan Yahudi generasi selanjutnya dan ikatan dengan Negara Israel”.
Dalam jaringan media sosial mereka, Dewan Amerika-Israel menyatakan “adalah sesuatu yang tidak dapat diterima bahwa kampus, universitas menjadi panggung aktivitas pro-terorisme dan anti-Amerika”.
Pendemo tandingan yang pro-Israel dilaporkan melempari pengunjuk rasa yang mendukung Palestina.
Kendaraan polisi masuki Universitas Columbia untuk mengusir protes pro-Palestina
Pagar-pagar didorong dan terjadi pula konfrontasi verbal termasuk hinaan dan perkelahian. Seorang perempuan mengalami cedera kepala ringan. Polisi kampus tiba pada pukul 14:30 waktu setempat dan puluhan orang yang berkumpul diminta angkat kaki.
“UCLA sudah lama dalam sejarah menjadi tempat untuk aksi damai,” Mary Osako, wakil rektor bidang komunikasi strategis UCLA, menuturkan dalam pernyataan resmi kampus.
“Hati kami hancur atas kekerasan yang terjadi.”
Pada Senin (29/04), yang tersisa adalah keamanan yang diperketat, suasana hening dan tegang, dan sebuah layar besar dan pengeras suara yang dipasang Dewan Amerika-Israel satu hari sebelumnya di Dickson Plaza – beberapa meter dari perkemahan mahasiswa.
Spanduk pendukung Israel di UCLA menyerukan pesan anti-Hamas
Layar besar itu dikelilingi poster yang menuntut pembebasan sandera dan menggarisbawahi dukungan terhadap Israel.
Gambar-gambar serangan 7 Oktober ditayangkan berulang-ulang berikut wawancara dengan penyintas dan pesan dukungan dari tokoh-tokoh komunitas Yahudi.
“Kami ingin mengedukasi murid-murid dan siapa pun yang lewat tentang apa yang diperbuat Hamas dan apa yang dilakukan kampus ini ketika mereka meneriakkan ‘intifada, intifada, revolusi’ atau ‘From the river to the sea [dari sungai sampai ke laut]’,” ujar salah satu panitia Dewan kepada BBC News Mundo – dia mengaku tidak punya keterkaitan dengan UCLA dan meminta dirinya tetap anonim.
From the river to the sea – adalah slogan yang merujuk wilayah geografis antara Sungai Yordania dan Laut Mediterania serta kerap dikumandangkan untuk mendukung Palestina.
Hingga Kamis, 25 April, ada sekitar 200 mahasiswa yang berkemah di kampus UCLA.

‘Saya tidak merasa diterima’

“Saya merasa jijik. Sungguh luar biasa orang-orang yang mengeklaim dirinya sebagai aktivis hak asasi manusia meneriakkan proklamasi yang mengusung kematian dan penghancuran,” ujar Alex Jacobs, yang mengaku mahasiswa UCLA.
“Saya memilih tidak menyebut [saya] dari fakultas mana.”
Jacobs mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker untuk menyamarkan wajahnya. Dia menunjuk ke arah para mahasiswa yang berkemah.
“Saya mengerti kebutuhan untuk berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat. Tetapi sebagai mahasiswa Yahudi dan pro-Israel, saya tidak merasa diterima di kampus impian saya,” ujar Andrew Gerbs, mahasiswa jurusan Sosiologi.
Gerb tidak keberatan berbicara kepada media dan bersedia untuk difoto.
Bentrokan pengunjuk rasa pro dan anti-Israel di kampus UCLA di Los Angeles pada 28 April 2024.
“Saya rasa saya mewakili para mahasiswa Yahudi lainnya. Ini memunculkan kecemasan di antara kami dan membuat konsentrasi belajar terpecah. Pada akhirnya, ini adalah tempat belajar,” ujar Gerb memberi penekanan.
Di sisi lain, Gerb mengakui kelas-kelas di UCLA tetap berjalan seperti biasa – sesuatu yang juga sudah diverifikasi BBC Mundo.
“Ayo, ayo ketahui kebenarannya!” teriak seorang perempuan kepada sejumlah mahasiswa yang melewati kampus.
Akan tetapi, hari sudah siang. Mahasiswa-mahasiswa tadi mengacuhkannya dan bergegas ke bagian lain dari kampus.

Tempat mengutarakan gagasan dan berdebat

“Kami mendukung mahasiswa kami,” begitu bunyi salah satu spanduk yang dibawa para dosen yang bersimpati terhadap mereka yang berkemah.
Slogan-slogan yang dikumandangkan menyuarakan dukungan atas kemerdekaan Palestina. Yang lainnya merujuk kepada Perdana Menteri Israel.
“Netanyahu, beritahu kami berapa banyak anak yang kamu bunuh hari ini?" salah satu bunyinya.
Jumlah mereka mencapai puluhan dan sebagian mengenakan lencana doktoral masing-masing – mereka berbaris menuju jalan Plaza Portola.
“Universitas adalah tempat untuk gagasan, berdebat, dan kami membela hak mahasiswa kami untuk mengekspresikannya, juga hak mereka untuk bermobilisasi,” kata Ananya Roy, direktur Institut Luskin UCLA untuk Ketimpangan dan Demokrasi, kepada BBC Mundo.
Roy juga merupakan dosen bidang perencanaan urban, kesejahteraan sosial, dan geografi.
Dosen-dosen UCLA yang mendukung unjuk rasa mahasiswa mereka soal Gaza
“Para mahasiswa ini berunjuk rasa untuk Gaza seperti yang para pendahulu mereka dulu lakukan untuk Vietnam,” tambahnya.
Roy menarik kesamaan antara unjuk rasa mahasiswa akhir 1960-an yang akhirnya mengambil alih dunia politik nasional dan semakin membayangi situasi di kampus-kampus saat ini.
“Ke mana lagi kami harus berunjuk rasa? Ini adalah tempat paling ideal untuk melakukannya,” ucap seorang mahasiswa yang meminta identitasnya disamarkan kepada BBC Mundo. Dia adalah kontak media bagi koalisi mahasiswa.
“Dan yang kami minta adalah Universitas California berhenti berinvestasi ke mereka yang mendapat untung dari genosida di Gaza. Kami tidak akan pergi sampai ini tercapai.”
Di sisi lain area kampus yang menjadi lokasi perkemahan, di lorong-lorong Aula Royce, ratusan mahasiswa menyuarakan hal yang sama. Sebagian mengenakan keffiyeh di leher atau menutupi wajah. Yang lainnya memakai baju bertuliskan dukungan terhadap Palestina. Banyak yang mengenakan penutup wajah.
Mobilisasi di UCLA sebagian besar berlangsung damai.
“Anti-Zionisme tidaklah sama dengan anti-Semitisme,” tulis salah satu spanduk.
“Jika Anda harus membunuh demi sebuah tanah, maka tanah itu bukanlah milik Anda,” begitu bunyi spanduk lainnya.
“Kekuatan masyarakat lebih kuat dari orang-orang yang berkuasa.”
“Investasilah di bidang pendidikan, bukan perang.”
Dengan cepat mereka menyadari ada media di tengah-tengah mahasiswa.
“Jangan bicara ke media,” ujar salah satu mahasiswa yang mengorganisir unjuk rasa.
“Jangan mau foto diambil.”
Setelah demonstrasi pada Minggu, terjadi peningkatan keamanan di kampus UCLA pada hari Senin.
Saya biarkan mereka maju melewati lengkungan lorong tempat tenda warna-warni berada. Saya kembali ke jalur saya dan menuju ke sisi lain dari garis pembatas keamanan.
Saya teringat percakapan pertama di pagi hari, dengan Sethi – seorang ayah yang berusaha membuat anak-anaknya paham tentang dunia yang terbelah.
“‘Saya katakan kepada buah hati saya tentang adanya dua tim,’ dia bercerita kepada saya.
‘Saat itulah mereka bertanya kepada saya: ‘Dan kami, kami masuk tim yang mana?’’
Sethi menjawab: ‘Kita termasuk di antara mereka yang mendukung perdamaian.’"