Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Vaksin HPV: Dikepung Hoaks, Kelompok Anti-vaksin, dan Minim Informasi
18 Juni 2022 9:53 WIB
·
waktu baca 7 menitProgram vaksinasi HPV untuk mencegah kanker serviks akan digelar di seluruh Indonesia pada tahun depan sebagai bagian dari program imunisasi nasional.
Kementerian Kesehatan RI berharap dengan vaksinasi maka bisa membebaskan Indonesia dari kanker leher rahim pada 2030 yang kini menjadi penyebab kematian tertinggi nomor dua pada perempuan.
Tapi beberapa pihak menilai target itu mustahil dicapai sebab pelaksanaan vaksinasi terlambat.
Seorang pakar imunisasi mengatakan Indonesia semestinya bisa menggelar vaksinasi human papilloma virus (HPV) 18 tahun silam, tapi gagal total karena ditolak sang menteri kala itu.
Kini di tengah menguatnya kelompok anti-vaksin imbas pandemi Covid-19 dan hoaks, kesuksesan program ini kian dipertanyakan.
Seandainya vaksinasi HPV dilakukan sekarang, maka seperti inilah suara para orangtua.
"Saya sih tidak setuju karena belum tahu (vaksin HPV) itu fungsinya apa dan untuk apa," kata Nuriyana, ibu tiga anak di Aceh.
Yanti, ibu lain di Sumatra Barat berkata, "Saya belum tahu (ada vaksin HPV) dan kayaknya enggak penting buat anak saya."
"Bukannya vaksin kanker serviks buat calon pengantin baru? Kalau untuk anak usia 10 sampai 13 tahun masih riskan karena serviksnya masih berkembang. Jadi saya pikir-pikir dulu kalau anak mau divaksin. Saya harus tahu risikonya apa," imbuh Loli, ibu yang memiliki anak perempuan berusia tujuh tahun di Padang.
"Enggak setuju (anak divaksin HPV) karena belum ada sosialisasi mengenai kegunaan vaksin itu untuk si anak dan apa efek sampingnya," ujar Nova yang mempunyai anak perempuan di Aceh.
Jawaban-jawaban itu menggambarkan minimnya informasi tentang vaksin HPV.
Padahal, setahun lagi pemerintah akan menggelar imunisasi wajib nasional untuk pencegahan kanker serviks.
Di waktu itu - Agustus 2023 - setidaknya dua juta anak perempuan berusia 10 sampai 13 tahun di pelbagai daerah tanpa terkecuali akan menerima suntikan vaksin.
Direktur Pengelolaan Imunisasi di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Prima Yosephine, bahkan mewanti-wanti masyarakat agar tidak melewatkan kesempatan itu.
Sebab vaksin ini sangatlah krusial.
"Karena bagaimanapun mencegah tetap lebih baik dari mengobati. Untuk kanker serviks, jelas vaksinasi sangat penting karena studi menyebutkan lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh virus human papilloma," ujar dr. Prima Yosephine kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Itu mengapa kami memberikan (vaksin) ini pada usia dini -anak- karena terbukti lebih efektif dan efisien."
"Makanya kalau punya anak perempuan yang duduk di kelas 5 sekolah dasar segera ikut dalam pelayanan vaksinasi HPV," jelasnya.
Di Indonesia, kanker serviks atau kanker leher rahim menjadi pembunuh tertinggi kedua bagi perempuan setelah kanker payudara.
Observasi Kanker Dunia (Globocan) mencatat, di Indonesia terdapat 36.633 kasus baru dan 21.003 kematian akibat kanker serviks pada 2020.
Angka itu naik 15% dibanding 2018.
Dalam gambaran yang lebih sederhana, rata-rata 57 perempuan di Indonesia meninggal setiap hari akibat penyakit ini.
Mengapa minim informasi dan apakah target bisa dicapai?
Selain karena minim informasi, persoalan lain adalah serangan hoaks: kalau vaksin HPV bisa menyebabkan kemandulan dan menopause dini.
Seperti yang diceritakan Loli, warga di Padang, Sumatra Barat. Dia pernah membaca artikel bahwa vaksin kanker serviks bisa memicu kemandulan. Untungnya, dia tak menelan mentah-mentah kabar itu.
Direktur Pengelolaan Imunisasi di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Prima Yosephine, mengakui informasi soal imunisasi HPV masih minim.
"(Informasi) vaksin HPV belum terlalu banyak karena baru akan diberikan Agustus nanti. Jadi saat mendekati itu kita akan unggah lagi untuk komunikasi publik," kata Prima.
Serangan hoaks dikhawatirkan sejumlah kalangan bakal menggembosi capaian vaksin ini. Kalau merujuk pada vaksinasi Covid-19, LSM Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat Indonesia sebagai negara nomor lima yang paling banyak penyebaran teori konspirasi.
Sebanyak 1.060 hoaks seputar virus Corona misalnya bertebaran sepanjang Januari 2020 hingga Juli 2021.
Pakar imunisasi, dr. Elizabeth Jane Soepardi, menilai kekhawatiran itu tak bisa diabaikan.
"Biasa kalau sudah namanya hanya untuk perempuan digoreng dengan bikin hoaks. Jadi masyarakat harus pintar jangan mau dibohongi," tukasnya.
Kementerian Kesehatan baru punya satu strategi sebagai penangkal: menyebarkan penjelasan para ahli ke pelbagai platform media.
Sementara Kemenkes juga sudah mematok target tinggi.
Paling tidak 95% anak yang disasar untuk imunisasi serviks bisa dicapai, dengan begitu gol pemerintah membebaskan Indonesia dari kanker leher rahim pada 2030 terwujud.
"Tentu golnya mengeliminasi angka kesakitan akibat kanker serviks. Untuk itu tentu enggak bisa langsung, karenanya kami menyasar di hulu yaitu anak-anak," imbuh Direktur Pengelolaan Imunisasi di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Prima Yosephine.
"Untuk usia dewasa kami harapkan kegiatan pencegahan lewat deteksi dini harus dilakukan supaya bisa menekan angka kesakitan."
Hanya saja beberapa pihak menilai target itu mustahil digapai.
Sebab, kata Ketua Harian Cancer Information and Support Center (CISC) Sri Suharti, waktu yang dimiliki Indonesia sangat pendek: delapan tahun.
Sedangkan angka kesakitan sudah sangat besar dan tantangannya kian berat.
"Ya terlambat, tapi daripada tidak kan... Jadi paling tidak angkanya berkurang lah," tutur Sri Suharti.
Untuk diketahui, Indonesia menurut WHO, masih dinobatkan sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks terbesar di dunia.
Itu kenapa dia sangat mempertanyakan mengapa pemerintah baru sekarang melaksanakan imunisasi wajib nasional?
"Dari dulu kita sudah minta ke Kemenkes untuk melakukan vaksin HPV. Sekarang tinggal delapan tahun, sementara kalau vaksinasi dilakukan beberapa tahun lalu mungkin sekarang kanker serviks sudah turun banyak," tanyanya.
Mengapa vaksinasi nasional baru dilakukan sekarang?
Direktur Pengelolaan Imunisasi di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Prima Yosephine, mengakui waktu delapan tahun sangat pendek.
Ketika imunisasi vaksin hpv digelar tahun depan pada anak kelas 5 sekolah dasar, maka delapan tahun kemudian mereka baru berusia 20 tahun.
Di umur itu perkiraan Prima, mereka belum menikah atau belum berhubungan seksual. Sehingga belum bisa diketahui keberhasilan vaksinasi.
"Setidaknya ada terasa penurunan," kata dr. Prima Yosephine.
Prima mengeklaim vaksinasi HPV sebetulnya sudah direncanakan sejak lama. Tapi terhalang anggaran, selain itu Kemenkes lebih mendahulukan program vaksin PCV untuk mencegah meningitis.
"Pak Menteri Budi arahannya mempercepat sehingga yang tadinya 2024 kita majukan."
"Di luar itu ada persoalan kekurangan stok vaksin secara global. Karena vaksin ini harus diimpor, jadi itu kenapa tahun ini tidak bisa dilakukan karena stoknya enggak cukup."
Pakar imunisasi dr. Elizabeth Jane Soepardi membenarkan keterbatasan stok vaksin serviks di dunia. Pasalnya produsen untuk vaksin ini cuma satu dan harganya pun mahal.
Kisaran biaya vaksin HPV di berbagai fasilitas kesehatan berada di angka antara Rp700.000 - Rp1 juta per dosis. Untuk dewasa, setidaknya butuh tiga kali suntikan.
Itu mengapa Jane sangat menyayangkan jika ada orang yang melewatkan imunisasi HPV gara-gara termakan hoaks.
"Kalau enggak mau ambil jatah (vaksin) artinya bodoh," katanya tegas.
Tapi lebih dari itu, Jane mengatakan sesungguhnya Indonesia bisa menggelar imunisasi vaksin serviks pada 2005. Bahkan dapat memperoleh vaksin HPV gratis dari GAVI - sebuah aliansi vaksin internasional yang menyediakan vaksin gratis bagi negara-negara yang memenuhi syarat.
Sebab 18 tahun silam, Indonesia masih dalam kategori negara berpendapatan rendah sehingga memenuhi syarat tersebut.
Hanya saja menteri yang saat itu menjabat menolak bantuan vaksin gratis dari GAVI, kata Jane.
"Gara-gara itulah masyarakat Indonesia dirugikan. Saya buka aja."
"Sekarang kalau kita minta (vaksin gratis), enggak bisa karena Indonesia sudah masuk dalam negara berpendapatan menegah atas. Jadi tidak memenuhi syarat lagi untuk dibantu."
"Kalau mau vaksin harus beli."
Vaksinasi HPV tahap awal
Sejak 2016, sebetulnya ada beberapa wilayah yang sudah mendapatkan program vaksin HPV seperti di DKI Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Manado dan Makasar, Karang Anyar dan Sukoharjo, serta Kediri dan Lamongan.
Program itu masih terbatas di kota-kota tertentu karena terhalang anggaran. Wilayah-wilayah itu dipilih karena jumlah kasus kanker serviksnya paling banyak.
Total hingga saat ini sudah ada 20 kabupaten/kota yang menyelenggarakan imunisasi vaksin HPV dan akan terus ditambah dengan 111 kabupaten/kota baru.
"Sisanya di tahun 2023," ujar Direktur Pengelolaan Imunisasi di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dr. Prima Yosephine.
Pantauan Kemenkes, dari 20 kabupaten/kota yang sudah berjalan capaian vaksinasinya "cukup bagus".
Meskipun ada ditemukan orangtua yang tidak mengizinkan anaknya divaksin.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menjangkau target 95% itu?
Ketua Harian Cancer Information and Support Center (CISC), Sri Suharti, punya cara ekstrem.
"Kalau enggak mau divaksin dan lakukan deteksi dini, terus suatu saat kena kanker serviks enggak usah ditanggung dengan BPJS Kesehatan. Itu kalau saya," kata Sri.
Namun Kemenkes punya kiat sendiri.
Selain menggencarkan informasi di sekolah-sekolah, pihaknya juga bakal mendatangi setiap rumah yang anaknya belum menerima vaksin oleh petugas puskesmas agar diberi pemahaman.
Upaya lain, Kemenkes akan menyambangi komunitas-komunitas yang menaungi anak putus sekolah.
"Yang jelas kita tidak bisa memaksa, karena kalau ada pemaksaan bisa ramai nanti," imbuh dr. Prima Yosephine.
Helbert Chaniago, wartawan di Sumatera Barat dan Hidayatullah, wartawan di Aceh turut berkontribusi untuk liputan ini.