Vaksinasi Gotong Royong: Sejumlah Pekerja Sulit Akses Vaksin Booster

Konten Media Partner
4 Mei 2022 12:22 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Vaksinasi Gotong Royong: Sejumlah Pekerja Sulit Akses Vaksin Booster
zoom-in-whitePerbesar
Pada saat mayoritas masyarakat Indonesia sudah bisa mengakses vaksin dosis ketiga (booster) secara mudah dan gratis, sejumlah peserta program Vaksinasi Gotong Royong justru kesulitan mendapatkannya.
Mereka mengaku "menyesal" mengikuti program yang diinisiasi oleh para pengusaha pada dengan dalih "untuk mempercepat program vaksinasi".
Beberapa pekerja bercerita kepada BBC News Indonesia mengenai bagaimana sulitnya mereka mengakses vaksin booster, mulai dari ditolak ketika datang ke fasilitas vaksinasi gratis yang diselenggarakan pemerintah hingga ditawari membeli vaksin.
Juru bicara PT Bio Farma, Bambang Heriyanto, mengeklaim stok vaksin booster yang disediakan untuk Vaksinasi Gotong Royong sebetulnya mencukupi.
Sementara itu, Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi mengatakan akan "menunggu pengelola vaksin Sinopharm untuk bersinergi menyikapi pemberian dosis ketiga" bagi peserta Vaksinasi Gotong Royong.
Kara—bukan nama sebenarnya—mendapat vaksin Covid-19 dosis pertama dan kedua pada Juni dan Juli 2021 melalui program Vaksinasi Gotong Royong yang diinisiasi oleh perusahaan tempat dia bekerja saat itu.
Pada saat itu, pemerintah masih memprioritaskan akses vaksin bagi tenaga kesehatan, lansia, serta kelompok rentan lainnya. Oleh sebab itu, Kara pun memutuskan untuk mengikuti program vaksinasi yang diadakan oleh perusahaannya.
"Waktu itu saya [bekerja di] bidangnya cukup terlibat dengan banyak orang, jadi saya merasa perlu segera vaksin, akhirnya saya ikut," kata perempuan berusia 27 tahun yang kala itu bekerja di sebuah perusahaan otomotif di Bekasi, Jawa Barat.
Pada akhir 2021, Kara mengundurkan diri dan pindah kantor ke wilayah Jakarta. Hal ini membuat dia tidak bisa lagi mengikuti program vaksinasi yang diadakan oleh kantor sebelumnya.
Setelah program vaksinasi ketiga atau booster mulai digelar pemerintah dan masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya, Kara pun mulai mencari informasi.
Pada awal April lalu, Kara mendatangi sejumlah tempat vaksinasi gratis yang diadakan oleh pemerintah.
"Saya datang itu selalu ditolak karena katanya, 'Ini kan vaksin Sinopharm, Vaksin Gotong Royong, kami nggak terima karena Vaksin Gotong Royong itu berbayar dan vaksin booster-nya juga harus Sinopharm'," kenang Kara menirukan ucapan petugas kepadanya.
Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan memang baru mengizinkan penerima vaksin primer Sinopharm untuk mendapat booster dari jenis yang sama.
Lantaran berulang kali ditolak, Kara pun mendapat informasi terkait sebuah klinik di Jakarta Selatan yang melayani vaksinasi booster dengan syarat pemesanan minimal dua dosis. Tetapi, Kara harus membayar sebesar Rp300.000 per dosis.
Keluhan serupa juga muncul di media sosial. Sejumlah orang membagikan tangkapan layar yang menunjukkan bahwa untuk mendapatkan booster Sinopharm mereka harus membayar Rp265.000 hingga Rp1 juta.
"Bagi saya sih cukup memberatkan, karena yang lain bisa dapat vaksin seperti Pfizer dan Moderna itu dengan gratis, tapi kami malah harus bayar Rp300.000," tutur dia.
Kara pun belum mendapatkan booster sampai ketika BBC Indonesia mewawancarainya pada pekan lalu.
"Jujur, saya menyesal ikut Vaksinasi Gotong Royong karena ternyata dua sampai tiga bulan kemudian banyak vaksin seperti Sinovac, Moderna, Pfizer diberikan gratis kepada masyarakat. Kalau saya tidak ikut vaksin Sinopharm (Gotong Royong), dan ikut mereka (program pemerintah) kan juga aksesnya mudah, tidak sesulit yang dibayangkan sebelumnya," ujar dia.

Awalnya diistimewakan, berujung diabaikan

Penerima vaksin lainnya, Anisa—juga bukan nama sebenarnya—awalnya mengira bahwa kesempatan untuk mengikuti program vaksinasi Gotong Royong adalah sebuah privilese atau hak istimewa.
Sebab pada pertengahan 2021 lalu, Anisa masih sulit mengakses vaksin gratis yang disediakan pemerintah. Sedangkan lewat program Vaksinasi Gotong Royong, dia hanya perlu mendaftar dan perusahaan lah yang menanggung biaya serta mengatur pelaksanaannya.
Anisa pun telah mendapat dua dosis vaksin primer Sinopharm melalui program tersebut pada Juli 2021. Namun sampai saat ini, perusahaannya belum berencana menyediakan booster lewat Vaksinasi Gotong Royong.
Padahal sebagai pekerja lapangan yang kerap berinteraksi dengan banyak orang, termasuk di rumah sakit, Anisa merasa dirinya perlu perlindungan ekstra dari booster.
"Dari kantorku jawabannya ya karena booster ini baru dianjurkan, belum diwajibkan," tutur Anisa.
Anisa—yang mengaku saat itu belum mengetahui bahwa penerima vaksin Sinopharm hanya bisa mendapat booster jenis yang sama—pun mencoba mendapatkan suntikan ketiga di puskesmas di dekat rumahnya.
Dia sempat lolos skrining data dan skrining medis, sampai akhirnya disuntik booster menggunakan setengah dosis vaksin Pfizer.
Baru ketika pada meja administrasi terakhir, petugas yang bertugas memasukkan data ke sistem PeduliLindungi kaget dan mengatakan bahwa Anisa tidak seharusnya mendapat booster di tempat itu.
Pertama, karena dia adalah peserta program Vaksinasi Gotong Royong. Kedua, karena dia seharusnya disuntik booster dengan vaksin Sinopharm pula.
"Pas daftar seharusnya dikasih tahu dong, sertifikat vaksinnya dilihat kan saya nunjukin handphone saya, kenapa saya dibolehkan vaksin? Saya sudah disuntik loh," ujar Anisa.
Lantaran Anisa terdaftar sebagai peserta program Gotong Royong, maka datanya pun "terkunci" pada sistem PeduliLindungi. Oleh sebab itu, sertifikat vaksin booster-nya pun tidak terbit sampai saat ini.
Dia disarankan untuk menghubungi layanan konsumen PT Bio Farma—yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan program Vaksinasi Gotong Royong—agar bisa mendapatkan sertifikat vaksinasinya. Tetapi sampai saat ini, Anisa mengatakan, belum ada solusi apa pun.
Padahal sertifikat booster dibutuhkan mengingat pemerintah kini mensyaratkan ini terhadap orang-orang yang bepergian agar tidak perlu lagi melakukan tes Covid-19.
"Jadi aku mudah di awal, sulit di akhir. Teman-teman yang vaksin di ruang publik, mungkin sulit di awal karena pada saat itu vaksin antre banget. Sekarang mereka dengan nyaman saja. Dari pemerintah vaksin booster tinggal booster. Nggak perlu ribet-ribet urus data seperti ini," kata dia.

Tak bisa beralih ke program gratis pemerintah

Ketika pemerintah membolehkan mudik Lebaran untuk pertama kalinya selama pandemi, Luthfiya Riyanti, 27 tahun, beserta suaminya pun berencana untuk pulang kampung ke Cilacap, Jawa Tengah.
Mereka kemudian mengetahui bahwa pemerintah menjadikan vaksin booster sebagai salah satu syarat untuk bepergian. Apabila belum mendapat vaksin booster, maka pemudik wajib menjalani tes antigen atau PCR.
Perempuan yang akrab disapa Fia itu pun mencari tahu akses vaksin booster. Fia, yang merupakan penerima vaksin Sinovac melalui program gratis pemerintah dengan mudahnya mendapatkan booster.
Lain halnya dengan suaminya, yang merupakan penerima Sinopharm lewat program Vaksinasi Gotong Royong. Seperti Kara, suami Fia juga telah mengundurkan diri dari kantor yang menyelenggarakan program Gotong Royong tersebut.
"Yang saya lihat banyak (tempat vaksinasi) yang tidak menerima vaksin Sinopharm di ketentuannya. Saya cari di Puskesmas enggak ada yang bisa, vaksinasi massal di mall juga banyak, nggak menerima Sinopharm, klinik juga nggak," papar Fia.
Suaminya bahkan sempat berkeliling ke sejumlah klinik dan apotek Kimia Farma di Depok untuk menanyakan stok vaksin Sinopharm. Namun, vaksin Sinopharm yang tersedia hanya bisa diakses secara kolektif oleh perusahaan, bukan perorangan.
Fia dan suaminya kemudian mencoba menghubungi layanan konsumen Bio Farma, mencoba bermigrasi dari program Gotong Royong menuju program vaksinasi pemerintah. Tetapi, upaya itu tidak membuahkan hasil.
"Saya merasa kesal sih, ribet juga. Kenapa vaksin pemerintah sebegitu mudahnya, di mana-mana menyelenggarakan, di mall, klinik, RS, puskesmas itu semua bisa. Vaksin Sinopharm dipersulit," ujar dia.
Suaminya akhirnya menghubungi mantan perusahaannya. Setelah menunggu kabar selama satu bulan, ternyata mantan perusahaannya mau mengakomodasi kebutuhan suaminya untuk booster.
"Suami saya mungkin beruntung, resign cuma dari Karawang ke Jakarta. Kalau perusahaan sebelumnya di Kalimantan atau Sulawesi kan kasihan, belum tentu juga perusahaan lamanya mau mengurus," kata Fia.
"Pemerintah jangan lupa, mereka yang sudah buat [program] gotong royong kan, tapi makin ke sini kok kayak dibaikan begitu, mentang-mentang sudah bayar atau gimana, tapi kok mereka (pemerintah) lepas tangan."
Juru bicara PT Bio Farma, Bambang Heriyanto mengatakan salah satu pertimbangan penerima vaksin Sinopharm tidak bisa pindah ke program pemerintah lantaran izin darurat yang diterbitkan BPOM hanya memungkinkan para penerimanya mendapat jenis vaksin yang sama.

'Terbelenggu oleh birokrasi'

Firdaus Ferdiansyah dari LaporCovid-19 mengatakan apa yang terjadi pada Kara, Anisa, dan suami Fia menunjukkan bahwa program Vaksinasi Gotong Royong "problematik dari segi perencanaan".
Program Vaksinasi Gotong Royong telah menuai kritik luas sejak awal dicetuskan, lantaran dianggap "menyerobot" antrean vaksinasi yang semestinya diatur berdasarkan skala prioritas penerimanya,
Namun dengan dalih "mempercepat" capaian target vaksinasi, program ini tetap dilaksanakan dengan syarat biaya vaksinasi untuk pekerja ditanggung oleh perusahaan.
Lantaran statusnya sebagai program berbayar, maka pelaksanaannya pun dipisahkan dengan program vaksinasi gratis yang diselenggarakan oleh pemerintah. Firdaus menuturkan itu lah yang membuat penerima vaksin gotong royong "terbelenggu oleh birokrasi".
Inisiator dan penyelenggara Program Vaksinasi Gotong Royong terbukti tidak mengantisipasi pemenuhan hak bagi mereka yang mengundurkan diri dari perusahannya.
Selain itu, juga tidak ada regulasi yang mewajibkan perusahaan peserta program Vaksinasi Gotong Royong untuk menyelenggarakan dosis ketiga.
Sayangnya, tidak ada data yang menunjukkan berapa banyak orang yang mengalami hal serupa, namun Firdaus memperkirakan jumlahnya ada banyak.
"Misalnya ketika satu perusahaan punya 5.000 karyawan, ketika tidak ada kebijakan booster ya segitu banyak yang enggak bisa booster. Apalagi kebijakan perusahaan biasanya juga mengikuti keluarganya," kata Firdaus kepada BBC News Indonesia.
"Banyak yang dirugikan dengan adanya kebijakan yang dari awal tidak disiapkan, dari awal problematik, dan tidak kunjung dihentikan."
"Ini sangat diskriminatif apabila pemerintah tidak ikut mengakomodir teman-teman vaksin gotong royong ini yang memiliki kendala dan keluhan," ujar dia.
Sulitnya akses itu pula lah, yang menurut Firdaus, memunculkan praktik jual beli vaksin Sinopharm seperti yang ditemui Fia.
Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2021 telah meniadakan ketentuan Vaksin Gotong Royong berbayar bagi individu.
Aturan itu menyatakan bahwa penerima vaksin Gotong Royong seharusnya tidak dipungut biaya. Biaya vaksinasi semestinya ditanggung oleh badan hukum/badan usaha, bukan oleh individu.

'Pemerintah tak boleh lepas tangan'

Firdaus menyatakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan "tak boleh lepas tangan" terhadap persoalan yang dihadapi oleh peserta program Vaksinasi Gotong Royong.
"Saya kira sudah saatnya Kemenkes untuk tidak lepas tangan, menutup mata dan harus punya perhatian."
"Bagaimana pun kan tanggung jawab pemerintah, negara, untuk memenuhi hak kesehatan masyarakat, dalam hal ini perlindungan untuk vaksin itu tetap ada," kata Firdaus.
Dia menyarankan pemerintah untuk meniadakan saja program vaksinasi Gotong Royong, sehingga seluruh penerimanya bisa dileburkan pada program vaksinasi pemerintah yang gratis. Dengan demikian, setiap orang memiliki hak yang sama.
Apalagi sejauh ini, vaksinasi Gotong Royong pun dianggap tidak cukup signifikan berkontribusi pada cakupan program vaksinasi secara umum.
Data progres vaksinasi di situs Kementerian Kesehatan yang diakses pada Senin (24/4) menunjukkan bahwa cakupan vaksinasi dosis kedua pada program Gotong Royong baru berkisar 1,1 juta atau 7,34% dari targetnya sebanyak 15 juta.
Cakupan vaksinasi booster-nya pun lebih kecil lagi, yakni baru mencapai sekitar 365.000 dosis atau 2,43%.
"Saya kira cukup lah dihentikan saja. Orang sudah ada vaksin program (gratis), vaksin kita juga berlimpah. Silakan diselesaikan yang belum selesai, tapi saya rasa enggak perlu dilanjutkan," tutur Firdaus.

Bagaimana respons pemerintah?

Juru bicara PT Bio Farma, Bambang Heriyanto, mengklaim stok vaksin booster yang disediakan untuk Vaksinasi Gotong Royong sebetulnya mencukupi. Saat ini, kata dia, ada sekitar tiga juta dosis vaksin yang disiapkan sebagai booster, sesuai dengan perkiraan kebutuhan berdasarkan jumlah dosis pertama dan dosis kedua yang telah disuntikkan sejauh ini.
Namun, Bambang mengakui bahwa banyak perusahaan tak lagi mendaftarkan diri untuk mengikuti program vaksinasi booster. Ini lah yang menyebabkan cakupan booster pada program Gotong Royong masih rendah, dan para pekerjanya kebingungan mencari akses.
"Kami kan punya data perusahaan yang ikut, kami invite lagi untuk ikut program vaksinasi booster, tapi kan pertimbangannya ada di perusahaan masing-masing, kami nggak bisa memaksa," kata Bambang kepada BBC News Indonesia.
Sebagai solusinya, Bambang mengatakan masyarakat yang tidak lagi bisa mengakses vaksin booster melalui jalur perusahaan untuk datang ke program yang diadakan oleh PT Bio Farma maupun PT Kimia Farma di sejumlah titik.
Sementara itu, Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi mengatakan akan "menunggu pengelola vaksin Sinopharm untuk bersinergi menyikapi pemberian dosis ketiga" bagi peserta Vaksinasi Gotong Royong.