Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Varian Baru Lebih Menular, COVID-19 Dapat Mencapai 400.000 Kasus di Indonesia
30 November 2021 6:50 WIB
·
waktu baca 9 menitSatuan Tugas Penanganan COVID-19 mengungkapkan lonjakan kasus di Indonesia dapat menembus 400.000 kasus seiring tingginya mobilitas masyarakat, protokol kesehatan rendah, dan munculnya varian baru yang lebih menular dari Delta.
Ketua Bidang Data dan IT Satgas Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah tidak menyebut varian itu Omicron namun mengatakan kondisi parah akan sangat bergantung pada faktor-faktor tersebut.
Dia menambahkan, lonjakan kasus bisa mencapai sekitar 70.000 kasus dengan kondisi kekebalan kelompok belum terbentuk, mobilitas penduduk tinggi, dan kepatuhan protokol kesehatan cukup baik.
Jika tidak ada varian baru yang lebih menular, namun mobilitas masyarakat tetap tinggi, sedangkan protokol kesehatan dan cakupan vaksinasi rendah, maka jumlah kasus aktif diperkirakan melonjak mencapai 260.000 kasus pada akhir Desember 2021 hingga Januari 2022.
Namun, Dewi juga memprediksi potensi lonjakan kasus pada akhir tahun ini tidak akan seburuk yang terjadi pada Juli 2021, ketika Indonesia diterjang penyebaran varian Delta yang masif.
"Puncak kita mungkin tidak akan lebih dari ini [puncak kasus pada Juli 2021], karena vaksinasinya sudah jauh lebih luas cakupannya dibandingkan libur Idulfitri lalu, jadi kasus [aktif]-nya naik tapi mungkin angkanya hanya sampai di kisaran 400.000 saja," jelas Dewi melalui diskusi virtual pada Senin (29/11).
Dewi mengatakan perhitungan dan skenario tersebut dibuat sebelum muncul varian Omicron yang kemungkinan jauh lebih menular dibandingkan dengan varian Delta dan telah dilabeli sebagai variant of concern oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO sendiri menyatakan daya tular dari varian Omicron masih dipelajari lebih lanjut oleh peneliti, namun situasi yang terjadi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa angka infeksi melonjak akibat munculnya varian ini.
Oleh sebab itu, Dewi mengingatkan ancaman varian baru ini harus diwaspadai dan penurunan kasus yang terjadi di Indonesia saat ini tidak boleh membuat pemerintah maupun masyarakat menjadi lengah.
"Yang harus diingatkan adalah konsistensi, jangan sampai lupa. Mungkin kasus kita turun, tapi bukan berarti kita sudah aman. Virus ini pintar banget tiba-tiba muncul varian baru yang membuat dia lebih menular, berpengaruh pada efektivitas pelayanan kesehatan di lapangan dan sebagainya," kata Dewi.
Bagaimana situasi penularan COVID-19 di Indonesia saat ini?
Data Satgas Penanganan COVID-19 pada Senin (29/11) menunjukkan jumlah kasus aktif atau pasien COVID-19 yang masih dirawat sebanyak 7.960 orang. Kasus baru hanya bertambah sebanyak 176 kasus dalam 24 jam terakhir, sehingga total kasus seluruhnya menjadi 4,25 juta orang.
Jumlah kasus aktif telah menurun drastis apabila dibandingkan dengan pertengahan Juli lalu, ketika Indonesia sempat mencatat 545.000 kasus aktif akibat penularan varian Delta.
Penurunan angka infeksi kemudian diikuti oleh pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di berbagai daerah di Indonesia. Dampaknya, mobilitas masyarakat meningkat hingga lima kali lipat dibandingkan Juli lalu.
Data Satgas COVID-19 menunjukkan jumlah penumpang kereta api meningkat dari 106.000 orang pada Juli menjadi 572.000 orang pada November ini. Selain itu, jumlah penumpang pesawat melonjak dari 353.000 orang menjadi hampir 1,6 juta orang.
"Ini berarti ada potensi penularan dari satu wilayah ke wilayah lain," kata Dewi.
Selain itu, angka kepatuhan terhadap protokol kesehatan juga menurun dalam dua pekan terakhir, terutama di restoran dan tempat wisata.
Sedangkan cakupan vaksinasi lengkap COVID-19 di Indonesia baru mencapai 45,65% dari total sasaran sebanyak 208,26 juta penduduk meski program vaksinasi telah berjalan selama hampir satu tahun.
Cakupan vaksinasi pada penduduk lanjut usia, yang paling rentan ketika terinfeksi COVID-19, juga masih jauh dari target yakni sebanyak 33,85%.
Persoalan lainnya adalah cakupan vaksinasi di provinsi-provinsi di Indonesia juga belum merata.
Jakarta dan Bali menjadi provinsi dengan cakupan vaksinasi tertinggi di Indonesia, mengingat hampir seluruh penduduknya telah divaksin. Sementara di provinsi seperti Aceh dan Maluku, baru sekitar 20% penduduknya yang telah mendapat vaksinasi lengkap.
"Baru lima provinsi yang sudah mencapai target vaksinasi dosis kedua 50%, artinya masih ada 29 provinsi yang masih vulnerable, (rentan)" tutur dia.
Menimbang faktor-faktor tersebut, Dewi mengatakan pemerintah akan berupaya mengejar target vaksinasi untuk mengurangi risiko yang buruk dari lonjakan kasus, kemudian mengendalikan mobilitas masyarakat melalui penerapan PPKM yang lebih ketat saat libur akhir tahun.
'Seakan-akan sudah tidak pandemi'
Situasi di sejumlah tempat, seperti yang diungkapkan warga yang kami kontak, tak seperti ada pandemi lagi.
Seorang warga Bekasi, Jawa Barat, Iqbal Musyaffa, 31, mengatakan situasi yang dia temui dari aktivitasnya sehari-hari telah menunjukkan penerapan protokol kesehatan di area publik telah lebih longgar dibandingkan sebelumnya.
Menurut Iqbal, hal itu terlihat dari bagaimana KRL yang biasa dia tumpangi telah kembali padat.
"Seakan-akan sudah tidak di masa pandemi lagi. Di kereta meskipun di kursinya masih diberi jarak, tapi untuk penumpang yang berdiri justru lebih padat dari sebelumnya," kata Iqbal kepada BBC Indonesia.
Dari pengalamannya mengunjungi restoran, Iqbal mengatakan beberapa kali menemukan kursi dan meja makan yang diduduki pengunjung tidak lagi berjarak seperti ketika PPKM masih berlaku secara ketat.
"Orang-orang juga mulai banyak yang kelihatan enggak pakai masker," kata dia.
Situasi lonjakan kasus yang terjadi pada Juli lalu masih menyisakan kekhawatiran bagi Iqbal terhadap potensi terulangnya situasi serupa di Indonesia. Oleh sebab itu, Iqbal berharap pemerintah mampu menerapkan kebijakan yang bisa mencegah itu terjadi dan mampu menghalau potensi masuknya varian baru.
Iqbal sendiri telah mendapat vaksin COVID-19 sebanyak dua dosis, namun kekhawatiran yang lebih besar justru ada pada putrinya yang baru berusia 3,5 tahun dan belum bisa divaksin.
Seiring aktivitas masyarakat yang mulai pulih usai lonjakan kasus Juli lalu, Iqbal mengatakan playgroup yang menjadi tempat anaknya bersekolah juga telah kembali menerapkan pembelajaran tatap muka secara terbatas.
"Saya ada anak yang sudah mulai usia playgroup dan mulai sekolah offline, mau enggak mau ya harus ikut sekolah karena daripada diam di rumah juga anak juga bete, ada kekhawatiran itu karena anak di bawah 6 tahun belum bisa vaksin kan," kata Iqbal.
Upaya yang bisa dilakukan sejauh ini adalah memastikan sekolah anaknya mampu menerapkan protokol kesehatan dan orang-orang dewasa di sekitarnya tidak menularkan virus SARS-CoV-2 pada anak-anak di sekolahnya.
"Mudah-mudahan tidak terjadi kebobolan kasus di sekolah, karena anak-anak kan masih riskan," tutur dia.
Protokol kesehatan rendah
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, juga mengatakan bahwa penerapan protokol kesehatan belum maksimal di tengah meningkatnya mobilitas masyarakat belakangan ini.
Menurut dia, mobilitas yang tinggi sebetulnya tidak menjadi masalah apabila bisa dijamin bahwa orang-orang yang beraktivitas adalah yang benar-benar terlindungi dari risiko COVID-19.
Persoalannya, pemanfaatan aplikasi PeduliLindungi yang menjadi 'senjata' pemerintah dalam memfilter orang-orang yang beraktivitas, dianggap belum bisa menjamin itu.
Aplikasi itu semestinya menjadi indikator yang memastikan bahwa orang-orang yang beraktivitas adalah yang negatif COVID-19 atau sudah terlindungi dengan vaksin.
Namun pada kenyataannya, Windu mengatakan banyak pengelola tempat publik yang tidak benar-benar memantau pemanfaatannya. Ditambah lagi, status pengguna yang ditampilkan pada sistem PeduliLindungi tidak selalu akurat karena minimnya tes hingga pelacakan kasus yang dilakukan.
Artinya, orang-orang yang sebenarnya terinfeksi COVID-19 bisa saja masih berstatus negatif pada aplikasi tersebut dan bebas beraktivitas karena tidak ada tes dan pelacakan kasus yang rutin.
"Kalau surveilansnya bagus, masyarakat Indonesia bisa terlindungi karena yang ada di lokasi publik adalah orang-orang yang benar-benar terlindungi," kata Windhu.
Ancaman varian Omicron berpotensi memperburuk situasi
Salah satu faktor risiko lainnya yang dapat memperburuk situasi, kata Windhu, adalah kemunculan varian baru dengan mutasi yang dapat mempengaruhi efektivitas vaksin dan lebih menular. Oleh sebab itu, kemunculan varian Omicron di beberapa negara juga mesti diwaspadai secara serius oleh pemerintah.
Pemerintah sendiri telah melarang warga negara asing dengan riwayat perjalanan dari sejumlah negara yang telah mengonfirmasi kasus varian Omicron, termasuk Afrika Selatan dan Botswana, untuk masuk ke Indonesia.
Sedangkan warga negara Indonesia yang memiliki riwayat perjalanan dari wilayah itu wajib menjalani karantina selama 14 hari.
Hanya saja, Windhu menyayangkan masih adanya diskresi yang diberikan pemerintah kepada pejabat setingkat menteri, diplomat, dan delegasi dari negara-negara peserta konferensi G-20. Menurut dia, diskresi seperti ini berisiko membuat Indonesia 'kebobolan' mencegah masuknya varian baru.
"Meskipun memang ada peraturan khusus yang ketat, tapi tetap berisiko. Kalau menurut saya enggak usah dulu lah pertemuan semacam itu ditunda dulu lah," kata dia.
Menurut Windhu, sebagian besar penduduk Indonesia diyakini telah memiliki antibodi COVID-19 yang karena pernah terinfeksi maupun akibat vaksinasi. Namun, karakteristik virus varian Omicron yang disebut memiliki 30 mutasi pada protein spike-nya dikhawatirkan tidak dikenali oleh antibodi yang telah terbentuk.
Pada titik ini lah 'kebobolan' atas virus varian baru dikhawatirkan dapat memicu lonjakan kasus yang buruk, terutama di saat mobilitas masyarakat juga tengah tinggi akibat libur akhir tahun.
"Kalau yang menyerang itu varian baru yang tidak dikenali oleh antibodi kita saat ini, bubar. Varian baru itu kita kan belum tahu persis. Itu yang dikhawatirkan membuat situasi rusak lagi," kata Windhu kepada BBC Indonesia.
Epidemiolog asal Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan cakupan vaksinasi yang masih rendah ditambah penerapan protokol kesehatan serta pelacakan kasus yang melemah sudah cukup membuat Indonesia berpotensi mengalami lonjakan kasus gelombang ketiga apabila mobilitas masyarakat tidak dibendung.
"Potensi gelombang ketiga bisa terjadi, besar kemungkinan terjadi. Tetapi kalau bicara besarannya, tingkat keseriusannya, dampaknya, ini tidak akan seperti gelombang kedua," ujar Dicky,
Namun, senada dengan Windhu, Dicky berpendapat situasi bisa menjadi lebih buruk apabila muncul varian super yang lebih menular dibanding Delta.
Menurut dia, kemunculan varian Omicron yang masih dipelajari lebih lanjut oleh para peneliti akan membuat situasi pandemi di dunia, termasuk Indonesia, menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi.
"Sekarang ceritanya agak lain, kita harus melihat perkembangan dua sampai empat minggu ke depan terkait Omicron ini. Kalau dia lebih infeksius saja, lebih menular, itu sudah tanda buruk karena bisa membebani fasilitas kesehatan," kata Dicky kepada BBC Indonesia.
Dia merekomendasikan agar pemerintah memitigasi risiko ini dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan pengendalian pandemi hingga kuartal pertama 2022.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, meminta pemerintah tidak hanya melakukan pemeriksaan genomik pada pendatang dari luar negeri, namun juga melacak sampel-sampel kasus COVID-19 di dalam negeri untuk memastikan bahwa varian Omicron betul-betul belum masuk ke Indonesia.
"Identifikasi terkait kemunculan Omicron ini harus diidentifikasi dari sampel-sampel yang sudah dikoleksi, dari orang-orang yang sudah terpapar," kata Laura.
"Jangan sampai seperti varian Delta yang sudah menyebar baru kita identifikasi. Dengan kasus yang belum melonjak pun kita harus waspada," lanjut dia.