Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Vasektomi Syarat Bansos? – 'Kalau Mau Berantas Kemiskinan, Perluas Lapangan Kerja dan Tingkatkan Upah'
7 Mei 2025 13:45 WIB
Vasektomi Syarat Bansos? – 'Kalau Mau Berantas Kemiskinan, Perluas Lapangan Kerja dan Tingkatkan Upah'

Vasektomi atau kontrasepsi permanen bagi laki-laki diusulkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi syarat yang harus dipenuhi warga penerima bantuan sosial (bansos) di provinsinya.
Namun para pakar menyebut menekan angka kelahiran tak memiliki hubungan dengan upaya mengatasi kemiskinan. Alih-alih vasektomi, pemerintah didesak memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan upah pekerja.
Apa wacana Dedi yang memicu kontroversi dan bagaimana para akademisi meresponsnya?
Klaim 'tidak ada paksaan'
"Ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek dulu—sudah ber-KB (keluarga berencana) atau belum," kata Dedi di Bandung, 28 April lalu.
"Kalau sudah, boleh terima bantuan. Jika belum KB dulu," ujarnya.
Dedi berencana mengintegrasikan bansos dengan program KB. Alasannya, kata dia, pemerintah tidak semestinya terbebani keluarga yang memiliki banyak anak.
Penerima program bantuan sosial pangan di Jawa Barat mencapai 15,3 juta jiwa pada 2024. Angka itu menurun hampir 7 juta jiwa dari jumlah tahun sebelumnya, menurut data BPS.
Secara nasional, jumlah penerima bansos di Jawa Barat adalah yang paling tinggi.
"Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga," kata Dedi.
"Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan non-tunai keluarga, nanti uang negara mikul di satu keluarga," ujarnya.
Terkait wacana vasektomi ini, Dedi beride memberikan insentif Rp500 ribu untuk laki-laki di Jawa Barat. Dedi berkata, pemerintah tidak akan mewajibkan vasektomi itu.
"Yang penting kesadaran dan tanggung jawab, bukan pemaksaan," ujarnya.
'Serangan sekaligus meminggirkan si miskin'
Menggunakan alat kontrasepsi, apa pun pilihannya, dan siapa pun penerimanya, adalah hak atas kesehatan reproduksi. Ini dikatakan Siti Aminah Tardi, Direktur Indonesian Legal Resource Canter sekaligus Komisioner Komnas Perempuan.
Menurut Siti, setiap individu berhak memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Dia berkata, setiap orang juga memiliki hak menentukan jumlah anak yang mereka inginkan dan kapan akan memiliki anak.
"Seseorang tidak boleh dipaksa untuk menggunakan kontrasepsi atau dihalangi untuk menggunakan kontrasepsi yang dipilihnya," kata Siti.
Menurut Siti, "menukar" vasektomi dengan bansos adalah kebijakan yang menyalahgunakan kerentanan seseorang yang berada dalam kemiskinan.
Menyasar si miskin
Jika betul diterapkan, kebijakan ini akan menjadi sebuah pengucilan sosial, menurut antropolog dari Universitas Indonesia, Irwan Hidayana.
"Kebijakan ini hanya akan menyasar kelompok tertentu, dalam konteks ini yang miskin dan marginal. Ini adalah satu bentuk eksklusi sosial," kata Irwan.
Irwan juga menyebut vasektomi sebagai syarat bansos didasarkan pada asumsi yang tidak keliru.
"Lebih buruknya lagi," kata dia, "kebijakan ini bisa memberi stigma pada si miskin".
"Asumsinya, kalau sudah miskin, ya jangan punya banyak anak, kan?" tutur Irwan.
"Apakah kita punya data yang mendukung argumentasi itu? Apa benar, orang miskin di Indonesia rata-rata anaknya tiga ke atas, empat ke atas. Tunjukin dong datanya," kata Irwan.
Dari mana gagasan 'banyak anak banyak rezeki muncul?
Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan sejarah, terutama di Jawa, menurut Muchtar Habibi, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
"Kenapa penduduk Jawa itu di abad ke-19 naik drastis, itu berlangsung ketika Tanam Paksa. Ada kondisi sosial dan struktural yang memaksa mereka untuk beranak-pinak lebih banyak—Tanam Paksa itu membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak," ujar Muchtar.
Artinya, menurut Muchtar, memiliki anak banyak tidak muncul dari sebuah pilihan bebas. "Kalau dikasih pilihan, orang nggak mau punya anak banyak," tuturnya.
Tanam Paksa alias Cultuurstelsel adalah sistem kebijakan ekonomi pemerintah kolonial Belanda yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada abad ke-19.
Van den Bosch membuat proyek itu untuk menambal kas kerajaan Belanda yang boncos akibat Perang Jawa.
Pada kurun 1830 hingga 1870, masyarakat agrikultur di Jawa diwajibkan mengalokasikan 20 persen lahannya untuk berbagai tanaman komoditas yang bisa dijual di pasar.
Muchtar lalu merujuk periode 1960 hingga 1970-an. Ketimbang era itu, pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini disebutnya sudah menurun drastis.
"Dulu orang punya anak bisa sampai 11 orang. Sekarang orang punya anak 3 atau 4 saja dianggap banyak. Makanya relatif 'kan?" ujar Muchtar.
Program pengendalian penduduk ala Orba
Menurut data BPS, laju pertumbuhan Indonesia di dekade 1970-an mencapai 2,33%. Setelah serangkaian program Keluarga Berencana yang digagas Orde Baru, persentase itu turun hingga 1,44% pada 1990-an.
Awalnya program Keluarga Berencana ditolak masyarakat, terutama dari komunitas keagamaan, kata Adi Sasongko, dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
"Mereka melihat itu sebagai perubahan permanen pada tubuh dan itu dilarang, menurut tafsiran mereka," ujar Adi. Dalam isu vasektomi, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat, Rahmat Syafei, baru-baru ini menyebut mekanisme medis itu "sangat tidak diperbolehkan".
Pada era Keluarga Berencana, target yang disasar pemerintah adalah perempuan. Alasannya, kata Adi, saat itu mayoritas kontrasepsi yang tersedia untuk perempuan. Opsi untuk laki-laki hanyalah kondom dan vasektomi.
Adi berkata, dalam pelaksanaannya, para pejabat di tingkat daerah 'berlomba-lomba' meningkatkan jumlah akseptor peserta Keluarga Berencana. Fenomena itu disebutnya tak lepas dari kepesertaan Keluarga Berencana sebagai indikator keberhasilan pejabat daerah.
"Dari gubernur sampai wali kota, kalau enggak sukses program Keluarga Berencananya, mungkin diganti atau tidak diperpanjang," ujar Adi.
Apakah bansos berbasis vasektomi bisa mengentaskan kemiskinan?
Wacana yang dimiliki Dedi berbasis asumsi bahwa bansos mampu mengentaskan kemiskinan. Pemikiran itu disebut antropolog Irwan Hidayana, tidak meyakinkan.
"Asumsinya kalau orang miskin berhenti memproduksi anak, perekonomiannya akan membaik. Saya tidak yakin dengan pemikiran itu, apalagi bansos itu bantuan jangka pendek," ujar Irwan.
"Jadi untuk mengentaskan kemiskinan bikinlah lapangan pekerjaan," tuturnya.
Menurut Muchtar Habibi, sektor formal selama ini tak mampu untuk menyerap seluruh tenaga kerja produktif. Dia berkata, perekonomian Indonesia justru banyak secara masif digerakkan sektor informal.
Persoalannya, kata Muchtar, para pekerja di sektor informal tidak memiliki jaminan pensiun untuk masa tua.
Berangkat dari permasalahan itu, Muchtar bilang bahwa strategi paling masuk akal yang dimiliki para pekerja itu adalah menjadikan anak-anak mereka sebagai "investasi" di masa tuanya.
"Karena negara tak bisa diandalkan," kata Muchtar.
Apa alternatif kebijakan yang bisa diterapkan?
Alih-alih meluncurkan strategi kontroversial ini, sejumlah strategi jangka pendek dan jangka panjang disebut bisa mengatasi pertumbuhan penduduk dan masalah kemiskinan yang menahun.
Siti Aminah Tardi mengusulkan agar para pejabat membangun kesadaran warga tentang perencanaan kehamilan. Menyediakan alat kontrasepsi yang mudah diakses secara cuma-Cuma disebutnya juga krusial.
Meski trennya terus menurun, menurut data BPS jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih jadi terbanyak yang kedua di Indonesia. Jumlahnya mencapai 7,49 persen atau sekitar 3,89 juta orang.
Di Jawa Barat, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat adalah yang terbesar di Indonesia. Angkanya mencapai 6,75 persen dari total angkatan kerja, menurut BPS.
"Penduduk muda yang banyak ini, dalam 10 tahun ke depan mau diapakan? Kalau tidak diserap ke lapangan kerja dan menganggur akan terjadi guncangan sosial," kata Muchtar Habibi.
Bonus demografi yang kerap diglorifikasi politisi menurut Muchtar justru akan berbalik menjadi kerugian.
"Kalau tidak ada industrialisasi yang masif, sudah pasti yang terjadi bukan bonus, tapi bom demografi," tuturnya.
Namun Muchtar menekankan industrialisasi yang dia maksud tidak sama dengan hilirisasi—istilah yang kerap digaungkan pemerintah belakangan ini.
"Hilirisasi cuma menambah nilai tambah di satu sektor cabang industri. Sementara industrialisasi harus memperhatikan transformasi ekonomi di seluruh sektor, seperti pertanian, manufaktur, dan jasa," ujarnya.
Muchtar menilai sektor pertanian perlu mendapatkan prioritas pemerintah. Merujuk sejarah, kata dia, semua negara yang berhasil melakukan industrialisasi memulainya dengan perombakan tata kepemilikan tanah di pedesaan.
"Tidak ada industrialisasi tanpa reforma agraria," ujarnya.
Muchtar menilai, kepemilikan tanah untuk petani kecil akan meningkatkan daya beli warga pedesaan secara langsung. Daya beli yang meningkat, kata dia, bisa mendorong permintaan barang-barang dari cabang industri yang lain.
Opsi lainnya adalah meningkatkan upah pekerja, kata Habib.
"Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sejak dulu melaporkan upah pekerja di Indonesia di bawah produktivitasnya," tuturnya.
"Sudah waktunya upah pekerja disesuaikan dengan produktivitas, bukan mengandalkan formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi," kata Muchtar.
Reportase oleh Hilman Handoni