Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
Konten Media Partner
Warga Klaten 'Memanen' Hujan untuk Mitigasi Krisis Air
25 Februari 2025 7:10 WIB
Warga Klaten 'Memanen' Hujan untuk Mitigasi Krisis Air
Warga di Klaten, Jawa Tengah, secara turun-temurun menggunakan air hujan untuk minum dan kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka, air hujan adalah anugerah dan solusi kebutuhan air saat musim kemarau. Seorang ahli memandang air hujan bisa menjawab bencana krisis air bersih di Indonesia.
Hujan deras membasahi genteng rumah Antonius Sunarno, warga Desa Bandungan, yang terletak di sisi tenggara lereng Gunung Merapi di Klaten, Jawa Tengah, pertengahan Januari silam.
Tetes demi tetes air yang jatuh ke genteng lalu mengalir lewat talang, menuju bak penampungan air yang disiapkan pria berusia 65 tahun itu di belakang rumahnya.
Curah hujan yang turun di hari itu sangat tinggi, dengan durasi satu jam lebih.
Derasnya hujan membuat aliran air dari talang bisa mengucur deras ke bak penampungan Mbah Sunar—panggilan akrabnya—yang berukuran 5 meter dan 2,5 meter, dengan kedalaman 3 meter.
Begitulah cara sederhana Mbah Sunar memanen air hujan.
Air hujan tangkapannya ini ia gunakan untuk minum dan kebutuhan air lainnya, seperti mandi, mencuci, dan untuk minum ternak.
Hal ini sudah berjalan sangat lama dan menjadi kebiasaan secara turun-temurun dalam keluarganya.
"Sejak nenek moyang, simbah buyut saya itu juga menggunakan air hujan," ujarnya kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Januari lalu.
Bagi Mbah Sunar, musim hujan seperti sekarang adalah masa panen hujan dan biasanya bak penampungan air hujan di pekarangan rumahnya selalu terisi penuh.
"Kalau penuh, bisa bertahan empat sampai lima bulan," katanya sambil menunjukkan bak penampungan air miliknya yang hampir terisi penuh.
Dengan begitu, dia tidak terlalu khawatir dengan persediaan airnya jika musim kemarau tiba.
Dari bak penampungan itu, air dipompa menggunakan pompa air listrik untuk dialirkan ke kran di dapur, kamar mandi, dan di depan rumah.
Air hujan yang ditampung Mbah Sunar tak hanya dinikmati sendiri oleh keluarganya, namun dia bagi ke tiga keluarga lain di sekitar rumahnya.
Mbah Sunar bukan satu-satunya warga yang "memanen air hujan". Hampir seluruh warga desa menggunakan air hujan seperti Mbah Sunar.
Dari sinilah lahir komunitas Kandang Udan dengan Mbah Sunar sebagai ketuanya.
"Karena warga sini memang semua menggunakan air hujan," katanya sambil tersenyum.
Dalam bahasa Indonesia, Kandang Udan artinya tempat untuk menampung dan memelihara air hujan.
Mengapa warga 'memanen' dan mengonsumsi air hujan?
Dukuh Jarakan tempat Mbah Sunar tinggal terletak di sisi tenggara Gunung Merapi.
Jika ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 15 kilometer dari puncak gunung berapi aktif tersebut.
Banyak tanaman buah seperti pohon rambutan, durian, nangka, alpukat dan kelapa, tumbuh subur.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Di pekarangan depan rumah Mbah Sunar, pohon durian dan alpukat miliknya sudah berbuah.
"Kalau dilihat dengan tanaman itu, dikira banyak air. Tapi tidak ada sumber air di sini," kata Mbah Sunar.
"Sudah sejak dulu, tidak ada," imbuhnya, berusaha meyakinkan.
Ketiadaan sumber air di kampungnya, menjadi alasan warga memanfaatkan air hujan untuk konsumsi dan kebutuhan sehari-hari.
Di Dukuh Bunder yang berdekatan dengan Dukuh Jarakan, juga tak ada warga yang memiliki sumber mata iar, sehingga mereka pun memanen air hujan.
"Sejak saya lahir sudah menggunakan air hujan," kata Agustinus Gunawan (53), warga Dukuh Bunder.
Dia menceritakan dulu kakeknya pernah mencoba membuat sumur gali di rumahnya. Namun usaha itu gagal.
"Sudah mencapai kedalaman 60 meter, belum dapat air. Lalu yang menggali pas mau naik, talinya putus dan penggalian dihentikan," kata Gunawan.
"Jadi sampai sekarang warga Bunder menggunakan air hujan," imbuhnya.
Di Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ada sekitar 300-an Kepala Keluarga (KK) yang memanfaatkan air hujan untuk konsumsi dan kebutuhan harian. Mereka ada di Dukuh Jarakan, dan Dukuh Bunder.
Romo Vincentius Kirjito, yang pernah melakukan penelitian air di sisi tenggara Merapi, mengungkapkan bahwa wilayah yang menjadi tempat lahirnya Kandang Udan adalah wilayah Pra-Merapi atau biasa disebut kawasan Merapi Purba. Umurnya kurang lebih 700.000 tahun.
Pria berusia 72 tahun itu mengatakan kawasan Merapi Purba terbentuk dari aliran lava andesit-basaltik. Pori-pori batuannya sangat padat, rapat, dan keras.
Baca juga:
Menurut Romo Kirjito, air hujan tidak tersimpan di dalamnya. Itulah mengapa di Dukuh Jarakan dan Bunder, meski terlihat banyak tanaman yang tumbuh, namun warga tidak pernah berhasil ketika menggali sumur.
"Hanya lewat saja di sela-sela lempeng batu purba itu," ujarnya.
Kondisi ini berbeda dengan wilayah sisi barat dan selatan Gunung Merapi, yakni di Magelang, Jawa Tengah dan Sleman,Yogyakarta, yang berusia 2.000 tahun dan terbentuk dari aliran piroklastik.
Di dua wilayah itu ditemukan mata air, bahkan di ketinggian 1.200 mdpl.
"Seperti di Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, ada lebih dari 500 sumber mata air," kata Romo Kirjito yang pernah melakukan penelitian di wilayah itu pada 2002.
Menurut Romo Kirjito, masyarakat di tiga kecamatan: Jatinom, Kemalang, dan Karangnongko, hampir semuanya memiliki bak penampungan air.
Khususnya di Dukuh Jarakan dan Bunder, bak penampungan air masih berperan penting dalam kehidupan mereka, karena untuk menampung air hujan.
"Itu semua pakai air hujan, semua punya tampungan. Ada yang besar, ada yang kecil, tergantung biaya," kata Romo Kirjito.
Apa arti air hujan bagi ibu-ibu rumah tangga di sana?
Kehidupan ibu-ibu rumah tangga di Dukuh Bunder, tidak bisa lepas dari air hujan. Salah satu dari mereka adalah Giyatun.
Ibu rumah tangga berusia 31 tahun ini setiap hari selalu menggunakan air hujan untuk masak dan minum, bahkan untuk mencuci pakaian dan perabotan rumah tangga, serta mandi.
"Air hujan itu sangat membantu bagi ibu rumah tangga di sini seperti saya," katanya.
Giyatun tak bisa membayangkan jika hujan tidak turun, karena kondisi di kampungnya memang susah air.
Selain Giyatun, ada Yuliana Sunarti. Bagi ibu rumah tangga berusia 43 tahun ini, musim hujan seperti sekarang adalah momen terbaik untuk memanen dan menyimpannya dalam bak penampungan air.
"Kalau ada air hujan, senang karena dapat air," kata Sunarti.
"Air hujan itu kebutuhan pokok warga sini, terutama ibu-ibu rumah tangga," imbuhnya.
Air hujan miliknya tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya saja. Dia harus pandai-pandai mengaturnya, karena dia juga membutuhkannya untuk berjualan dan memberi makan ternak.
Baca juga:
"Kalau persediaan air hujan habis, dan musim kemarau panjang, air harus beli," katanya, sedih.
Untuk membeli satu tangki air berisi dengan kapasitas 5.000 liter, Sunarti harus mengeluarkan uang Rp120 ribu.
Baginya, harga itu tidaklah murah. Namun harus dia keluarkan, karena memang air adalah kebutuhan pokok, dan di kampungnya tidak kesulitan air.
"Di sini kesulitan air, dan masyarakat sini terbiasa menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari," katanya.
Apakah air hujan aman untuk dikonsumsi?
Sekitar 40 kilometer dari Kandang Udan, di Pastoral Sanjaya, Muntilan, Jawa Tengah, Romo Kirjito bereksperimen untuk meneliti air, khususnya air hujan.
Puluhan botol berjajar rapi. Tandon-tandon besar berukuran 225 liter sampai 5.000 liter ada di sana. Rata-rata berisi air hujan.
Penelitian air hujan Romo Kirjito bermula saat dia bertugas sebagai Pastor Katolik di Kebunarum, Kabupaten Klaten.
Saat berkunjung ke Dukuh Jarakan dan Bunder, dia disuguhi minuman yang airnya berasal dari air hujan.
"Karena saya tidak terlahir dari masyarakat yang harus pakai air hujan. Ya, kira-kira mungkin enam bulan, saya kalau dikasih kopi tidak saya habiskan," kenang Romo Kirjito pada peristiwa 14 tahun silam.
Saat itu, Romo Kirjito belum tahu, mengapa di lereng Merapi sisi tenggara tidak ada sumber mata air, padahal di lereng sisi barat ia pernah menemukan lebih dari 500 sumber. Dia lantas menelitinya.
Dia pun ingin melihat kualitas air hujan, karena warga di Dukuh Bunder dan Jarakan tidak ada yang sakit meski sudah mengonsumsi air hujan secara turun-temurun.
"Karena saya terbiasa meneliti air, maka saya teliti," kenangnya.
Mulanya, Romo Kirjito meneliti air hujan yang dikonsumsi Mbah Sunar dan warga lainnya dengan alat ukur sederhana Total Dissolved Solid (TDS), untuk mengetahui zat yang terlarut dalam air dan alat pengukur Potency of Hydrogen (PH).
Hasilnya, TDS air hujan rendah, tidak sampai melebihi 50. Berbeda dengan daerah lain yang menggunakan air tanah, TDS mencapai 90 bahkan 100.
"Wah [air hujan] ini air bagus," ujarnya.
Romo Kirjito kemudian mengajak warga mengukur berbagai kadar air menggunakan alat ukur TDS, dan pH. Katanya, alat-alat itu untuk mengukur kandungan keasaman, asam atau basa.
Tidak hanya meneliti, Romo Kirjito juga mendesainkan alat sederhana bagi warga untuk proses elektorlisis atau ionisasi dengan mengalirkan energi listrik ke dalam air.
Hampir semua warga di Dukuh Bunder dan Jarakan, memiliki alat ini.
Bentuknya dua bejana yang saling tersambung, dan keduanya diisi air hujan.
Dua bejana tersebut dialiri Listrik, yang satu bejana aliran positif, lainnya aliran negatif.
"Kami menyebutnya air setrum atau ionisasi," kata Santoso, salah satu warga.
Bejana air yang mendapat aliran listrik positif, menghasilkan air asam. Sementara yang mendapat aliran negatif menghasilkan air basa, atau biasa disebut air alkali.
Air basa inilah yang diminum, karena termasuk air alkali yang memiliki banyak manfaat kesehatan.
"Ini kadar PH-nya lebih tinggi, bisa 10," kata Budi Santoso sambil menunjuk bejana negatif miliknya yang berisi air hujan setrum.
"Ini yang biasa saya minum," imbuhnya.
Sementara air asam atau yang mendapatkan aliran listrik positif, menurut Santoso, warga biasa menggunakannya untuk mengobati luka gores atau untuk menyiram tanaman.
"Terus terang saya lebih percaya diri," kata Santoso.
"Karena saya bisa bercerita kepada siapa saja tentang kandungan air hujan, manfaat, dan kami telah membuktikan," imbuhnya.
Harapan Romo Kirjito sebetulnya sederhana, masyarakat Dukuh Jarakan dan Bunder yang telah merawat budaya air hujan, tak perlu malu, apalagi membeli air kemasan yang kualitasnya jauh di banding air hujan.
Air hujan adalah air berkualitas dan murah, tanpa harus membeli.
Kata Romo Kirjito, teknologi alat elektorlisa menjadi cara bagi warga mendapatkan kemandirian air minum yang berkualitas.
"Mudah, murah, mandiri, dan terbukti, M3T," kata Romo Kirjito tentang misinya meneliti air.
"Semua sudah bayar, tinggal air yang bisa kita olah sendiri dengan mudah, murah, mandiri, dan terbukti,"
Semua masyarakat pun bisa menerapkan energi elektrolisa secara sederhana.
Di sisi lain, Romo Kirjito juga menyederhanakan alat setrum untuk meningkatkan kadar kualitas air. Yang dulunya dua bejana berisi air hujan, kini cukup satu gelas air hujan.
"Saya sederhanakan menjadi ini," ujarnya sambil menunjukkan alat setrum karyanya.
"Maksud saya supaya mudah ditiru, dan semua bisa mandiri air," imbuhnya.
Benarkah air hujan aman dan layak konsumsi?
Jauh dari tempat Kandang Udan, di sebuah gedung Teaching Industry Learning Center (TILC) Sekolah Vokasi UGM, Profesor Agus Maryono melakukan diskusi tentang air.
"Air hujan layak dikonsumsi dan layak minum," kata Maryono, menjawab dengan tegas tentang keamanan dan kelayakan air hujan untuk dikonsumsi.
Jawaban Profesor di bidang sumber daya air ini, merupakan respons hasil penelitian Ian Cousins yang dipublikasikan di jurnal Environmental Science & Technology, pada Agustus 2022.
Cousins yang juga seorang Profesor di Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Stockholm, menemukan bahwa air hujan di sebagian besar lokasi di bumi, mengandung polusi kimia yang berbahaya, yakni per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS), atau biasa disebut zat kimia abadi.
Cousins khawatir PFAS dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti kanker, dan menurunnya daya tahan tubuh pada anak-anak.
"Tidak apa-apa. Tidak perlu takut. Karena seluruh unsurnya itu masuk standar," kata Maryono yang juga menjadi Dekan Sekolah Vokasi UGM.
Sejak 2014 hingga kini, Maryono telah melakukan penelitian air hujan di 50 titik di Indonesia.
Dari semua hasil penelitiannya, kualitasnya baik semua. Mulai dari kandungan sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi, semuanya masuk.
Sifat fisika air hujan, menurut profesor yang juga telah dikukuhkan sebagai guru besar UGM pada Januari tahun lalu, memenuhi standar dan layak konsumsi.
Mulai dari bau, rasa, warna, dan total sedimen terlarut. Bahkan jauh lebih baik daripada air standar.
Adapun kadar besi (Fe), sisa khlor (terlarut), dan natrium, menurut Maryono, juga sangat rendah. Bahkan jauh dari batas kadar minimum yang disyaratkan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan (SBMKL) tentang air minum.
Biasanya, kata Maryono, yang ditakutkan dalam air hujan adalah pH—ukuran keasaman atau kebasaan air yang diukur dengan skala 0-14
Menurut Maryono, selama dia meneliti, pH air hujan rata-rata antara 7, yang berarti netral.
Maryono menambahkan, dia tidak mendapatkan kadar air raksa dalam air hujan.
"Saya meneliti 21 elemen sifat kimianya, semua masuk," kata Maryono.
Baca juga:
Kandungan bakteri dalam air hujan, klaim Maryono, "sangat minimal sekali".
Dia mencontohkan, bakteri coliform hanya 2 atau 10. Bisa jadi, menurutnya, penyebabnya lantaran air hujan terkena debu atap rumah atau genteng.
"Sementara air sumur kita itu 400, 500, air sungai mungkin bisa 2.000," jelas Maryono.
Meski bakteri coliform dalam air hujan sangat sedikit, Maryono menyarankan agar merebusnya terlebih dahulu sebelum diminum, bisa juga melalui proses elektrolisa atau melalui sinar ultraviolet.
"Agar bakteri coliform-nya mati atau dia tidak aktif," katanya.
"Pengalaman saya, kalau diminum langsung juga tidak apa-apa kan bakteri coliform-nya sedikit sekali," imbuh Maryono yang mengaku meminum air hujan langsung ketika penelitian.
Menurut Maryono, air hujan memenuhi semua standar baku mutu air layak konsumsi yang ditetapkan pemerintah, baik dari segi parameter fisika, kimia, dan biologinya.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023, mengatur parameter atau acuan air yang aman dan layak konsumsi.
Parameternya adalah fisik; mikrobiologi; kimia; radioaktif.
Dan dalam peraturan tersebut, menurut Maryono, Kementerian Kesehatan juga tidak mengatur tentang PFAS atau zat kimia abadi.
"Jadi tidak ada masalah. Air hujan di Indonesia masih di bawah standar WHO. Jadi tidak apa-apa. Dengan itu maka saya yakin kualitas air hujan kita masih baik," kata Maryono.
Pun merujuk ke Permenkes itu, menurut Maryono, ada peluang air hujan menjadi salah satu sumber air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk minum.
Caranya dengan melakukan rekayasa lingkungan untuk melindungi sumber air dan peningkatan kualtias air
Merujuk data parameter Permenkes tentang kualitas air minum, kandungan air hujan masuk standar.
Seperti untuk pH yang masih di bawah ukuran maksimum, bahkan kadar TDS air hujan yang kadarnya juga terpaut jauh batas maksimum.
Apakah air hujan bisa menjadi solusi kiris air bersih di Indonesia?
Dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045, tercatat adanya kelangkaan ketersediaan air di sejumlah wilayah di Indonesia, yakni di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
"Sampai dengan 2045, tingkat ketersediaan air di wilayah Jawa, sebagian Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, sudah berada pada tingkat langka atau kritis," isi RPJMN 2025 – 2045.
Sedangkan dalam RPJMN 2020-2024, dijelaskan bahwa krisis air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara meningkat pada 2030.
Proporsi luas wilayah krisis air meningkat dari 6,0% pada tahun 2000 menjadi 9,6% pada tahun 2045.
"Saat ini ketersediaan air sudah tergolong langka hingga kritis di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali," isi RPJMN 2025 – 2045.
Baca juga:
Pada 2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, menjelaskan dalam buku Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045, rata-rata penurunan ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai 439,21 m3/kapita/tahun dan 1.098,08 m3/kapita/tahun di Nusa Tenggara.
Merujuk data tersebut, bencana krisis air merupakan hal yang harus diantisipasi, khususnya bagi penduduk di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Maryono menilai cara masyarakat Dukuh Jarakan dan Bunder di Klaten, Jawa Tengah, bisa menjadi alternatif solusi bagi kelangkaan air bersih di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Dalam perubahan iklim, di mana banyak daerah mulai kering, itu salah satu caranya adalah bagaimana kita mengelola air hujan itu," kata Maryono.
Ketika musim hujan, lanjut Maryono, masyarakat bisa mengumpulkan air hujan sebanyak-banyaknya.
Dan saat musim kemarau tiba, masyarakat tak perlu cemas karena sudah memiliki stok air hujan yang bersih dan layak konsumsi.
Tim cuaca BMKG, dalam buku Climate Outlook BMKG 2025, memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada 2025 akan mengalami curah hujan tahunan kategori normal, berkisar antara 1000 - 5000 mm/tahun.
Beberapa wilayah yang diprediksi berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan yang cukup tinggi, lebih dari 2.500 mm/tahun.
Seperti di wilayah sebagian Sumatra Utara; sebagian besar Sumatra Barat; sebagian Sumatra Selatan; sebagian Jawa Barat; sebagian Jawa Tengah bagian barat; sebagian kecil Jawa Timur; Pulau Sulawesi bagian tengah dan selatan; sebagian Bali; sebagian kecil Nusa Tenggara Timur.
Dan jika dilihat prediksi curah hujan bulanan, di wilayah yang menurut Bappenas akan mengalami krisis air, semua mendapatkan curah hujan dengan intensitas antara sedang hingga tinggi, yakni di Pulau Jawa, Bali, NTT, Sumatera, dan Sulawesi.
Curah hujan yang diprediksi BMKG itu, bagi Maryono adalah peluang yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk menangkap air hujan dan menjadi solusi saat kemarau.
"Kita tangkap semuanya di atap," kata Maryono sambil kedua tangannya direntangkan ke atas, mengilustrasikan menangkap air hujan.
Dalam hitungan Maryono, jika terjadi hujan selama 1 jam, dengan intensitas rata-rata di Indonesia 25 mm per jam. Masyarakat sudah mendapatkan 3,25 meter kubik air, setara 3.250 liter.
Dan jika dalam seminggu terjadi 3 kali hujan, maka masyarakat sudah mendapatkan 9,75 meter kubik air, atau setara dengan 9.750 liter.
"Itu sudah cukup untuk seminggu. Jadi musim hujan sudah oke. Tidak ada masalah," katanya.
Baca juga:
Untuk daerah-daerah yang mengalami musim kemarau, seperti di Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara, Maryono menganjurkan warganya untuk menangkap dan mengumpulkan air hujan sebanyak-banyaknya untuk persediaan musim kemarau.
Sedangkan untuk wilayah sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang biasanya terjadi hujan sepanjang tahun, menurut Maryono cukup memakai penampungan 2 atau 5 meter kubik.
"Itu selamanya tidak perlu beli air," kata Maryono.
"Belum sampai habis, sudah hujan lagi," imbuhnya.
Pilihan memanen air hujan lebih realistis, efektif dan murah, daripada pemerintah melakukan desalinasi untuk menghasilkan air tawar; atau menjernihkan air sungai yang keruh, yang berbiaya mahal.
Toh tak ada salahnya memanen air hujan, karena air hujan bisa dimanfaatkan untuk penghijauan jalan; peternakan; pertanian; dan perikanan.
"Air hujan menjadi satu-satunya alternatif ke depan, karena sungai kita tidak bisa," ujar Maryono.
Bagaimana cara mengelola air hujan secara sederhana?
Maryono mengatakan yang terpenting adalah menangkap air hujan sebelum jatuh di tanah, karena jika sudah jatuh maka kontaminasinya menjadi tinggi.
"Sebelum itulah kita tangkap," kata Maryono.
Bagi masyarakat perkotaan yang tidak punya lahan luas untuk membangun bak penampungan air yang besar di belakang rumah, bisa melakukan cara yang paling sederhana, yakni dengan galon.
Mulut galon, kata Maryono, diberi corong yang telah dilapisi kain bersih sebagai penyaring.
Lalu galon diletakkan di tempat kucuran air hujan yang jatuh dari talang. Setelah penuh, tutup dan simpan. Begitu seterusnya.
Jika punya 100 galon, maka persediaan selama musim kemarau atau sekitar tiga bulan aman.
"Minum sama masak pakai itu. Itu paling sederhana," kata Maryono tentang manajemen air hujan paling sederhana.
Atau bisa dengan membeli tandon air berukuran 1 atau 3 meter kubik lalu air disaring sehingga debu dan daun tidak ikut masuk.
Air yang telah tersaring bisa digunakan untuk masak dan minum dan kebutuhan lain. Artinya, semakin besar tandon atau tangki air, maka air bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Namun ketika susah mendapatkan tandon atau tangki besar, Maryono menganjurkan untuk meresapkan air ke dalam tanah atau ke sumur.
Air hujan ini, tidak akan ke mana-mana, masih di sekitar area resapan. Dan ketika musim kemarau bisa dipompa lagi.
"Tinggal bagaimana kita semaksimal mungkin mengumpulkan air hujan di saat musim hujan," kata Maryono.
Cara sederhana yang dianjurkan Maryono sama seperti yang diterapkan warga komunitas Kandang Udan.
Mbah Sunar pun mengaku manajemen air hujan sangat murah, mudah, dan praktis.
Baca juga:
Warga Bunder dan Jarakan, kata Mbah Sunar, biasa menangkap air hujan langsung dari langit menggunakan atap rumah atau genteng.
Mereka tidak menggunakan alat khusus, sebab menurut Mbah Sunar, lewat genteng malah bisa mendapat air hujan lebih banyak.
Ketika hujan pertama kali setelah musim kemarau, biarkan air hujan membersihkan genteng dari debu-debu dan daun.
Setelah itu, air hujan yang jatuh ke genteng, bisa dialirkan melalui talang-talang atap rumah, dan bisa langsung ke bak penampungan, atau harus melewati penyaringan terlebih dahulu.
Saringannya pun bisa dari kain halus bekas kaos yang masih bagus, atau saringan panjang seperti yang dilakukan Surowo.
Sebelum memanfaatkannya untuk membuat minuman, atau memasak, rebuslah terlebih dahulu.
Namun jika hanya untuk air minum biasa, warga komunitas Kandang Udang cukup melakukan proses elektrolisa atau disetrum dengan aliran listrik DC tanpa direbus.
Cara seperti itu, bagi Mbah Sunar sangat mudah karena bisa dilakukan siapa saja; murah karena suplai air hujan tidak perlu bayar; dan praktis karena tinggal merebus atau melalui proses elektrolisa.
Mbah Sunar lalu mengambil gelas, mengisinya dengan air yang telah melalui proses elektrolisa.
Tak lama gelas Mbah Sunar sudah penuh. Airnya terlihat jernih, dan tidak berbau. Dia lantas meminumnya sampai habis, tak tersisa.
"Segar," katanya singkat.
Senyum Mbah Sunar pun merekah selepas minum.
Ia dan warga komunitas Kandang Udan di Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, adalah bukti bahwa warga bisa berdaya mengelola air hujan.
Warga juga pandai memanfaatkan dan membagi kebutuhan air untuk persediaan musim kemarau.
Mereka menjadi bukti bahwa air hujan aman dan layak konsumsi. Di luar masih ada hujan yang turun, saatnya memanen air hujan untuk konsumsi dan persediaan di musim kemarau nanti.
Reportase oleh Furqon Ulya Himawan.