Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Warga Rempang Peringati Satu Tahun Insiden Penggusuran Paksa – ‘Kami Menolak Relokasi sampai Mati’
7 September 2024 7:45 WIB
Warga Rempang Peringati Satu Tahun Insiden Penggusuran Paksa – ‘Kami Menolak Relokasi sampai Mati’
Satu tahun setelah penggusuran paksa demi pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, masyarakat adat Melayu di Pulau Rempang berkeras melanjutkan perjuangan mereka. Bagi mereka, menjaga kampung adalah harga mati.
Hari Sabtu (07/09) menandai tepat satu tahun insiden bentrokan, gas air mata, pemukulan dan penembakan peluru karet ketika sekitar 1.000 personel aparat keamanan memaksa masuk ke kampung warga untuk melakukan pengukuran tanah di Rempang, Batam, Kepulauan Riau .
Peringatan satu tahun insiden Rempang dilalukan dengan acara ziarah ke makam tua di Lubuk Lanjut, Pasir Panjang, Pulau Rempang, Jumat (06/09). Warga setempat berdoa agar kampung yang menjadi pancang marwah tidak digusur.
Di sisi lain, pemerintah berkukuh tetap melanjutkan PSN demi masuknya investor asing.
Ziarah leluhur
Satu per satu warga menyiram makam-makam tua yang terdapat di Lubuk Lanjut, Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Jumat, 6 September 2024.
Makam tua itu ditandai dengan adanya batu nisan di bagian kepala dan kaki kuburan.
Makam tersebar tidak beraturan, bahkan terdapat di bawah akar pohon are yang besar dan menjulang tinggi. Pohon ini diyakini sudah tumbuh ratusan tahun, lingkaran batangnya sekitar tiga kali pelukan orang dewasa.
“Ini menandakan makam nenek moyang kami ini sudah ada bahkan sebelum pohon besar ini ada,” kata Muhammad Sani, 64 tahun, salah seorang tetua Pulau Rempang kepada wartawan Yogi Eka Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (06/09).
Selain mendoakan leluhur, ziarah ke makam tua merupakan upaya warga untuk menunjukkan bahwa pulau yang mereka tinggal bukanlah pulau kosong.
Sani menceritakan kampung tua ini membuktikan warga sudah tinggal delapan keturunan di kawasan tersebut.
“Inilah Rempang benteng kerajaan Riau Lingga,” tegasnya.
Dia kemudian memimpin doa bersama warga yang turut berziarah. Doa berlangsung khidmat di antara makam dan di bawah rindangnya pohon tua dan pohon-pohon lain di sekelilingnya.
“Mari kita berdoa, agar orang-orang tidak menggusur kampung kite, kepada arwah datuk nenek moyang kita, kabulkanlah semua hajat doa kite ini,” kata Sani memimpin doa.
Sambil menadah tangan, isak tangis beberapa warga tak terbendung kala Sani merapal doa. Tidak hanya tetua, beberapa anak-anak juga larut dalam doa.
Sani bilang makam tua seperti di Lubuk Lanjut tidak hanya satu di Pulau Rempang, tetapi terdapat di beberapa tempat seperti di Gobah dan Sembulang Tanjung.
Makam ini adalah pancang marwah masyarakat Melayu di Rempang, kata Sani.
“Kalau disebutkan pepatah melayu, berpancang amanah, bersauh marwah, inilah [makam nenek moyang] pancang kita, jadi kita anak cucu wajib menjaga,” kata Sani.
Baca juga:
‘Begitu sadis kejadian itu, kami akan mengenang setiap tahun’
Sani tak menyangka tindakan represi yang dialami para leluhurnya ketika masa penjajahan kembali dialami warga Rempang pada 7 September 2024 silam di Jembatan 4 Tanjung Kertang, Pulau Rempang.
“Kami menyangka [penjajahan] di masa datuk nenek kami yang terakhir, ternyata masih terjadi, disini lah terharunya kami,” kata Sani.
Salah satu perempuan warga Rempang, Siti Hawa, mengungkapkan apa yang membedakan penjajahan pada masa lalu dan kini.
“Dulu nenek moyang berlawanan dengan penjajah Belanda. Sekarang pemerintah yang menjajah kita," kata perempuan paruh baya yang akrab disapa Nek Hawe tersebut.
Di usia senjanya, Hawa mengaku akan tetap berjuang menolak relokasi kampungnya demi Rempang Eco City. Bahkan, satu tahun setelah insiden Rempang, tekadnya semakin kuat untuk melawan relokasi.
“Kalau kita menyerah, banyak menjadi korban [di] laut dan darat,” katanya.
"Setiap tahun itu akan kami ingat, tidak akan lupa," tegas Hawa.
Senada, warga Rempang lainnya, Miswadi, mengaku tak akan pernah melupakan insiden yang terjadi setahun lalu yang “sangat memiris hati”.
“Orang kami ditembak gas air mata, ada yang [kena] peluru karet, anak didik kami [yang] sekolah di Tanjung Kertang ditembak dengan gas air mata, ada yang pingsan dan sesak nafas,” ungkap Miswadi.
Sayangnya, satu tahun setelah insiden tersebut, warga Rempang tidak mendapat keadilan atas perlakuan yang mereka alami, kata Miswadi.
Maka dari itu, dia mendesak pihak berwajib untuk menyelidiki dan melakukan proses hukum dengan seadil-adilnya.
Insiden satu tahun lalu, lanjutnya, telah membuat delapan warga Rempang ditangkap aparat polisi.
“Tidak hanya ditangkap tetapi juga diseret dan dipijak, begitu sadisnya kejadian waktu itu, kami akan mengenang setiap tahunnya,” kata dia.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, Boy Even Sembiring, mengatakan saat ini tidak ada komitmen serius negara untuk meminta maaf atas pelanggaran serius yang terjadi di Jembatan 4 Pulau Rempang pada 7 September 2023.
“Enggak ada upaya serius pemerintah untuk memastikan jelang satu bulan berakhir masa pemerintahan Joko Widodo untuk berjanji menjadikan Rempang Kampung Tua,” kata Boy via sambungan telepon.
Di sisi lain, kata Boy, pemerintah tak kunjung melakukan proses hukum terhadap mereka yang melanggar HAM dan hak masyarakat adat.
“Terkait perizinan, tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya serius menghukum,” katanya.
Ia melanjutkan, beragam persoalan tersebut tidak membuat pemerintah melakukan koreksi diri atas kebijakan mereka yang buruk dan mengancam keberadaan masyarakat adat di Rempang.
“Kita berharap negara segera membatalkan proyek ini, kalau lihat sengat minor masyarakat yang setuju, apalagi ada indikasi pemalsuan data warga yang terdampak, ini seharusnya menjadi refleksi kuat bagi negara untuk pemulihan hak masyarakat adat Rempang,” katanya.
Pemerintah tetap lanjutkan PSN Rempang
Dua pekan sebelumnya, Menteri Koordinator dan Perekonomian Airlangga Hartanto meresmikan delapan perusahaan asing baru yang salah satunya akan membangun pabrik di PSN Galang—pulau di sebelah Pulau Rempang—pada Senin (26/09).
Saat itu, Airlangga memberitahukan perkembangan pembangunan PSN Rempang Eco City yang saat ini—yang menunjukkan bahwa pemerintah tetap melanjutkan proyek ini terlepas insiden yang terjadi setahun lalu.
“Hampir semua regulasi sudah diperbaharui, harapannya segera bisa direalisasikan," kata Airlangga saat konferensi pers.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menambahkan bahwa relokasi warga ke rumah relokasi di Kampung Tanjung Banun, Pulau Rempang, dimulai pada awal September.
“Pemindahan akan kita lakukan bertahap, rumah (relokasi) sudah jadi, listrik sudah, air sudah, kita kawal terus,” katanya.
Dia mengatakan bahwa pemerintah akan melengkapi semua kebutuhan warga agar nyaman tinggal di rumah relokasi.
Terkait masih banyaknya warga Rempang yang menolak untuk direlokasi, Susiwijono beralasan bahwa tiap proyek pembangunan memiliki eksternalitas negatif. Meski begitu, pemindahan warga ke rumah relokasi memang terus digesa demi membuktikan bahwa pemerintah menyiapkan sesuatu dengan baik.
"Yang jelas 1 September sudah ada yang direlokasi, kita akan kawal betul, walaupun [yang direlokasi] sedikit,” katanya.
Saat ditanya terkait dugaan bahwa warga yang menerima relokasi bukanlah warga yang terdampak langsung pembangunan PSN Rempang Eco City, dia memastikan bahwa anggotanya di lapangan “sudah bekerja dengan baik”.
Lebih jauh, Susi menegaskan investor utama Rempang Eco City, yaitu Xinyi Group akan tetap lanjut investasi di Rempang.
“Memang sekarang Batam menjadi tujuan investasi asing seperti AS dan China, jadi kita butuh lahan untuk menampung itu,” katanya.
Pernyataan kedua pejabat pemerintah tersebut direspons dingin oleh Boy Even Sembiring dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Alih-alih berhasil membangun Rempang, menurutnya, “pemerintah berhasil menggusur rakyat demi kepentingan investasi China”.
Sementara salah satu warga yang terancam tergusur, berkukuh bahwa menjaga kampung adalah harga mati.
"Kami menolak relokasi sampai mati," ujar Miswadi