Wawancara Sri Sultan HB IX soal Serangan 1 Maret 1945: Siapa Pengagas Serangan?

Konten Media Partner
15 Maret 2022 19:32 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keputusan Presiden tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, yang sempat menyulut polemik, didasarkan kajian atas sekitar 30 karya historiografi seputar peristiwa itu — diantaranya buku 'Gelora Api Revolusi' terbitan BBC Siaran Indonesia dan Gramedia (1986).
Tim sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melakukan kajian guna menuliskan kembali sejarah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 (selanjutnya disingkat SU 1 Maret 1949) secara "otentik dan kredibel".
Mereka menguji secara kritis arsip, foto, kesaksian para tokoh, buku-buku dan artikel seputar SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Hasil kajian inilah, atas permintaan Dinas Kebudayaan DIY, kelak menjadi landasan di balik lahirnya Kepres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Dari sekitar 30 karya historiografi, buku 'Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah' itu dijadikan salah-satu rujukan untuk melacak siapa penggagas serangan itu.
Dalam buku itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX — Menteri Pertahanan Republik Indonesia — untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai penggagas serangan tersebut.
"Pernyataan pertama yang keluar di publik [tentang siapa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949], ya, wawancara dengan BBC Siaran Indonesia," ungkap Sri Margana, ketua tim kajian akademik SU 1 Maret 1949, Rabu (09/03).
"Jadi, itu untuk pertama kali Sri Sultan Hamengku Buwono XI menyatakan kepada publik tentang idenya dalam SU 1 Maret," tambahnya kepada BBC News Indonesia.
Dahulu BBC News Indonesia menggunakan nama BBC Seksi Indonesia dan BBC Siaran Indonesia yang fokus kepada siaran radio.
Buku 'Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah' memuat wawancara BBC Indonesia dengan lebih dari 30 ahli dan pelaku sejarah.
Berbagai wawancara di buku itu, awalnya, disiarkan selama sembilan bulan pada 1985 guna menyambut 40 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Dan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah salah-satu yang diwawancarai. Dalam momen itulah, dia ditanya soal siapa penggagas SU 1 Maret 1949.
Jawaban Sri Sultan berbeda dengan narasi dominan di masa itu yang terkesan seolah-olah serangan itu identik dengan Suharto, presiden Indonesia saat itu.
"Selama Orde Baru, ada kesan seolah-olah SU 1 Maret itu identik dengan Pak Harto saja," kata Margana. Padahal, dalam serangan itu tidak ada peran tunggal atau dominan, ujarnya.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap sejumlah pusat pertahanan Belanda di Yogyakarta merupakan bagian penting sejarah modern Indonesia.
Serangan yang berlangsung selama enam jam di Yogyakarta itu berhasil menunjukkan kembali eksistensi Indonesia ke dunia internasional.
Ketika itu, Yogyakarta — Ibu kota Republik Indonesia — dikuasai Belanda sejak pertengahan Desember 1948, saat mereka menggelar Agresi Militer Kedua.
Melalui momen serangan itulah, PBB kemudian mendesak Belanda untuk berunding kembali dengan Republik Indonesia.
Dan ujungnya, Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949.
Apa pernyataan Sri Sultan Hamengkubowono IX kepada BBC Siaran Indonesia?
Dalam buku itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan dirinya menggagas SU 1 Maret 1949 itu setelah mendengarkan berita radio BBC dan VOA.
Melalui pemberitaan itu, dia menjadi tahu bahwa Dewan Keamanan PBB akan menggelar sidang untuk membicarakan "soal Indonesia".
"Ini yang saya pegang dan lalu menjadi alasan bagi saya, pertama, untuk menaikkan semangat daripada penduduk kembali," ujarnya.
"Kedua, untuk mengadakan sesuatu yang bisa menarik perhatian [dunia internasional]."
Awal Februari 1949, Sri Sultan kemudian mengirim surat kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman di tempat persembunyiannya.
Tujuannya, meminta izin agar supaya diadakan "suatu serangan umum" di siang hari.
"Sudah barang tentu dengan segala resiko yang ada pada suatu serangan," ungkapnya.
Menurutnya, Sudirman menyetujui gagasannya. Sang jenderal kemudian meminta Sri Sultan berhubungan langsung dengan komandan yang bersangkutan, yaitu Kolonel Suharto.
Sri Sultan kemudian bertemu Suharto pada 14 Februari 1949. Mereka semula menentukan serangannya pada 28 Februari, tapi informasi ini "bocor".
"Lalu ditentukan 1 Maret jam enam pagi, kalau sirene berbunyi, dan itu dilakukan. Lalu, terjadi serangan umum," paparnya. Dan "berhasil sekali".
Mereka dapat menduduki kembali Yogyakarta sampai jam tiga, karena satu jam sebelumnya Sri Sultan dkk menerima informasi tank-tank Belanda bergerak dari Magelang ke ibu kota.
"Oleh karena itu saya mengusulkan kepada Pak Harto agar supaya korban jangan terlalu banyak, untuk mengundurkan diri," katanya.
Sri Sultan menganggap serangan itu "sudah cukup untuk menarik perhatian" Dewan Keamanan PBB.
Kejadian itu kemudian disiarkan oleh pemancar Republik Indonesia di [Desa] Playen, Gunung Kidul, ke Bukit Tinggi, ke India dan PBB, katanya.
Dan ternyata, "ini mempunyai suatu pengaruh yang besar sekali, sehingga terjadi keputusan daripada security council [DK PBB] bahwa Republik [Indonesia] harus kembali."
Akibat keputusan itu, "digelar perundingan antara Van Royen dan Roem".
"Dan Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari Bangka tanggal 9 Juli, maka dengan demikian kembali pemerintahan ke Yogya," jelasnya.
'Sinyal siaran BBC Siaran Indonesia diblokir intelijen militer Orba, karena GAP bahas kelahiran PKI'
Sebelum diterbitkan dalam buku, 'Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah' (selanjutnya disingkat GAP) adalah nama program siaran radio BBC Indonesia.
Disiarkan mulai April hingga Desember 1985, siaran ini berupa hasil rekaman wawancara dan naskah tertulis dari beberapa pelaku dan pengamat sejarah.
Penggagas acara GAP adalah Colin Wild (kelahiran 1934 dan meninggal dunia pada 2013), Kepala BBC Seksi Indonesia saat itu.
Dia mengaku tergugah untuk melahirkan acara ini, karena sangat terkesan akan "kesadaran Indonesia mengenai sejarahnya."
"Saya bertanya-tanya apa yang dapat dilakukan BBC Seksi Indonesia untuk memupuk rasa kesadaran akan sejarah tadi," kata Colin Wild, dalam kata pengantar buku itu.
Disiarkan bertepatan dengan ulang tahun Kemerdekaan Indonesia ke-40, yaitu 1985, Colin menyebut acara GAP sebagai "proyek terbesar BBC Seksi Indonesia sejak dibentuk pada 1949."
Peter Carey, sejarawan asal Inggris, kemudian diminta Colin untuk menjadi ko-editor dan ikut menyusun acara GAP.
"Proyek itu sungguh merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya!" kata Peter Carey, dalam tulisan 'Mengenang Colin Wild (1934-2013)' di buku London Calling; Pengalaman Bekerja di BBC (2020).
Pasalnya, Colin bersama tim BBC Seksi Indonesia berhasil mewawancarai banyak tokoh 'raksasa' dalam periode sejarah Indonesia.
Di antaranya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Jenderal Abdul Harus Nasution, hingga mantan Ketua PDRI di Bukitinggi, Syafruddin Prawiranegara.
Redaksi BBC Indonesia tahun 1980 Frans Hardy, Diane Wright, Abdullah Alamudi, Sajoeti Rahman, Nick Nugent (belakang) Agoes Soeyono, Colin Wild, Sue Hullah, Ibrahim (tengah) Sutanto, Inke Maris, Hasan Asjari Oramahi, Iskandar Sukamana dan Irna Sinulingga (depan).
Program ini juga mewawancarai tiga Indonesianis terkemuka, yaitu George McTurnan Kahin, Ben Anderson, serta Ruth T. McVey.
Yang disebut terakhir adalah sejarawati termasyhur tentang kelahiran komunisme di Indonesia.
Dan gara-cara membicarakan tentang PKI, hasil wawancara dengan Ruth T. McVey, sinyal siaran BBC Seksi Indonesia pada 18 Mei 1985 "diblokir oleh intelijen militer Orde Baru," ungkap Peter Carey.
Collin juga melibatkan Indonesianis lainnya, seperti John Legge, Akira Nagazumi, Merle Ricklefs, Anton Lucas, John Ingleson, hingga Harold Crouch.
Salah-satu wartawan dan penyiar BBC Seksi Indonesia yang dikenal berteman akrab dengan Colid Wild adalah Eka Budianta. Dia bertugas di London pada 1988-1991.
Menurut Eka Budianta, siaran dan buku GAR merupakan apa yang disebutnya sebagai salah-satu bukti Colin "sangat mencintai" Indonesia.
"'Gelora Api Revolusi' adalah masterpiece yang diberikan Colin Wild kepada Indonesia," ungkap Eka kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/03).
"Colin itu ingin tahu apa kira-kira yang diperlukan untuk melegitimasi kelahiran bangsa Indonesia. Tidak ada lain kecuali menghimpun saksi-saksi mata yang masih hidup," tambah Eka.
Dan Eka Budianta kemudian teringat ketika buku GAP terbit dan beredar pada 1986, muncul apa yang disebutnya sebagai apresiasi oleh dunia perguruan tinggi, utamanya kalangan sejarawan.
"Saya mendengar, mereka menghormatinya, karena [buku GAP] itu sumber yang baik," ujarnya.
Di masa itu, menurutnya, narasi sejarah yang beredar di masyarakat adalah "versi pemerintah". Sebaliknya, GAP "bukan suara pemerintah", katanya.

Apa buku-buku lain yang dijadikan rujukan tim kajian akademik?

Kembali lagi ke kajian akademik oleh sejumlah sejarawan UGM, Yogyakarta, terkait SU 1 Maret 1949.
Selain merujuk pada buku 'Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah (1986)', tim pengkaji juga menganalisa sekitar 30 buku mengenai serangan itu.
Salah satu informasi penting yang disebut sumber primer adalah buku Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (2011).
Diterbitkan pertama kali pada 1982, buku ini merupakan biografi Sultan Hamengku Buwono IX yang disusun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar dan S.Maimoen.
Menurut penulis, Sultan Hamengku Buwono IX lah pencetus ide Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sejarawan UGM dan ketua tim pengkaji akademik, Sri Margana, membenarkan bahwa buku itu yang pertama mengungkap kesaksian bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah penggagas SU 1 Maret 1949.
"Cuma, naskah itu tidak secara eksplisit disampaikan dalam bukunya, tapi dalam rekaman para penyunting, itu disampaikan.
"Tapi karena itu wawancara yang sifatnya privat, sehingga tidak keluar di publik. Sehingga pernyataan pertama yang keluar ke publik, ya, wawancara dengan BBC Indonesia," kata Sri Margana.
Buku-buku lain yang dianalisa, antara lain, Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya (1991) oleh Seskoad.
"Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri digambarkan sebagai kepala daerah yang mendukung segala strategi yang akan dilakukan oleh Letkol Suharto sebagai Komandan Wehrkreise III," ujar tim pengkaji.
Barulah setelah Reformasi 1998, muncul buku Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta (2000) oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, yang berusaha "memberikan perspektif baru".
"Tim Penulis menjelaskan bahwa mereka tidak hendak melakukan Hagiografi atau mengkultuskan peran seorang tokoh, seperti buku-buku yang telah ada sebelumnya," demikian keterangan dalam naskah akademik.
Sri Margana dan timnnya juga menganalisa beberapa buku lainnya, seperti karya sejarawan George McTurnan Kahin, berjudul Nasionalisme & Revolusi (2013) dan buku karya Julius Pour, Daarstoot Naar Djokja, Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (2010).

'Tidak tonjolkan heroisme satu individu tertentu'

Dan, dalam kesimpulannya, naskah akademik itu menyatakan banyak tokoh, baik sipil atau militer, dan bahkan masyarakat biasa, yang terlibat dalam SU 1 Maret 1949.
Itulah sebabnya, kajian itu menyimpulkan pula peristiwa penting itu tidak bisa direduksi hanya pada sejumlah nama, seperti yang dinarasikan selama Orde Baru.
Hasil kajian ini kemudian menjadi masukan kepada pemerintah pusat yang kemudian menerbitkan Keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Di dalam Kepres itu disebut nama Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman. Tidak ada nama-nama lain, seperti Suharto, Nasution atau lainnya.
Di sinilah kemudian melahirkan polemik, seolah-olah pemerintah menghapus nama Suharto dalam peristiwa itu.
Menkopohukam Mahfud MD mengatakan, nama Suharto dan nama-nama lainnya tetap disebutkan dalam naskah akademik.
Ketua tim kajian akademik, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, mengakui ada peran Suharto dalam serangan itu, sehingga namanya dicantumkan dalam naskah akademik.
"Memang SU 1 Maret 1949 diperintahkan untuk dipimpin oleh Pak Harto. Itu jelas, itu dalam fakta sejarah tak bisa dihapus, dan dalam naskah akdemik dengan tegas kita sebutkan [nama Suharto]," katanya.
Namun demikian, menurutnya, yang lebih penting untuk ditekankan adalah, tidak ada peran tunggal atau dominan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949:
"Kita harus bisa menampilkan historiografi yang demokratis, agar tidak terlalu menonjolkan satu sosok, heroisme satu individu tertentu.
"Tapi harus juga memperlihatkan kontribusi atau kolektivisme masyarakarat," tandas sejarawan UGM, Sri Margana, yang juga ketua tim kajian akademik SU 1 Maret 1949.