Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Jika “Natal” Bukan Hanya Perayaan bagi Umat Kristiani Saja?
6 Januari 2022 19:44 WIB
Tulisan dari Beauty Fortuna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Maaf, kami muslim, kami tidak mengucapkan ucapan selamat hari raya bagi umat kristen,” ujar seorang pengguna akun media sosial Instagram melalui unggahan Instagram Story-nya.
ADVERTISEMENT
Lagu lama. Ungkapan tersebut seperti sudah dijadwalkan setiap tahunnya untuk muncul pada waktunya, terutama ketika Natal. Tidak paham mengapa hal tersebut kian menjadi perdebatan saja, padahal sudah bertahun-tahun berlalu dan berlangsung, apa orang tidak bosan? Lebih tepatnya, apa orang tidak bisa membiarkan orang lain untuk berekspresi, yang di dalamnya termasuk pula untuk kebebasan mengucapkan ucapan selamat hari raya keagamaan suatu agama tertentu?
Selayaknya ketika kita ingin dihormati dalam mengambil keputusan, maka sebijaknya juga kita harus menghormati keputusan yang diambil oleh orang lain. Maka, jika bertemu dengan ungkapan seseorang yang berbeda, lebih baik Anda diam atau tidak usah mengindahkannya sama sekali. Keputusan yang diambil orang lain pasti tidak hanya berdasar pada hal-hal yang sepele saja, namun dapat menyangkut hal lain yang penting dalam diri mereka, salah satunya mungkin pertimbangan yang dianut dalam kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, munculnya larangan untuk mengucapkan “Selamat Hari Natal” dirasa terlalu brutal bagi saya, berbicara terlepas dari aturan-aturan yang tercantum dalam kitab ataupun ajaran tertentu dalam suatu agama. Saya sempat beberapa kali menelusuri komentar-komentar beberapa orang yang memberikan penjelasan akan mengapa mereka melarang masyarakat untuk mengucapkan “Selamat Hari Natal”. Salah satu garis besarnya adalah, karena dengan mengucapkan ucapan selamat hari raya bagi agama lain (selain yang dianutnya) sama saja dengan mengakui bahwa terdapat Tuhan lain yang disembah selain Tuhan-nya (dalam agama lain). Beberapa bahkan berkata jika mereka dapat mempertanyakan keagamaan seseorang berdasarkan ungkapan tersebut.
Namun, bagaimana jika perayaan hari Natal itu disematkan dalam balutan yang berbeda di dalam hati beberapa orang yang bukan penganut agama Kristen? Tidak ada rasa terancam dalam hati maupun bersalah. Tidak perlu merasa spesial, namun sebatas merasa bahwa rasa saling menghormati dan kebersamaan itu jauh lebih besar ketimbang perasaan takut akan lunturnya iman.
ADVERTISEMENT
Natal selalu hadir dengan pesonanya sendiri. Hari Natal mengingatkan kita pada gemerlap lampu-lampu menyelimuti pohon, nuansa warna emas, merah, dan putih, turunnya salju, suhu yang dingin, fireplace, hingga kehangatan kumpul bersama orang terkasih pasti menjadi sebuah memori tersendiri di dalam benak, meski Anda sendiri belum pernah merasakan berada di tengah perayaan hari Natal sekalipun. Bagaimana memori tersebut tercipta?
Indonesia mengakui beberapa agama yang dianut oleh penduduknya, salah satu agama yang paling banyak dianut adalah agama Islam. Banyaknya mayoritas penganut agama tersebut di Indonesia tak menjadikan negara ini menjadi sebuah “Negara Islam”. Indonesia masih menggunakan Pancasila sebagai landasan negara. Maka dari itu, perayaan hari raya keagamaan lain selain Islam masih terus digaungkan setiap saat, mengingat negara ini merupakan negara yang kaya akan perbedaan budaya.
ADVERTISEMENT
Peringkat kedua dan ketiga agama terbanyak yang dianut oleh penduduk indonesia merupakan Protestan dan Katolik. Maka tentunya tak perlu heran jika banyak gereja-gereja yang didirikan di banyak tempat layaknya masjid. Selain itu, media penyiaran juga berperan untuk mempublikasikan hal-hal yang berbau kristiani (misalnya film bertemakan natal) layaknya media penyiaran menyiarkan acara televisi bertemakan khutbah keislaman.
Lalu apakah hal tersebut merupakan sebuah aksi kristenisasi? Tentu bukan. Perayaan Natal yang dahulu sekali merupakan sebuah acara kumpul publik kian lama berubah menjadi acara kekeluargaan pada awal abad ke-19. Tradisi-tradisi Natal tidak terpaku pada kesaklekan atau sebuah aturan, namun dijalankan sebagaimana suatu keluarga tersebut ingin jalankan, sama halnya dengan momen Lebaran yang dirayakan umat muslim.
ADVERTISEMENT
Mengapa kita tidak dapat menyamakan Natal dengan Lebaran, atau dengan perayaan keagamaan lainnya? Jalani ibadah sesuai dengan kepercayaan tersendiri dan atur batasan-batasan untuk hal tersebut. Perayaan keagamaan yang menimbulkan tenggang rasa seharusnya bukan menjadi bahan perdebatan. Buktinya, banyak dari kita yang saling berkerabat dengan banyak sekali masyarakat dari latar belakang agama yang berbeda bukan?