Bahasa Baku dan Relevansinya dengan Kaum Terdidik

Beauty Fortuna
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
1 November 2021 6:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Beauty Fortuna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi masyarakat Papua  Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat Papua Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Negara Indonesia dikaruniai dengan banyak sekali kebudayaan. Kekayaan budaya yang kita miliki tersebut salah satunya diwakili oleh ragamnya bahasa. Setiap daerah di Indonesia memiliki bahasanya tersendiri, terlepas dari apakah mereka menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari maupun tidak.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, jumlah bahasa di Indonesia berada pada angka 668. Satu tahun setelahnya, tercatat bahwa terdapat 801 macam bahasa di Indonesia. Data yang diperoleh dari Katadata ini menunjukkan bahwa Papua menjadi provinsi dengan bahasa terbanyak, yakni sebanyak 326 bahasa. Dilanjutkan oleh Papua Barat dengan 102 bahasa, NTT dengan 71 bahasa, dan 62 bahasa di Maluku.
Kembali pada kalimat “terlepas apakah mereka (masyarakat) menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari maupun tidak,” yang merupakan sebuah pilihan. Pilihan kepada seseorang untuk memilih bahasa apa yang akan dijadikan sebagai bahasa sehari-hari. Mungkin dasar pemilihan tersebut didorong oleh faktor yang berbeda-beda, semua tergantung pada wilayah dan lingkungan masing-masing.
Ketika seseorang memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, bukan berarti mereka mengesampingkan bahasa daerah asal. Bahasa Indonesia merupakan bahasa komunikasi yang resmi, bahasa yang digunakan para pengajar di sekolah-sekolah, bahasa yang disiarkan di berbagai media seperti televisi, cetak, maupun elektronik, bahasa yang muncul pada penanda atau petunjuk jalan resmi yang kerap ditemui di tempat-tempat umum.
ADVERTISEMENT
Setiap orang harus menguasai Bahasa Indonesia, paling tidak dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dalam sehari-hari. Namun, yang menjadi
Mengapa sebuah tantangan? Bagaimana ceritanya kalau Anda merupakan seorang warga negara Indonesia, namun menulis kata “di mana” saja masih “dimana”? Masih berpikir bahwa hal tersebut merupakan hal wajar karena sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari?
Sama-sama lahir dan besar di Indonesia bukan berarti mendapatkan akses pendidikan bahasa yang merata. Untuk menguasai bahasa yang baik dan benar, seseorang harus memiliki akses belajar yang tersalurkan melalui pendidikan, salah satunya adalah pendidikan sekolah. Hal tersebut yang pada akhirnya membuat seseorang dengan kemampuan bahasa yang baik dikatakan sebagai “Kaum Terdidik”.
Sayangnya, akses pendidikan di negara kita yang tercinta ini masih belum merata, terutama pada kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Kesenjangan yang ada sangat terasa dalam sisi infrastruktur dan sarana penunjang sekolah, terutama pada kondisi pandemi sekarang ini yang mengharuskan adanya pembelajaran jarak jauh. Akses pendidikan terutama bahasa menjadi semakin besar dan rumit tantangannya.
ADVERTISEMENT
Kapan kemampuan bahasa yang dimiliki setiap orang dapat menjadi nilai yang mewakili apakah dirinya merupakan seorang kaum yang terdidik maupun tidak? Bagi saya, kredibilitas seorang pengajar atau seorang ahli dapat dilihat dari bagaimana mereka menulis dan berbahasa. Bukankah tak harus guru Bahasa Indonesia yang dapat menulis kalimat baku? Atau bagaimana seorang ahli yang namanya sudah terkenal dengan karya-karya atau berbagai penelitian, masih kesulitan untuk menulis bahasa yang baku dalam artikel miliknya?
Mungkin kasus bahasa baku dengan para kaum terdidik ini sama dengan opini orang kita yang menganggap orang yang cakap berbahasa inggris = orang yang pintar/cerdas. Padahal mereka sama dengan seluruh orang di dunia ini, memiliki bahasa yang diketahuinya sejak lahir dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin bedanya ketika orang Indonesia yang dapat menggunakan bahasa asing selain Bahasa Indonesia, dianggap kaum pintar karena punya akses terhadap pendidikan bahasa asing yang tidak dimiliki oleh sebagian orang pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Ah tapi, tidak semua orang yang punya akses lengkap terhadap pendidikan sekolah dapat berbahasa baku dengan baik kok. Kembali lagi apakah mereka benar-benar mengamalkan ilmu yang didapatkannya dengan benar atau tidak. Jadi, relevansi antara kaum terdidik dengan kemampuan berbahasa itu didasari oleh pendidikan yang didapat, tapi kaum terdidik (yang menyelesaikan sekolah atau memiliki akses pendidikan yang baik) belum tentu dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.