Konten dari Pengguna

Melawan Persepsi Buruk Mengenai Ajang Kecantikan

Beauty Fortuna
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
31 Mei 2021 16:00 WIB
clock
Diperbarui 8 Juli 2022 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Beauty Fortuna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto via Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto via Unsplash
ADVERTISEMENT
“Belajar saja yang serius! Buat apa ikut-ikutan kontes kayak begitu? Kayak orang nggak bener!"
ADVERTISEMENT
Meski zaman telah berubah, sedikit pola pikir masyarakat yang ikut tergerak dengan pesatnya perkembangan saat ini. Sedari kecil telinga saya akrab akan ceramah dari para tetua yang berbunyi demikian. Masih terus mempertanyakan hal yang sama, mengapa para generasi di atas kita masih menganggap hal yang tidak familiar terjadi pada zamannya, sebagai hal yang negatif?
Saya berbicara mengenai hobi, atau dapat dikatakan sebagai kegiatan "nyeleneh" lainnya. Tidak, kata "nyeleneh" di sini tidak saya umpamakan sebagai hal yang buruk, hanya memperjelas pandangan para generasi tua yang umumnya berpikir seperti itu.
Saya terlahir sebagai perempuan, wajar jika memiliki minat untuk bersolek. Masa kecil Saya dipenuhi oleh imajinasi mengenai seperti apa diri ini pada masa depan. Seorang anak perempuan memiliki cita-cita untuk menjadi seorang model, aktris, pramugari, penari dan bahkan penyanyi sukses adalah hal yang wajar.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, pilihan karier tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah semua orang berhak untuk menentukan kelak dirinya ingin menjadi apa?
Namun beberapa tahun berlalu, ketika diri saya telah menaruh minat yang tinggi dalam industri tersebut, orang tua saya mengubur itu sedalam-dalamnya. Dengan dalih saya nantinya tidak akan fokus menjalani pendidikan yang akan mereka fasilitasi, mimpi dan cita-cita saya rela direnggutnya. Bisa dikatakan, setelah itu diri Saya tumbuh dengan doktrin tidak masuk akal mengenai industri model dan fesyen.
Doktrin tersebut hampir mengubah persepsi saya terhadap kehidupan sejenisnya. Mungkin bagi sebagian orang yang berpola pikir konservatif, model adalah sebuah tubuh tanpa otak, atau kasarnya adalah bimbo. Namun saya tidak pernah menutup diri pada berbagai pandangan, doktrin tersebut tidak membuat saya menjadi orang yang hanya melihat segala seuatu hanya dari satu sisi saja.
ADVERTISEMENT
Keyakinan saya membuahkan hasil ketika saya diharuskan untuk merantau ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan. Tak lama setelah memulai kuliah dan menyesuaikan diri, saya bertemu dengan sosok yang dapat memberikan jawaban atas perasaan dilema yang saya rasakan.
Han namanya, atau Raihan Dwikora. Ia seorang model, barista, dan seorang mahasiswa Hubungan Masyarakat Fikom Unpad angkatan 2019. Badannya jangkung, mudah sekali diciri terutama saat berada di kantin Fikom yang sumpek.
Saya mengenalnya setelah kami tergabung dalam suatu kelompok di salah satu UKM musik milik Fikom Unpad. Saya ingat dirinya selalu mendapatkan dispensasi saat menjalani diklat dan perkuliahan karena sedang mengikuti ajang Mojang Jajaka Kota Bandung tahun 2019 lalu.
Ketika saya memberanikan diri untuk bertanya tentang dunianya yang erat dengan modeling dan ajang kecantikan, saya ditertawakan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ajang Mojang Jajaka tak hanya diisi dengan kegiatan yang mengedepankan keapikan fisik saja, namun pengetahuan seseorang juga diuji. Para peserta diharuskan adaptif dan paham dengan isu terkini, terutama tentang budaya Jawa Barat.
“Seorang Mojang atau Jajaka harus memiliki skills, bisa dengan menari, bermain alat musik, berbahasa, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Menanggapi persepsi buruk tentang dunianya, Han menganggapnya sebagai hal yang wajar.
“Sebagian orang pasti meremehkan pekerjaan seorang model atau orang-orang yang berada di industri (hiburan, fesyen). Namun yang mereka tak sadari adalah apa yang ada di dalamnya,” tambah Han.
Menurutnya, persepsi negatif yang beredar hanyalah sedikit gambaran kehidupan beberapa orang saja. Selama ia hidup dan menjalani kegiatan-kegiatan tersebut, dirinya tidak pernah dihadapkan pada kondisi yang membuat dirinya rugi, dalam arti, hal negatif yang timbul dari konsekuensi pekerjaan yang ia ambil.
ADVERTISEMENT
Dalam ajang tersebut, ia diajarkan oleh para mentor dan senior untuk tak hanya tampil menarik, namun juga menjaga etika dan tata krama. Berbagai hal yang diajarkan tersebut seharusnya dapat dilihat para masyarakat awam bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan opini yang beredar.
Para peserta juga bukan sembarang orang. Mereka bukanlah bimbo atau patung tanpa otak. Anggotanya banyak diisi oleh para mahasiswa yang tersebar di kampus-kampus di Kota Bandung, bahkan mahasiswa kedokteran pun menjadi salah satu pesertanya. Kegiatan yang ditugaskan kepada mereka sering kali melibatkan orang-orang penting dan berpengaruh.
Han mengajak para masyarakat untuk lebih terbuka dan tidak menutup diri pada kehidupan. Jika sesuatu tidak berada pada ranah seseorang, maka bukan berarti hal tersebut adalah sesuatu yang buruk.
ADVERTISEMENT