Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apa itu Green-Islam?
1 Oktober 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Beda Holy Septianno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian pemikir Islam melihat bahwa ‘ecological turn’ dalam paradigma ajaran Islam kontemporer baru muncul dalam Islamic Declaration on Global Climate Change (Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Dunia) di tahun 2015. Tahun yang sama dengan terbitnya ensiklik Laudato Si oleh Paus Fransiskus. Salah satu tema pembahasan pada forum tersebut adalah fakta bahwa ekosistem dan budaya manusia sudah terancam oleh perubahan iklim. Dalam arti ini, hubungan integral antara keimanan Islam dan pelestarian lingkungan mulai mendapat penekanannya di masa-masa sekarang.
Berdasarkan survei yang diinisiasi oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) dengan judul Green Islam Setengah Hati? (Juli, 2024), Islam pada umumnya masih menjadi identitas kolektif untuk melakukan gerakan. Didin Syafruddin, Direktur PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memberi keterangan daring dalam seminar Kader Pemikiran Islam Indonesia (28/9), bahwa terdapat 142 organisasi di Indonesia yang bergerak dengan berinspirasikan Islam. “Meskipun saat ini belum ada peta yang jelas tentang Green-Islam di Indonesia, agama itu sendiri tampak sudah berkorelasi dengan kepeduliaan terhadap lingkungan”, ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Organisasi-organisasi Islam tersebut, yang meliputi ormas, komunitas dan kerjasama sama dengan non-government organisation (NGO), dalam prakteknya diklasifikasi ke dalam tiga tipologi, yaitu konservasionis, kampanye kebijakan dan mobilisator. Di antara ketiga corak gerakan itu, corak yang cenderung bertujuan mengkampanyekan kebijakan jauh lebih banyak dan intens. Dalam konteks Indonesia, aktor-aktor gerakan yang masih sangat signifikan perannya, misalnya adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pertanyaannya, di mana letak ‘setengah hati’ yang dimaksud dalam penelitian PPIM tersebut?
Didin Syafruddin mengungkapkan bahwa di antara Muslim sendiri masih terus terjadi perdebatan dan saling penafsiran tentang sikap atas lingkungan. Menurutnya, di antara Muslim ada yang melihat bahwa pengelolaan pertambangan misalnya, adalah murni untuk dukungan ekonomi dan bukan kehancuran alam. Maka, “apabila kerusakan lingkungan terjadi, itu karena faktor individu, bukan politik dan industri”, katanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai narasumber lain dari diskusi KPII pertemuan ke-IV ini, Dr. Budhy Munawar Rachman, Dosen STF Driyarkara Jakarta, menegaskan bahwa Green Islam adalah paradigma yang ingin mengintegrasikan prinsip-prinsip etis-moral Islam secara berkelanjutan. Menurutnya, apa yang memberi peluang perkembangan konsep green-Islam ini adalah keberadaan etika Islam yang pro lingkungan. Ia menyebut bahwa “kita membutuhkan cara-cara untuk menggabungkan nilai religiositas dengan visi keberlanjutan”.
Sebagai tantangannya saat ini, Budhy Munawar memberi penjelasan tentang adanya ketidaktahuan dan tidak mau tahu, perbedaaan interpretasi agama, serta dinamika politik dan ekonomi dewasa ini. Namun, teologi tanggung jawab dalam perspektif Islam yang mana dan kepedulian macam apa wujudnya, belum muncul dalam diskusi ini.
ADVERTISEMENT