Konten dari Pengguna

Krisis Lingkungan: Dunia Kita Sekarang Ini

Beda Holy Septianno
Beda Holy Septianno adalah mahasiswa filsafat di STF Driyarkara, Jakarta. Menjadi Kontributor cerpen dan puisi untuk Majalah Basis dan beberapa media cetak maupun online.
26 September 2024 11:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Beda Holy Septianno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
ADVERTISEMENT
Konon, merebaknya industri kendaraan listrik adalah langkah efektif dalam menjawab soal krisis lingkungan. Namun, sejumlah pengamat melihat itu adalah ‘solusi palsu’. Selama sumber daya penggerak mobil listrik itu masih bertumpu pada pertambangan Nikel yang de facto membutuhkan pembakaran batu bara dalam jumlah besar dan membuat laut tercemar, maka penanganan krisis lingkungan itu sendiri tinggal sebagai alibi belaka.
ADVERTISEMENT
Inilah ironi yang dihadapi manusia modern, di satu sisi mempunyai imaji soal green-lifestyle dengan memiliki kendaraan listrik, namun di lain sisi masih mengorbankan begitu besar kehancuran alam dari tindakan pertambangan.
Diskusi KPPI-Angkatan IV ini membahas beberapa masalah utama yang menyebabkan krisis lingkungan di Indonesia serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan ekosistem.
Persoalan tersebut menjadi salah satu alasan terselengaranya diskusi Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII). Mengangkat tema-tema Green-Islam, KPPI yang diinisiasi oleh Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina, membuat seri webinar sebanyak 15 kali. Adapun diskusi perdana (7/9/2024) mengusung tema Krisis Lingkungan: Seperti Apa? antroposen Dan Dunia Kita Sekarang Ini .
Dosen Universitas Paramadina, Parid Ridwanudin, menerangkan bahwa kebijakan pertambangan sejatinya telah menjadi problem besar ekosida di Indonesia (bdk. genosida). Kehadiran manusia di muka bumi yang baru setitik dari panjangnya garis waktu keberadaan bumi telah memberi dampak yang sangat krusial.
ADVERTISEMENT
Parid Ridwanudin menyebut bahwa manusia mendorong kehancuran muka bumi. Dalam pemaparannya, Parid Ridwanudin menunjuk kepada konsep kapitalosen, untuk mengatakan bahwa tidak semua manusia adalah kontributor krisis alam karena istilah ini menjelaskan bahwa krisis lingkungan kita dipicu lebih karena kecenderungan kapitalisme, yaitu bagaimana mesin-mesin besar multinasional yang dikendarai kaum elit telah bekerja dengan caranya untuk meraup sumber-sumber daya alam.
Senada dengan itu, Swary Utami, aktivis lingkungan/PCR/ICRP, menerangkan bahwa hal esensial yang menghubungkan masalah krisis lingkungan dengan keadaan dunia saat ini tidak lain adalah gaya hidup (lifestyle). Ia mengajak kita untuk menjawab persoalan mendasar tentang apa yang membuat perubahan iklim terjadi?
Dalam menjawab soal itu, kritik utama terdapat pada tindakan manusia itu sendiri. Menurutnya, gaya hidup tidak ekologis dimulai sejak bergulirnya revolusi industri. Industrialisasi menyebabkan salah satunya masalah pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Seperti kita tahu, situasi dunia kita yang diliputi ketidakteraturan musim, wabah penyakit, kenaikan permukaan air dan banjir adalah sedikit contoh akibat pemanasan global. Keadaan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi manusia karena berdampak buruk bagi banyak pihak, misalnya krisis pangan dan ketersingkiran sejumlah orang dari tempat tinggalnya.
Inspirasi Laudato Si
Ilustrasi gardu listrik PLN. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dalam pengamatan saya, dimensi gaya hidup memang perlu menjadi titik berangkat pertobatan manusia modern. Pertobatan ini melampaui segi-segi keagamaan dan religiositas. Artinya, semua orang pada dasarnya bisa memahami kebersalahannya dan memperlihatkan dalam aksinya suatu pertobatan nyata. Sebagaimana contoh yang diberikan Swary Utami, sejumlah masyarakat adat menghayati aksi menjaga hutan sebagai penghayatan untuk mengendalikan nafsu dan gaya hidup kita.
Sebagai pendasaran teologi islam, Swary Utami mengutip dari Al-A’raf: 56, bahwa “janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa gaya hidup itu pertama-tama harus menyentuh sikap sejati untuk berbuat kebaikan. Visi kebaikan ini kita upayakan dalam langkah konkret tindakan sehari-hari (lifestyle).
ADVERTISEMENT
Swary Utami menyinggung dokumen Laudato Si (terj. Terpujilah Engkau), sebuah ensiklik Paus Fransiskus dalam mengatakan pentingnya pertobatan atas dosa ekologis.
Laudato Si sendiri merupakan tanda keprihatinan dan harapan Paus Fransiskus bahwa umat manusia masih bisa memperbaiki kerusakan alam. Dalam dokumen tersebut, bumi adalah rumah bersama dan bukan sebuah komoditas sepihak. Dengan inspirasi itu, Parid Ridwanudin menegaskan kembali istilah Al-fasad yang sering muncul dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. “Al-fasad berarti destruction, damage, crisis, or corruption done by human being.", ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Kata Al-fasad disebut lebih dari 50 kali dalam Al-Qur’an sebagai bukti haramnya berbuat kerusakan di planet bumi. Ia mengatakan bahwa kerusakan itu disebabkan oleh tangan manusia. Tangan ini menurutnya harus dimengerti sebagai bukan tangan milik semua manusia (melampaui antroposen), tetapi tangan-tangan khusus yang dengan intensi terdalamnya menggunakan instrumen kapital ingin menguasai bumi (kapitalosen).
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir. Foto: Shutterstock/Svet foto
Menolak Calculative Thinking
Dalam buku 21 lessons for the 21st century, Yuval Noah Harari menyebut bahwa kemajuan teknologi saat ini menimbulkan tiga tantangan besar yang dihadapi manusia di bumi ini, yaitu perang nuklir, kehancuran sistem ekologi global dan disrupsi teknologi.
Semua itu menyebabkan munculnya manusia global yang tak berguna karena sudah digantikan kecerdasan buatan berbasis kolonialisme data dan dukungan dari rezim diktator digital. Ringkasnya, teknologi perkembangan AI telah menimbulkan jurang kesenjangan antara negara yang maju dalam teknologi dan mereka yang ketinggalan. Dalam buku yang sama, Harari menawarkan meditasi sebagai tanggapannya akan tiga tantangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tiga tantangan yang disampaikan Harari ini senada dengan perspektif Heidegger (1889-1976), seorang filsuf Jerman. Penulis buku Being and Time (1927) ini menunjukkan suatu “cara berpikir kalkulatif” teknologi yang bisa berimplikasi pada kehancuran total. Heidegger secara jelas sudah melihatnya dalam Perang Dunia I dan perang Dunia II. Sedangkan, mengenai tantangan ketiga yang diajukan Yuval terkait disrupsi teknologi, Heidegger melihatnya dalam kesamarataan manusia dan alam dalam bentuk data-data (objek-angka) semata yang siap dieksploitasi sebagai standing resource.
Diskusi-diskusi seputar masalah lingkungan sebagaimana salah satunya telah diinisiasi oleh forum Kader Pemikir Islam Indonesia menggugat kita pada pertanyaan terdasar: masihkah kita menganggap alam sebagai standing resource?