Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Apakah Manusia Menjadi Tuan atas Alam?
18 Februari 2025 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada tanggal 17 Februari 2025, saya kembali mengikuti kuliah Extension Course STF Driyarkara, Jakarta via online yang kali ini dibawakan oleh Dr. Karlina Supelli dengan tema Manusia: Tuan atas Alam?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan demikian tentu saja mengusik, sebab gagasan bahwa manusia sungguh berdaulat atas alam tampaknya lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan. Dalam kuliah tersebut, diperkenalkan dua tokoh filsafat yang memiliki pengaruh besar terhadap pandangan manusia tentang alam, yaitu Francis Bacon dan René Descartes.
Francis Bacon (1561–1626) dikenal sebagai seorang filsuf, negarawan, dan perintis metode ilmiah berbasis pengamatan empiris. Dalam Britannica.com (2025), Bacon berpendapat bahwa pengetahuan dapat berada dalam jangkauan manusia, yang kemudian memanfaatkan sains dan teknologi guna mengendalikan alam demi kesejahteraan. Baginya, ilmu tidak sekadar wacana spekulatif, melainkan memiliki manfaat praktis bagi masyarakat.
Bacon membayangkan alam dalam kondisi ideal sebagai lingkungan tertata, subur, dan tunduk pada manusia. Akan tetapi akibat dosa asal, keseimbangan hubungan manusia dan alam terganggu, sehingga alam tidak lagi secara sukarela mengungkapkan rahasianya atau memberi hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, manusia perlu menyelidiki alam secara aktif dan sistematis agar dapat memahami serta memanfaatkannya.
ADVERTISEMENT
Prinsip yang Bacon kemukakan dalam Novum Organum menyatakan bahwa alam hanya dapat dikendalikan dengan terlebih dahulu mematuhinya (natura enim non nisi parendo vincitur). Meski hukum-hukum alam tidak dapat diubah, manusia dapat memanfaatkan fenomena alam melalui kepatuhan terhadap prinsip-prinsipnya. Dengan demikian, ilmu dapat dikembangkan melalui eksperimen yang cermat dan sistematis, sebagaimana dijelaskan dalam Advancement of Learning (1605).
Di sisi lain, René Descartes (1596–1650) adalah seorang filsuf dan matematikawan yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Dia menolak pendekatan Scholastik Aristotelian dan memperkenalkan landasan epistemologis baru yang didasarkan pada pernyataan terkenal Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").
Descartes memisahkan secara tegas manusia sebagai subjek berpikir dari alam sebagai objek yang dapat dimanipulasi. Perspektif ini melahirkan pandangan mekanistik terhadap alam, yang dianggap sebagai sistem yang dapat dikendalikan oleh manusia melalui pengetahuan dan metode ilmiah.
Dalam pendekatannya, Descartes mengembangkan metode analitik-deduktif yang meniru cara kerja geometri analitik dan aljabar. Ia merumuskan langkah-langkah pencarian kebenaran melalui: (1) Skeptisisme Metodis, (2) Reduksi Analitik, (3) Penalaran Deduktif, dan (4) Tinjauan Sistematis untuk memastikan keabsahan hasilnya.
ADVERTISEMENT
Baginya, segala sesuatu dipahami berdasarkan ukuran, perhitungan, dan keteraturan sebagaimana dalam matematika. Descartes juga mengusulkan pembagian realitas menjadi dua aspek utama: res cogitans (substansi berpikir, yaitu manusia) dan res extensa (substansi materi, yaitu alam).
Alam, dalam pandangan Descartes, tidak memiliki kualitas intrinsik selain sifat mekanis dan matematis yang dapat dipahami secara objektif. Dengan metode ini, dia percaya bahwa manusia dapat menjadi penguasa alam dan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Meskipun menggunakan metode yang berbeda, baik Bacon maupun Descartes memiliki kemiripan dalam kontribusi terhadap perkembangan metode ilmiah modern. Keduanya sepakat bahwa ilmu pengetahuan digunakan untuk kebaikan manusia dan bahwa alam bukanlah entitas sakral, melainkan sumber daya yang dapat dimanfaatkan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar di antara mereka. Bacon lebih berhati-hati dalam mengusung gagasan penguasaan alam. Ia masih mempertahankan pemahaman bahwa manusia menafsirkan dan mengelola alam dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keinginan menguasai dan kebutuhan untuk tunduk pada hukum-hukum alam.
Sementara itu, Descartes membangun dikotomi tajam antara manusia dan alam, sehingga memberikan legitimasi bagi manusia untuk menjadi Tuan dan Pemilik Alam. Pendekatan ini mempercepat perkembangan sains dan teknologi tetapi juga berisiko menghasilkan eksploitasi alam berlebihan.
Dalam kaitan dengan relasi antara ilmu pengetahuan dan masyarakat, Bacon melihat ilmu sebagai kegiatan rahasia yang dilakukan oleh komunitas ilmiah, dengan hasilnya baru dinikmati oleh masyarakat setelah ilmu berkembang. Descartes, sebaliknya, menganggap ilmu pengetahuan sebagai prajurit bayaran yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, termasuk penguasa.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan filsafat kontemporer, gagasan tentang dominasi manusia atas alam mulai dipertanyakan. Bruno Latour (1947-2022), seorang filsuf sains, menekankan bahwa manusia bukanlah satu-satunya aktor dalam jaringan ekologis dan teknologi.
Sains dan teknologi tidak bekerja dalam ruang hampa yang netral, tetapi merupakan bagian dari sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Dengan demikian, konsep bahwa manusia adalah Tuan atas Alam menjadi semakin problematis.
Dalam perspektif ini, manusia dipandang sebagai bagian dari alam yang saling berinteraksi dalam jaringan yang kompleks. Konsep relasi timbal balik antara manusia dan alam menjadi semakin penting dalam menghadapi tantangan ekologis global, seperti perubahan iklim, krisis biodiversitas, dan eksploitasi sumber daya yang berlebihan.
Pemikiran antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal atas alam perlu digantikan dengan pendekatan yang lebih ekosentris dan berkelanjutan.
Catatan refleksi
ADVERTISEMENT
Dari perspektif historis, gagasan bahwa manusia adalah Tuan atas Alam telah membantu peradaban mencapai kemajuan pesat dalam sains dan teknologi. Kendati demikian, kemajuan ini juga membawa dampak yang tidak selalu positif, termasuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim yang semakin nyata.
Dengan semakin berkembangnya pemahaman akan kompleksitas ekosistem dan ketergantungan manusia pada alam, muncul kesadaran bahwa paradigma penguasaan mutlak atas alam perlu dikaji ulang.
Alih-alih berfokus pada dominasi, paradigma baru yang menekankan harmoni dan keseimbangan antara manusia dan alam semakin relevan. Prinsip keberlanjutan, etika lingkungan, dan tanggung jawab ekologis menjadi bagian integral dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika ilmu pengetahuan modern ingin tetap relevan dan bermanfaat bagi masa depan manusia, maka pendekatan lebih inklusif dan ekologis perlu diadopsi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, pertanyaan Apakah manusia benar-benar tuan atas alam? bukan hanya persoalan filsafat, tetapi juga etika dan kebijakan yang harus dijawab dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab kita terhadap planet bumi ini.