Konten dari Pengguna

Bangunan Pendidikan Kognitif Berdasarkan Perspektif Konstruktivisme

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
23 September 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi melatihkan kemandirian kognitif, sumber: Dok. Strada.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melatihkan kemandirian kognitif, sumber: Dok. Strada.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam dunia pendidikan, konstruktivisme telah menjadi salah satu pendekatan yang berpengaruh dalam membentuk pemahaman kita tentang bagaimana proses belajar terjadi. Dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Jean Piaget, John Dewey, dan Lev Vygotsky, konstruktivisme memandang bahwa proses belajar bukanlah sekadar penerimaan informasi secara pasif, melainkan aktivitas yang kompleks, terintegrasi, dan melibatkan proses menghasilkan pengetahuan oleh siswa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jean Piaget, salah satu tokoh penting dalam psikologi kognitif, mengemukakan konsep schema yang kemudian diadaptasi oleh banyak psikolog pemrosesan informasi. Menurut Piaget (dalam Sackney & Mergel, 2007), setiap individu memiliki struktur kognitif yang membantu mereka dalam mengorganisasi dan mengolah informasi dari lingkungan.
Proses ini tidak hanya bersifat mekanis, melainkan melibatkan transformasi informasi, penyederhanaan, serta penyesuaian informasi terhadap pengalaman dan kerangka berpikir yang sudah dimiliki. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi salah satu fondasi bagi teori pemrosesan informasi, di mana pembelajaran dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan asimilasi dan akomodasi informasi baru ke dalam skema yang ada.
Menurut pandangan konstruktivis, belajar tidak terjadi secara linear dan sekuensial, tetapi melalui proses yang rumit dan terintegrasi. Konstruktivis percaya bahwa siswa tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi mereka juga menciptakan dan mengontrol perkembangan pengetahuan sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikatakan oleh Fosnot (1989), pengetahuan tidak dapat dipahami secara objektif terlepas dari pengalaman individu. Setiap orang menafsirkan dunia melalui kerangka berpikir mereka, yang terus berkembang melalui proses asimilasi dan akomodasi informasi baru.
Dari perspektif ini, pembelajaran yang bermakna terjadi ketika siswa mengalami refleksi dan resolusi konflik kognitif. Piaget menyebut ini sebagai disonansi kognitif, yang muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara pengetahuan yang sudah ada dengan informasi baru.
Konflik ini memicu siswa untuk mencari pemahaman baru dan memperbarui skema kognitif mereka. Dengan kata lain, pembelajaran adalah siklus terus-menerus dari pengeditan dan perumusan ulang teori-teori siswa tentang bagaimana dunia bekerja.
John Dewey, tokoh lain yang berpengaruh dalam perkembangan konstruktivisme, juga mengkritik pendidikan tradisional yang hanya mempersiapkan siswa untuk kehidupan masa depan. Baginya, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dewey (dalam Sackney & Mergel, 2007) berpendapat bahwa pembelajaran yang efektif harus mencerminkan kompleksitas kehidupan nyata, di mana pengetahuan yang disampaikan dalam kelas harus relevan dengan pengalaman siswa dan memicu minat serta rasa ingin tahu mereka.
Dewey juga menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai otoritas tunggal dalam proses belajar. Guru harus membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang otonom, kreatif, dan mampu menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman pribadi mereka. Ini sejalan dengan prinsip konstruktivisme yang melihat siswa sebagai agen aktif dalam proses belajar.
Lev Vygotsky, seorang psikolog Rusia, juga memperluas teori belajar Piaget dengan memperkenalkan dua konsep penting: zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Teorinya, dikenal sebagai teori perkembangan historis-budaya, menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan manusia. ZPD menggambarkan jarak antara apa yang dapat dicapai seseorang secara mandiri dan apa yang bisa mereka capai dengan bantuan orang lain yang lebih berpengalaman.
ADVERTISEMENT
Vygotsky (dalam Moll, 1992) menyatakan bahwa pembelajaran terbaik terjadi ketika seseorang bekerja di ZPD—level di mana mereka belum sepenuhnya menguasai suatu tugas tetapi dapat melakukannya dengan bimbingan. Konsep scaffolding merujuk pada dukungan yang diberikan saat belajar, di mana informasi baru harus terkait dengan pengetahuan yang sudah ada agar efektif.
Meski konstruktivisme telah menjadi dasar bagi banyak pendekatan pembelajaran modern, tantangan masih ada dalam implementasi. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa lingkungan belajar yang diciptakan mampu memfasilitasi kreativitas dan eksplorasi tanpa mengarah pada kekacauan. Sebagaimana ditekankan oleh Dewey, penting bagi guru untuk mendukung lingkungan di mana kreativitas siswa dapat berkembang dengan terarah.
Di sisi lain, pendekatan konstruktivisme menawarkan peluang besar dalam mengembangkan pendidikan yang lebih bermakna. Dalam dunia yang terus berubah, di mana informasi tersedia dalam jumlah besar, kemampuan siswa untuk membangun, merevisi, dan mengontrol pengetahuan mereka sendiri menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Konstruktivisme menawarkan kerangka yang fleksibel untuk membantu siswa menghadapi tantangan-tantangan baru ini dengan berpikir kritis dan kreatif.
ADVERTISEMENT
Bangunan konstruktivisme, melalui pandangan Piaget, Dewey, dan Vygotsky, menawarkan pendekatan mendalam dalam memahami proses belajar. Dengan menekankan peran aktif siswa dalam menghasilkan pengetahuan dan pentingnya pengalaman pribadi dalam proses belajar, konstruktivisme mengarahkan kita pada pendidikan yang lebih relevan, dinamis, dan bermakna. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan ini dapat memberikan siswa keterampilan yang diperlukan untuk beradaptasi dan berkembang dalam situasi-situasi baru.