Konten dari Pengguna

Berziarah, Jawaban Panggilan Tuhan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
13 April 2025 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bu Susi paling kanan berbaju putih sebelum menjadi suster, sedang kuliah di Yogyakarta tahun 1970-an, sumber: Dok. Sr. Reni.
zoom-in-whitePerbesar
Bu Susi paling kanan berbaju putih sebelum menjadi suster, sedang kuliah di Yogyakarta tahun 1970-an, sumber: Dok. Sr. Reni.
ADVERTISEMENT
Sebuah Cerita tentang Sr. Reni Susie Ngadi, CB
Pagi itu, langit Kupang berwarna kelabu muda dengan awan berjalan perlahan di angin musim hujan yang belum sepenuhnya pergi. Di sebuah kapel kecil sederhana, Sr. Reni CB, duduk di bangku kayu yang sudah akrab dengan tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Tak ada doa keras, tak ada litani panjang—hanya keheningan menyelimuti ruang dan sebuah kitab suci terbuka di pangkuan. Kendati demikian mata dirinya tidak tertuju pada teks; ia menatap jauh ke luar jendela, ke arah pohon flamboyan yang ditiup angin. Di antara suara burung pagi dan desir ranting, mendengar sesuatu yang lain, yakni bisikan kenangan dari waktu-waktu yang telah lewat.
Usia 70 tahun, pikirnya, bukan sekadar perayaan ulang tahun dengan lilin dan lagu-lagu syukur. Tujuh dekade adalah sebuah perjalanan panjang, penuh belokan, tanjakan, dan lembah-lembah yang kadang sunyi. Sr. Reni merasa, hari itu adalah saat yang tepat berdiam dan membuka kembali buku hidupnya, bukan untuk bernostalgia, tetapi bersyukur.
Setiap halaman memiliki warna dan aroma khas. Ada tawa, ada air mata, ada keberanian yang tumbuh dari keraguan, dan ada kasih yang ditemukan justru dalam kelelahan. Semua itu tidak pernah sia-sia. Tuhan selalu hadir, entah dalam bentuk kejutan, entah dalam bentuk keheningan, menguatkan.
ADVERTISEMENT
Ia mulai membiarkan pikiran berjalan kembali ke tahun-tahun awal, ketika masih menjadi guru di SMP St. Theresia dan SMA St. Joseph, Pangkal Pinang. Saat itu, ia hanya seorang perempuan muda yang mencintai anak-anak dan percaya bahwa pendidikan adalah jalan cahaya.
Ruang kelas sederhana dengan papan tulis yang sudah kusam dan bangku-bangku kayu itu menjadi tempat suci, di mana ia mengajarkan bukan sekadar pelajaran akademik, tetapi juga nilai-nilai hidup. Ia menanamkan pentingnya kejujuran, kerja keras, dan kasih dalam hal-hal kecil.
Ia belajar bahwa menjadi guru selain soal mengajar, juga menjadi teladan—dan bahwa benih-benih kebaikan yang ditanam dengan setia akan tumbuh suatu hari, entah di mana dan kapan.
Cinta pada Tuhan meninggalkan segalanya, mengikuti panggilan-Nya, sumber: Pexels.
Tahun 1985 adalah tahun penyerahan diri. Ia melangkah masuk ke dalam panggilan religius bersama Kongregasi Carolus Borromeus (CB), membawa serta segala kegelisahan dan harapan bersatu dalam satu kata: “ya.” Empat tahun kemudian, ia mengikrarkan kaul profesi pertama di Yogyakarta, kemudian langsung diutus ke Bukidnon, Filipina.
ADVERTISEMENT
Di rumah retret CMU (Central Mussuan University), Bukidnon yang sejuk dan sunyi, di tengah pelayanan kepada mahasiswa dalam kegiatan rohani, Sr. Reni menemukan makna menjadi seorang religius: bukan menjauh dari dunia, tetapi justru masuk lebih dalam ke dalam luka dan harapan manusia.
Ia mendampingi dengan penuh kasih, menjadi pendengar setia, dan mendoakan mereka yang tak sempat berdoa. Dari situ, ia tahu dan mengerti, pelayanan bukan soal besar-kecil peran, tetapi tentang kehadiran yang tulus.
Pada 1998, panggilan membawanya melintasi benua. Ia dikirim ke Tanzania, Afrika, tanah yang sebelumnya hanya dikenal lewat peta dan buku. Tetapi sejak hari pertama ia menjejakkan kaki di sana, tempat itu bukan lagi asing. Ia menjadi Administrator Rumah Sakit Misi di Ndala dan Ekonom Regio.
ADVERTISEMENT
Ia menghadapi banyak keterbatasan, misalnya jumlah obat yang minim, fasilitas sederhana, pasien-pasien miskin yang datang dengan harapan lebih besar dari kemampuan rumah sakit itu sendiri. Tapi justru di situlah ia menemukan Kristus yang sejati—dalam peluh, dalam air mata, dalam kerja tanpa pamrih.
Ia mengerti bahwa cinta sejati tidak selalu disertai kenyamanan. Cinta sejati, kadang, adalah tentang menyeka dahi orang lain ketika tangan sendiri pun sedang gemetar.
Selama enam belas tahun lebih ia tinggal di Tanzania. Ia belajar bahasa setempat, memahami budaya, hidup seperti mereka, dan tidak pernah merasa sebagai orang asing. Ia bukan tamu, melainkan saudari. Ia menghadiri kelahiran dan kematian, suka dan duka. Ia menjadi pengelola, penopang, penenang.
ADVERTISEMENT
Kadang ia harus bersikap tegas agar sistem berjalan, kadang ia hanya bisa berlutut diam di kapel rumah sakit ketika malam datang, menyerahkan semua kepada Tuhan. Tapi sepanjang waktu itu, ia tak pernah merasa sendiri.
Sr. Reni percaya, Tuhan berjalan bersamanya—dalam tawa para anak kecil yang sembuh, dalam pelukan ibu-ibu yang kehilangan anak, dalam mata rekan-rekan yang terus semangat melayani meski dengan alat seadanya.
Tahun 2014, ia kembali ke Indonesia. Banyak orang menyangka ia akan rehat, menepi dari riuhnya pelayanan. Tapi Sr. Reni paham betul, hatinya tak bisa diam. Ia melayani di Civita Youth Camp, tempat yang penuh semangat kaum muda, tanya, pencarian, dan kadang juga luka-luka yang tak tampak.
ADVERTISEMENT
Ia hadir di sana, bukan sebagai pengkhotbah, tetapi sebagai pendamping. Ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, ia memberi waktu dan ruang bagi anak-anak muda menemukan jati diri dan kehendak Tuhan dalam hidup mereka. Ia tahu, kadang seseorang hanya butuh orang yang tidak menilai, hanya hadir, dan mencintai.
Sr Reni, CB membantu korban bencana G. Lewotobi di NTT, sumber: Dok. Strada.
Tahun 2022, tugasnya di Civita selesai. Kini, di Kupang, ia menjalani dua peran sekaligus, yaitu Ekonom Regio Indonesia Timur dan Pimpinan Komunitas. Usia boleh bertambah, tetapi semangat tidak menua. Ia tetap menjalankan tugas administratif dengan rapi, tetap mengunjungi orang-orang yang membutuhkan, tetap tersenyum dan menyapa dengan hangat siapa pun yang datang.
Banyak orang heran, bagaimana ia tetap kuat dan penuh semangat. Tapi Sr. Reni tahu jawabannya bukan pada kekuatan fisik, melainkan pada kekuatan kasih. Kasih itulah yang membuat langkahnya terus berjalan, tangannya terus bergerak, dan doanya tak pernah kering.
ADVERTISEMENT
Kapel tempatnya duduk masih hening. Tapi di dalam dirinya, gema kehidupan begitu nyata, yakni tawa anak-anak, doa mahasiswa, suara pasien, percakapan di malam hari bersama rekan-rekan komunitas, dan bisikan Tuhan yang tak pernah jauh.
Semua itu menyatu menjadi simfoni syukur. Ia tak pernah meminta kisah besar, hanya ingin setia dalam yang kecil. Dan justru dalam kesetiaan itulah, Tuhan membuat hidupnya menjadi kisah yang besar.
Ia membungkuk perlahan, berlutut di hadapan altar. Tak ada kata-kata rumit terucap. Hanya satu kalimat yang mewakili semuanya: “Terima kasih, Tuhan, karena dalam semua perjalanan itu, aku tidak pernah sendiri.” Kalimat itu keluar seperti embun dari kedalaman hati yang telah ditempa oleh waktu dan kasih.
ADVERTISEMENT
Dan mungkin, di surga sana, Allah yang penuh kasih itu pun tersenyum, lalu membisikkan balasan lembut, “Terima kasih juga, Reni. Karena engkau telah menunjukkan wajah-Ku—di tanah-tanah misi jauh, berziarah dalam hal-hal sederhana, dan dengan hati yang tak pernah lelah mencintai.”