Konten dari Pengguna

Budaya Riuh, Seni Kehidupan di Balik Masker

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
17 April 2025 14:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menoleh kembali kebudayaan, sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Menoleh kembali kebudayaan, sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Budaya bukan sekadar apa yang kasat mata, seperti tarian, musik, lukisan, atau pertunjukan panggung. Lebih dari itu, budaya menyimpan berbagai lapisan makna, termasuk yang tersembunyi di balik “topeng/masker” simbolik yang dikenakan. Seperti "topeng/masker," budaya juga memiliki bentuk yang ditampilkan kepada dunia dan wajah lain yang tersembunyi di balik keramaian, mungkin lebih sunyi, dalam, atau bahkan terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Ketika menyaksikan riuhnya pertunjukan seni di kota-kota besar dunia seperti Paris, London, atau Tokyo, kita melihat bukan hanya semangat seni itu sendiri, tetapi hasil dari ekosistem budaya yang dibangun secara konsisten dan sistematis selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Di sana, seni tidak diposisikan sebagai pelengkap hiburan, tetapi sebagai elemen penting dalam pendidikan dan kehidupan sosial.
Di Indonesia, impian akan kehidupan seni serupa pernah dilontarkan oleh Titiek Puspa (2025), sosok legendaris dalam panggung seni nasional. Ia membayangkan suatu hari nanti, ibukota seperti Jakarta memiliki gedung-gedung teater bagus yang dipenuhi penonton antusias, bukan hanya untuk konser musik pop, tetapi juga untuk pertunjukan tari, drama, atau opera. Akan tetapi kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pementasan teater kontemporer maupun tradisional sering kali ditonton oleh segelintir orang, sebagian besar dari kalangan seniman itu sendiri atau akademisi yang memang berkecimpung di bidang seni. Kehidupan seni klasik seakan-akan berjalan dalam ruang sempit, dan terisolasi dari arus utama perhatian publik.
Pengalaman pribadi penulis menggambarkan hal ini dengan nyata. Kunjungan ke berbagai pameran lukisan di Jakarta hampir selalu ditemani oleh sepi dan heningnya ruangan galeri. Anak-anak sekolah nyaris tak pernah tampak, dan mahasiswa yang datang pun hanya segelintir. Pameran yang seyogianya menjadi ruang pembelajaran dan apresiasi bersama, justru terasa seperti dunia asing, tidak banyak dijamah.
Fenomena tersebut bisa dijelaskan dengan konsep cultural capital atau modal budaya yang dikemukakan Pierre Bourdieu (1979). Partisipasi dalam seni tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk melalui paparan, pendidikan, dan akses sejak dini. Ketika seni tidak dikenalkan sejak awal, maka sulit berharap masyarakat akan secara alami datang dan menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Berbanding terbalik dengan itu, konser musik populer di stadion besar seperti Gelora Bung Karno bisa menarik puluhan ribu penonton dalam hitungan menit. Tiket habis dalam sekejap, euforia menyebar di media sosial, dan para artis dianggap sebagai representasi budaya zaman ini. Hal tersebut tentu saja bukan sesuatu yang keliru.
Konser musik pop yang menyedot begitu banyak perhatian, sumber: Pexels.
Budaya populer memang memiliki daya tarik besar, yakni mudah diakses, menyenangkan, dan langsung terkoneksi dengan identitas generasi muda. Namun, keberhasilan budaya populer juga menimbulkan pertanyaan mendasar, yaitu apakah ini berarti budaya klasik kalah pamor? Ataukah sistem yang membuat budaya klasik tidak mendapatkan tempat layak untuk tumbuh?
Jika kita menengok ke Inggris, terlihat jelas bahwa partisipasi dalam budaya tinggi dimulai sejak usia dini. Sekolah-sekolah secara aktif mengajak murid untuk mengunjungi museum, menonton teater, atau bahkan membuat pertunjukan mereka sendiri. Proyek-proyek seni lokal disokong oleh Arts Council England yang rutin memberikan dana demi keberlangsungan kegiatan budaya yang beragam.
ADVERTISEMENT
Di sana, seni tidak hanya hidup di ruang pertunjukan, tetapi juga tumbuh dalam kesadaran publik sebagai bagian dari pembentukan karakter dan wawasan anak. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan negara dan komunitas sangat penting dalam membentuk budaya inklusif.
Sayangnya, di Indonesia, pendidikan seni sering kali dipandang sebelah mata—hanya mata pelajaran pelengkap atau hiburan semata. Padahal, UNESCO dalam laporan tahun 2023 menegaskan bahwa pendidikan seni memiliki peran vital dalam meningkatkan empati, kreativitas, serta daya berpikir kritis. Seni merupakan salah satu fondasi esensial yang dibutuhkan oleh generasi masa depan dalam menghadapi kompleksitas tantangan dunia.
Seni bukan hanya tentang menghasilkan karya indah, tetapi tentang membentuk manusia yang utuh, yang mampu merasakan, berpikir, dan mengekspresikan diri dengan cara konstruktif.
ADVERTISEMENT
Masalah utama bukan terletak pada minat masyarakat terhadap seni klasik atau kontemporer, melainkan pada terbatasnya kesempatan dan kebiasaan. Literasi budaya, seperti halnya baca tulis, perlu dibentuk melalui praktik dan kebiasaan sejak dini. Diperlukan narasi yang menginspirasi, ruang ramah berekspresi, dan jembatan penghubung antara seniman dengan masyarakat luas.
Dalam hal ini, peran pemerintah, sekolah, media, komunitas, hingga para seniman sendiri menjadi sangat penting. Membangun budaya apresiatif tidak cukup hanya dengan menyajikan pertunjukan, tetapi juga perlu mengedukasi publik untuk memahami dan mencintai seni.
Seni seharusnya bukan milik segelintir kalangan yang mampu mengakses informasi atau pengetahuan tertentu. Ia adalah bagian dari identitas bersama yang bisa dirayakan oleh siapa saja. Gedung-gedung pertunjukan yang hidup dan dipenuhi penonton seharusnya tidak menjadi eksklusif bagi kota-kota besar dunia saja.
Ada aneka ruang ekspresi seni dalam gedung, sumber: Pexels.
Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, hingga Makassar dan Jayapura pun layak memiliki ekosistem seni yang hidup dan tumbuh. Ini bukan mimpi kosong, tapi bisa menjadi cita-cita bersama jika ada kemauan kolektif mengubah cara kita memandang dan memperlakukan seni. Mungkin yang perlu dilakukan adalah membuka “topeng/masker” budaya yang selama ini kita pakai. Mengganti wajah elitis yang menakutkan dan tertutup, menjadi wajah inklusif ramah dan terbuka.
ADVERTISEMENT
Ketika pameran lukisan bisa seramai konser musik, ketika teater bisa dinikmati layaknya tontonan favorit keluarga, dan ketika anak-anak bisa menyebut nama-nama seniman lokal sebagaimana mereka hafal nama-nama influencer, maka saat itulah budaya kita telah tumbuh ke arah yang lebih utuh. "Topeng /masker" yang menutupi seni dari pandangan publik akan gugur dengan sendirinya, berganti wajah baru, yakni wajah budaya yang hidup, menyala, dan menyentuh semua kalangan.
Pada akhirnya, seni bukan melulu perihal estetika. Seni merupakan cerminan dari siapa kita, dan siapa kita ingin jadi. Mimpi tentang seni yang ramai ditonton dan direnungkan bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan agar kita tak kehilangan sisi manusiawi dalam derasnya arus modernitas. Karena di balik setiap pertunjukan yang ditonton dengan takjub, ada ruang bertumbuh rasa empati, kebersamaan, dan harapan.
ADVERTISEMENT