Konten dari Pengguna

Dilema Nilai Rapor Rudi di Sekolah

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
31 Januari 2025 14:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pergulatan mendapan nilai kejujuran, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pergulatan mendapan nilai kejujuran, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah SMA favorit di kota itu, suasana rapat guru yang biasanya tenang berubah tegang. Pak Darma, kepala sekolah, duduk di tengah ruangan dengan ekspresi serius. Bu Ratna dan Pak Budi, dua guru senior yang dikenal berprinsip teguh, saling bertukar pandang dengan raut cemas.
ADVERTISEMENT
"Pak Darma, saya tidak bisa menerima hal ini!" suara Bu Ratna meninggi. "Kita tidak bisa memanipulasi nilai Rudi hanya karena ayahnya punya pengaruh besar. Ini jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan!"
Pak Budi mengangguk setuju. "Kalau kita mulai mencuci rapor hanya demi memenuhi ambisi orang tua, kita bukan lagi pendidik, tapi pedagang nilai!"
Pak Darma menghela napas panjang. Beliau sudah mendengar komplain dari Pak Daniel, ayah Rudi, yang bersikeras agar nilai anaknya dinaikkan agar bisa masuk perguruan tinggi negeri jalur rapor.
Dua hari sebelumnya, Pak Daniel mendatangi ruang kepala sekolah dengan wajah berang.
"Pak Darma, saya ini sudah banyak berkontribusi ke sekolah ini. Saya kira tidak berlebihan kalau saya minta sedikit bantuan. Hanya naikkan nilai Rudi di beberapa mata pelajaran. Masa depan anak saya di perguruan tinggi negeri dipertaruhkan!"
ADVERTISEMENT
Pak Darma berusaha menahan kegelisahan dirinya. "Pak Daniel, sekolah memiliki prinsip kejujuran akademik. Jika kami menaikkan nilai Rudi tanpa dasar yang jelas, bagaimana dengan siswa lain yang sudah bekerja keras?"
"Pak Darma, Anda tahu sendirilah, banyak sekolah lain yang melakukan ini. Masa sekolah ini mau ketinggalan? Kalau sekolah Anda punya banyak siswa yang masuk PTN, reputasi Anda juga ikut naik, kan? Lagipula, Rudi bukan siswa bodoh. Dia hanya butuh sedikit dorongan."
Pak Darma terdiam. Beliau tahu betul tekanan yang ada. Sekolah memang didorong agar meningkatkan angka kelulusan siswa ke perguruan tinggi negeri. Namun, mencuci rapor? Itu sama saja dengan mengkhianati prinsipnya sebagai pendidik.
"Saya akan pertimbangkan," akhirnya Pak Darma berkata, lebih untuk mengulur waktu daripada benar-benar berniat melakukannya.
ADVERTISEMENT
Kini, di rapat guru, dilema itu terungkap sepenuhnya. Beberapa guru yang lebih pragmatis berpendapat bahwa menaikkan nilai Rudi bukan hal besar.
"Toh, nilai bukan satu-satunya ukuran kecerdasan," kata Pak Darto, salah satu guru yang lebih realistis. "Kalau bisa membantu masa depan siswa dan juga menjaga reputasi sekolah, apa salahnya?"
"Salahnya adalah kita mendidik dengan kebohongan!" sahut Bu Ratna tajam. "Apa kita ingin mencetak generasi yang terbiasa dengan ketidakjujuran? Hari ini cuci rapor, besok mereka bisa saja mencurangi kehidupan mereka!"
Pak Budi menghela napas. "Kalau kita mengubah nilai satu siswa, maka akan ada permintaan serupa dari orang tua lainnya. Dan saat itu terjadi, kita bukan lagi guru, tapi hanya alat kepentingan orang tua."
ADVERTISEMENT
Kepala sekolah kembali terdiam. Beliau tahu dan mengerti, apapun keputusan yang diambil, akan ada konsekuensi berat. Jika Pak Darma membiarkan nilai Rudi diubah, beliau akan kehilangan integritasnya sebagai kepala sekolah. Jika menolak, beliau mungkin akan menghadapi tekanan dari atas, dari dinas pendidikan, bahkan mungkin dari pengaruh politik Pak Daniel.
Tiba-tiba, seorang guru muda, Ibu Sari, angkat bicara. "Mungkin ada cara lain. Kita bisa memberi Rudi kesempatan untuk memperbaiki nilainya dengan cara jujur. Mungkin dengan tugas tambahan atau ujian remedial. Dengan begitu, dia tetap bisa meningkatkan nilainya, tapi dengan usahanya sendiri."
Semua terdiam. Itu memang jalan tengah yang masuk akal. Namun, pertanyaannya, apakah Pak Daniel akan menerima solusi ini?
Keesokan harinya, Pak Darma kembali berhadapan dengan Pak Daniel.
ADVERTISEMENT
"Pak Daniel, kami tidak bisa begitu saja menaikkan nilai Rudi. Tapi kami memberikan kesempatan bagi dia untuk memperbaiki nilainya melalui tugas dan ujian tambahan. Jika dia bisa menunjukkan usaha nyata, nilainya akan meningkat dengan cara yang sah."
Pak Daniel mendengus. "Jadi saya harus bergantung pada usaha anak saya yang belum tentu berhasil? Pak Darma, saya kira Anda lebih fleksibel dari ini."
"Saya tidak bisa mengorbankan prinsip pendidik, Pak Daniel. Sekolah ini bukan tempat untuk memperjualbelikan nilai."
Pak Daniel bangkit, dengan wajah merah padam. "Baiklah. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi pada sekolah ini. Saya punya banyak kenalan di dinas pendidikan."
Pak Darma tetap tenang. "Kami akan tetap menjalankan prinsip kami. Jika itu membawa konsekuensi, kami siap menghadapi."
ADVERTISEMENT
Pak Daniel pergi dengan kemarahan yang jelas, tapi rapor Rudi tetap tidak tersentuh oleh manipulasi.
Beberapa bulan kemudian, hasil seleksi perguruan tinggi negeri keluar. Rudi memang tidak masuk ke universitas yang diinginkan sang ayah, tetapi dia diterima di kampus lain yang juga bergengsi.
Di sisi lain, reputasi sekolah tetap bersih, dan para guru yang sempat tertekan oleh dilema moral kini bisa bernapas lega. Mereka tahu, kejujuran memang tidak selalu memberikan jalan yang mudah, tapi itu adalah satu-satunya jalan yang benar.
Bu Ratna dan Pak Budi tersenyum lega saat melihat Rudi kembali ke sekolah untuk mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Bu Ratna, Pak Budi. Saya sadar, kalau nilai saya naik tanpa usaha, mungkin saya tidak akan belajar menghadapi kenyataan. Sekarang saya tahu, lebih baik gagal secara jujur daripada sukses dengan kebohongan."
ADVERTISEMENT
Pak Darma mengangguk penuh kebanggaan. Pendidikan sejati bukan hanya soal angka di rapor, tapi juga karakter yang dibentuk melalui proses hidup sebenarnya.