news-card-video
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dunia Gelap, Jalan Sepi

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
21 Maret 2025 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, dua anak berjalan di pinggir jalan, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, dua anak berjalan di pinggir jalan, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Joni melangkah pelan di tepi trotoar kota, dengan sepatu lusuh menyentuh aspal, terasa dingin. Jalanan penuh dengan suara klakson bersahut-sahutan, deru kendaraan melaju tanpa henti, dan orang-orang berjalan tergesa-gesa, seolah-olah waktu terus menekan mereka tanpa memberi ruang berhenti sejenak.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, ada sesuatu, mengusik pikiran -- bukan tentang kemacetan yang semakin parah atau gedung-gedung tinggi yang terus bermunculan, melainkan tentang sesuatu yang lebih sederhana namun terasa begitu janggal, yakni jalan-jalan ini begitu sepi dari anak-anak.
Trotoar yang dulu menjadi tempat mereka berlari kini hanya menjadi jalur lalu lalang orang dewasa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Lapangan kecil yang dulu selalu dipenuhi dengan suara tawa kini hanya menjadi lahan kosong yang ditumbuhi rumput liar.
Joni bertanya-tanya, apakah yang telah terjadi? Ke mana anak-anak pergi, yang dulu menjadikan lokasi ini sebagai tempat bermain dan bertumbuh?
Pikirannya melayang pada cerita-cerita yang sering didengar dari ayahnya tentang tahun 1980-an. Ayahnya selalu berbicara dengan mata berbinar, mengenang masa kecilnya yang dipenuhi dengan kebebasan dan keceriaan di antara gang-gang sempit kota ini.
ADVERTISEMENT
Saat itu, jalanan menjadi taman bermain raksasa, tak terbatas. Anak-anak berlarian tanpa takut akan bahaya, tertawa riang di bawah sinar matahari sore, dan saling memanggil satu sama lain untuk bermain layangan, sepak bola antar kampung, atau sekadar mencari ikan kecil di got-got kompleks.
Setiap sore, saat udara mulai mendingin dan langit berangsur keemasan, anak-anak berkumpul bermain petak umpet, kejar-kejaran dan pada malamnya menonton layar tancap yang dipasang di lapangan terbuka, atau sekadar duduk bersama bernyanyi dengan gitar tua di pinggir gang.
Tidak ada kekhawatiran tentang waktu, tidak ada layar yang mengalihkan perhatian, hanya kebersamaan yang membentuk kenangan. Namun kini, kesunyian merajalela. Tidak ada lagi riuh rendah suara tawa anak-anak, tidak ada lagi ajakan bermain yang menggema di sepanjang jalan.
ADVERTISEMENT
Joni merasa ada kehilangan, sesuatu yang seharusnya tetap ada namun perlahan lenyap tanpa disadari. Ke mana mereka semua? Di sekolah, teman-teman masih ada, mereka berbicara dan bercanda seperti biasa, namun selepas pulang, mereka menghilang seperti bayangan yang lenyap ditelan waktu.
Tidak ada lagi suara anak-anak yang bermain di depan rumah atau kejar-kejaran di lapangan. Dunia terasa monoton, datar, dan membosankan. Ia merasakan perbedaan yang begitu tajam dibandingkan dengan cerita ayahnya.
Apakah mungkin zaman telah berubah begitu drastis dalam hitungan tahun? Ataukah ada sesuatu lebih besar yang mengubah pola hidup anak-anak tanpa mereka sadari?
Saat berjalan menuju gang rumahnya, ia bertemu dengan Ira yang tengah berdiri di depan warung kecil. Dengan rasa penasaran yang mengganggu pikirannya, Joni pun bertanya, “Ra, kenapa sekarang anak-anak nggak main di luar lagi?”
ADVERTISEMENT
Ira hanya mengangkat bahu tanpa ekspresi. “Mungkin mereka sibuk. PR banyak. Atau main HP di rumah,” jawabnya dengan nada datar. Jawaban itu membuat Joni berpikir. Memang benar, tugas sekolah semakin banyak, tuntutan akademik semakin tinggi, tetapi bukankah dulu juga anak-anak tetap bermain meskipun ada PR?
Ia ingat, dulu orang-orang akan berusaha menyelesaikan tugas lebih cepat agar bisa segera keluar rumah dan bermain bersama teman-teman. Lalu mengapa sekarang semuanya berubah?
Apakah anak-anak zaman ini benar-benar lebih sibuk daripada anak-anak di masa lalu, atau ada sesuatu yang membuat mereka kehilangan keinginan bermain di luar?
Joni terus berjalan dan menemukan dua temannya, Anwar dan Karyo, yang tengah duduk santai di tangga rumah. “Hei, kalian nggak kangen main bola sore-sore?” tanyanya dengan harapan mendapat jawaban yang lebih masuk akal.
ADVERTISEMENT
Karyo tertawa kecil sebelum menjawab, “Main bola di jalan? Gila aja. Nanti ada yang marah, atau malah kena motor.” Anwar menimpali, “Iya, lagi pula, sekarang nggak ada yang minat.
Orang-orang lebih suka main di HP. Gampang, nggak capek.” Joni terdiam. Kata-kata itu terasa aneh di telinganya. Bagaimana mungkin bermain bola di jalan menjadi hal yang tak masuk akal? Bukankah dulu semua orang melakukannya?
Bahkan ketika harus berhenti sejenak karena ada mobil lewat, permainan tetap dilanjutkan setelahnya dengan semangat yang tak berkurang sedikit pun. Tapi sekarang, gang-gang sepi dan anak-anak lebih memilih duduk di rumah, terpaku pada layar ponsel mereka.
Perasaan heran semakin besar saat ia mendapati Rita dan Anto duduk di depan rumah mereka, tetapi bukannya berbincang atau bermain, mereka hanya menunduk menatap layar gawai masing-masing. “Hei, kenapa kalian nggak main keluar?” tanyanya, mencoba mengajak mereka kembali ke dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Anto hanya melirik sekilas dan menjawab, “Buat apa? Main di HP lebih seru. Kita bisa ngobrol di grup, main bareng online.” Joni semakin tak habis pikir.
Bagaimana mungkin layar kecil itu menggantikan kebersamaan nyata yang dulu begitu menyenangkan? Bagaimana mungkin anak-anak lebih memilih dunia virtual daripada dunia nyata yang bisa mereka jelajahi dengan bebas?
Joni menghela napas panjang, merasakan kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Dunia yang dulu ceria dan penuh kehidupan kini berubah menjadi sunyi dan statis.
Anak-anak tak lagi berlarian di trotoar, gang-gang tak lagi dipenuhi suara canda tawa. Seakan-akan ada sesuatu yang diam-diam menghapus semua kenangan indah itu dan menggantikannya dengan kebisuan yang menyedihkan. Apakah ini benar-benar perubahan alami? Ataukah ini hanya fenomena sementara yang bisa diperbaiki?
ADVERTISEMENT
Sambil berjalan pelan meninggalkan gang rumahnya, Joni memandang langit yang mulai gelap. Suara kendaraan masih berlalu-lalang, tetapi tidak ada lagi suara tawa anak-anak yang mengiringinya.
Benaknya penuh dengan pertanyaan, apakah ini dunia yang harus ia terima begitu saja? Rasanya gelap, tanpa harapan. Ataukah masih ada cara membawa kembali kegembiraan yang dulu pernah ada?
Mungkin, suatu hari nanti, anak-anak akan kembali ke jalan kompleks, kembali bermain dengan penuh kebebasan seperti dulu di tanah lapang. Atau mungkin, dunia ini telah berubah selamanya, dan kenangan masa kecil yang dulu indah hanya akan menjadi cerita yang terus dikenang tanpa bisa dihidupkan kembali.