Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Etika Lingkungan, dari Antroposentrisme ke Krisis Ekologi
11 Februari 2025 6:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi etika lingkungan dimulai dari hal sederhana, misalnya mengumpulkan sampah di pantai, sumber: Pexels.](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkrxd8274ep5jeqk3jgy20dt.jpg)
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Februari 2025, kembali mengikuti kuliah Extension Course STF Driyarkara dengan tema “Etika Lingkungan dalam Lintasan Sejarah” yang diampu oleh Dr. H. Dwi Kristanto. Materi kuliah kali ini sangat menarik karena membahas isu lingkungan hidup yang relevan dengan keprihatinan global terhadap kerusakan lingkungan yang semakin masif. Dalam kuliah ini, pembahasan diawali dengan pemaparan historis tentang bagaimana kesadaran lingkungan mulai muncul dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan semakin menguat terutama setelah Perang Dunia di abad ke-20, ketika dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran mulai dirasakan secara nyata.
Pada titik tersebut, muncul berbagai pemikiran baru yang menyoroti pentingnya keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan ekosistem, yang kemudian melahirkan berbagai gerakan lingkungan dan regulasi yang bertujuan untuk melindungi alam dari kerusakan yang lebih parah.
Perjalanan sejarah manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan mengalami perubahan mendasar seiring perkembangan pemikiran filosofis dan kemajuan teknologi. Pada abad ke-17, paradigma manusia di Barat terhadap alam mengalami pergeseran signifikan, terutama dengan munculnya Revolusi Ilmiah yang mengukuhkan pandangan mekanistik terhadap alam.
Alam mulai dipandang sebagai objek yang dapat dikuasai dan dieksploitasi untuk kepentingan manusia, sejalan dengan pemikiran filsuf seperti René Descartes yang menekankan dualisme antara manusia dan alam. Pandangan ini semakin menguat dengan berkembangnya Revolusi Industri di abad ke-18 dan ke-19, yang membawa perubahan besar dalam cara manusia memanfaatkan sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi memungkinkan eksploitasi secara lebih intensif, tetapi di sisi lain, juga memunculkan dampak negatif yang tidak terduga terhadap lingkungan, seperti polusi, deforestasi, dan perubahan iklim.
Carolyn Merchant mencatat bahwa bumi yang sebelumnya dipandang sebagai "ibu"—sumber kehidupan yang harus dihormati—berubah menjadi sebuah "mesin" yang dapat diukur, dimanipulasi, dan dieksploitasi demi kepentingan manusia.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Pico della Mirandola dalam Oration on the Dignity of Man, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kedaulatan terhadap bumi dan bebas membentuk serta menggunakannya sesuai kehendaknya. Perubahan cara pandang ini menjadi awal dari eksploitasi lingkungan yang meluas.
Pada masa Abad Pertengahan, perkembangan etika lingkungan mulai dipengaruhi oleh konsep individualisme dan liberalisme politik. Kebebasan individu menjadi nilai utama yang sering kali mengabaikan konsep common good atau kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Liberalisme mempromosikan kebebasan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam demi kepentingan ekonomi dan industri. Akibatnya, lingkungan menjadi korban dari kebijakan yang menitikberatkan pada kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampaknya dalam jangka panjang.
Dominasi antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, semakin diperkuat dengan revolusi industri. Industrialisasi yang didorong oleh individualisme dan konsumerisme menghasilkan eksploitasi alam secara besar-besaran, yang pada akhirnya membawa kita pada krisis ekologi.
William Rees (2009) menggagas konsep ecological footprint, yang mengukur dampak aktivitas manusia terhadap bumi. Konsep ini menyoroti bahwa eksploitasi sumber daya telah melampaui kapasitas regenerasi alam, mengarah pada perubahan lingkungan yang drastis, termasuk deforestasi, pencemaran, dan ekosida.
Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac (1949) menekankan pentingnya memperluas etika untuk mencakup hubungan manusia dengan lingkungan. Ia berpendapat bahwa manusia tidak hanya memiliki hak untuk memanfaatkan alam, tetapi juga memiliki kewajiban moral melestarikannya. Pendekatan etika lingkungan ini kemudian berkembang menjadi beberapa aliran utama.
ADVERTISEMENT
Pendekatan pertama, yakni antroposentrisme, mempertahankan superioritas manusia atas alam dengan menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk tidak merusaknya. Dalam pandangan ini, eksploitasi sumber daya alam diperbolehkan selama dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kesejahteraan generasi mendatang.
Pemanfaatan lingkungan bukanlah hal yang tabu, tetapi harus diiringi dengan kesadaran bahwa kelangsungan ekosistem juga menentukan keberlanjutan kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu, etika lingkungan dalam perspektif antroposentrisme lebih menitikberatkan pada kebijakan konservasi dan pengelolaan sumber daya yang rasional, bukan semata-mata penghentian eksploitasi total.
Sebaliknya, pendekatan non-antroposentrisme individualistik mengakui bahwa beberapa entitas di alam memiliki nilai intrinsik yang terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Namun, ketika terjadi konflik kepentingan antara manusia dan entitas alam lainnya, manusia tetap menjadi prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Pemikiran yang demikian diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Peter Singer terkait etika tentang hewan, Tom Regan mengenai hak-hak binatang, dan Paul Taylor yang mengusung konsep biosentrisme di mana makhluk hidup lain juga layak mendapat perlakuan yang etis dan hormat.
Meskipun demikian, dalam praktiknya, kepentingan manusia tetap menjadi tolok ukur utama dalam menentukan kebijakan lingkungan. Dengan kata lain, meskipun ada pengakuan terhadap nilai kehidupan non-manusia, prinsip moral yang diterapkan tetap dalam kerangka yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan alam sesuai kebutuhan, asalkan tetap dalam batas etis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendekatan ketiga adalah non-antroposentrisme holistik atau ekosentrisme, yang melihat alam sebagai satu kesatuan yang harus dijaga secara keseluruhan. Tokoh seperti John B. Callcot, Aldo Leopold, dan Holmes Rolston III menekankan bahwa keseimbangan ekosistem harus dipertahankan demi keberlangsungan seluruh kehidupan di bumi.
ADVERTISEMENT
Mereka berargumen bahwa manusia tidak boleh semata-mata berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem secara menyeluruh.
Kemajuan teknologi telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari peningkatan kesejahteraan hingga efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya. Namun, seperti yang ditekankan oleh Kohak, krisis ekologi saat ini merupakan akibat dari pertumbuhan populasi yang tidak terkendali, gaya hidup konsumtif, serta penggunaan teknologi yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, meskipun teknologi dapat digunakan memperbaiki kondisi lingkungan, penggunaannya harus selalu diiringi dengan kesadaran akan tanggung jawab moral dan ekologis.
Sebagai bagian integral dari alam, manusia seharusnya menyadari bahwa eksistensi mereka bergantung pada keseimbangan ekosistem. Alam telah ada jauh sebelum manusia, dan manusia seharusnya hanya "meminjam" sumber daya alam secukupnya, bukan menguasai dan merusaknya secara berlebihan. Kesadaran ini perlu diterapkan dalam kebijakan lingkungan, pendidikan, serta gaya hidup sehari-hari agar bumi tetap lestari bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT