Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Falsafah Pohon Pisang bagi Pendidikan
1 Mei 2025 14:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pisang—tanaman tropis dengan nama ilmiah Musa paradisiaca—mengandung filosofi hidup yang kaya makna. Dalam budaya Jawa, dikenal ungkapan, "Wong urip kuwi kudu kaya wit gedhang, kabeh bageane iso dienggo," yang mengajarkan bahwa manusia idealnya meneladani pohon pisang, di mana setiap bagiannya bermanfaat, dari akar hingga buah.
ADVERTISEMENT
Nilai luhur ini tak hanya terletak pada kegunaannya bagi kehidupan manusia, tetapi juga pada cara buah pisang tumbuh, yaitu bukan menggantung ke bawah sebagaimana buah umumnya, melainkan mengarah ke atas. Arah pertumbuhan tidak biasa ini menyimpan pelajaran penting—sebuah simbol orientasi hidup yang sarat makna jika dilihat dari kacamata pendidikan.
Mengapa buah pisang menghadap ke atas? Jawaban biologisnya karena adanya geotropisme negatif, dan buah-buah itu membutuhkan energi akibat mengandung semacam hormon tumbuhan, yakni zat kimia auxin yang berdampak pada bagaimana tumbuhan tersebut merespons sinar matahari.
Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh dari sisi filosofis, orientasi ke atas ini bisa dimaknai sebagai upaya menuju cahaya—sebuah simbol dari ilmu, kebaikan, dan harapan. Dalam konteks pendidikan, hal tersebut merupakan simbol dari pencarian terhadap "sinar positif", energi formatif yang membentuk karakter dan kecerdasan manusia seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sejati bukan sekadar murid mendapatkan pengetahuan dari guru, tetapi lebih kepada proses penyinaran—sebuah kegiatan memberi dan menerima cahaya. Sebagaimana buah pisang yang terus mengarah ke sumber cahaya agar dapat tumbuh optimal, demikian pula manusia dalam proses pendidikan. Murid perlu diarahkan dan dibimbing agar dapat mengarah pada sumber kebaikan dan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, pendidikan yang hanya pasif dan mekanistis ibarat pohon yang diletakkan dalam ruang gelap. Ia tetap tumbuh, tapi tidak kuat, cenderung layu dan kehilangan arah. Maka, pendidikan butuh cahaya bersifat formatif, yang tidak sekadar mengisi akal tetapi juga menghidupkan hati dan menggerakkan jiwa. Cahaya di sini tidak melulu berarti materi atau fasilitas mewah, tetapi bisa berupa nilai-nilai luhur, semangat pembelajaran, inspirasi dari para guru, dan suasana belajar menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pernah menekankan pentingnya pendidikan sebagai pembebasan dan pembentukan karakter. Ia tidak setuju dengan metode pendidikan yang hanya menekankan hafalan, tekanan, dan hukuman. Dalam analisis Ki Hajar (1962) setiap anak dilahirkan dengan kodratnya masing-masing, dan tugas pendidikan adalah menuntunnya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Gagasan Ki Hajar yang demikian dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan sejati mampu membuat anak tumbuh seperti kodrat alamnya—seperti pohon pisang yang dibiarkan mencari cahaya dengan sendirinya. Belajar bukanlah proses yang statis, tetapi dinamis, penuh energi. Semua itu adalah bentuk energi positif yang menggerakkan peserta didik agar tumbuh ke arah sinar, bukan terpaksa, tapi karena merasa terpanggil.
Jika Ki Hajar Dewantara melandaskan gagasannya pada budaya dan kepribadian Indonesia, maka Rabindranath Tagore—sastrawan dan filsuf asal India—menawarkan perspektif yang serupa dari tanah kelahirannya. Ia menolak model pendidikan kolonial yang seragam dan membelenggu, lalu mendirikan Santiniketan, sekolah alternatif yang membiarkan anak-anak belajar di alam terbuka, dalam suasana kebebasan, kreativitas, dan kedekatan dengan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tagore (1951) percaya bahwa pendidikan perlu selaras dengan alam dan kebebasan berpikir. Baginya, pendidikan berkualitas bukan yang memaksa anak-anak belajar dengan beban dan tekanan, tetapi merangsang rasa ingin tahu, memberi ruang untuk bertanya, dan menjadikan belajar sebagai petualangan yang menyenangkan.
Dalam analogi pohon pisang, guru dapat menjadi pendidik yang tidak menundukkan buahnya ke bawah dengan beban, melainkan membiarkan anak-anak itu tumbuh ke atas, mencari cahaya dengan semangat masing-masing.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif, pendidikan kerap tergelincir menjadi sekadar alat ekonomi, yakni pencetak tenaga kerja, penghasil gelar, dan pengumpul nilai ujian. Banyak sistem pendidikan modern terlalu fokus pada hasil akhir, seperti nilai rapor dan kelulusan, dan lupa pada proses yang seharusnya menyinari jiwa.
ADVERTISEMENT
Di sinilah pentingnya kita merenungi kembali filosofi pohon pisang. Pendidikan perlu memfasilitasi arah tumbuh ke atas, dengan cara membangun karakter, menyalakan rasa ingin tahu, dan membentuk manusia seutuhnya. Para pendidik perlu membuat ekosistem pendidikan yang kaya akan “sinar matahari”, dengan menjadi guru inspiratif, kurikulum kontekstual, ruang belajar menyenangkan, dan kebijakan yang memberdayakan.
Pendidikan bukan sekadar pabrik melainkan juga kebun tempat manusia tumbuh. Dan seperti pohon pisang, manusia akan tumbuh lebih baik jika didekatkan pada sumber cahaya, bukan dibebani ke bawah oleh sistem yang kaku dan birokratis.
Pohon pisang memiliki satu lagi sifat unik, yaitu setelah berbuah akan mati. Namun dari pangkal batangnya akan tumbuh tunas-tunas baru—anak pisang yang akan melanjutkan hidup. Dalam pendidikan, guru sejati adalah mereka yang rela "menghilang" setelah muridnya tumbuh. Ia tak mengejar popularitas atau kehormatan, tetapi ikhlas menjadi bagian dari siklus kehidupan, membiarkan generasi berikutnya tumbuh lebih tinggi dan lebih terang.
ADVERTISEMENT
Falsafah ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan untuk kemuliaan individu, tapi untuk keberlangsungan peradaban. Seorang guru sejati akan menanam nilai, menyiram dengan kasih, lalu pergi tanpa meminta pujian—karena buah dari didikannya akan tumbuh ke atas, mencari cahaya dan memberi manfaat luas.
Sebagai catatan akhir, falsafah pohon pisang membawa pesan penting bagi dunia pendidikan. Ajakan mengarahkan sistem pendidikan ke atas, mengarah pada cahaya kehidupan perlu terus diupayakan. Bukan ke bawah, ke beban dan tekanan. Pendidikan perlu menghadirkan lebih banyak energi positif—baik dalam bentuk nilai, semangat, maupun lingkungan belajar—agar peserta didik tidak sekadar tumbuh, tetapi bertumbuh dengan arah yang benar.
Seperti tandan pisang yang menghadap matahari, biarkan setiap anak tumbuh dengan kekuatan cahaya yang mencerahkan jiwanya. Karena pendidikan yang sejati bukan hanya tentang tahu, tetapi tentang menjadi. Dan untuk menjadi, manusia butuh sinar, bukan sekadar angka.
ADVERTISEMENT