Konten dari Pengguna

Fenomena Mendesak Gangguan Mental Remaja

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
21 September 2024 16:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konseling bagi kaum remaja, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konseling bagi kaum remaja, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam pengamatan saya yang terlibat dalam dunia pendidikan sejak tahun 2000, gejala gangguan mental remaja sangat bervariasi. Setiap individu menunjukkan respons berbeda terhadap tekanan yang mereka alami, baik di sekolah maupun di lingkungan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan mental bukanlah isu yang bisa diseragamkan, melainkan harus dipahami secara mendalam berdasarkan konteks masing-masing anak.
ADVERTISEMENT
Selama pendampingan retret/rekoleksi/Latihan Kepemimpinan bagi para murid dan mahasiswa di Civita Youth Camp pada tahun 2013-2019, saya menemukan banyak kasus di mana kaum remaja mengalami gangguan relasi dengan orang tua atau orang-orang terdekat mereka. Ketegangan hubungan ini sering kali menjadi pemicu utama munculnya gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan masalah perilaku. Sayangnya, banyak dari kasus ini tidak mendapat perhatian serius dan berlarut-larut hingga mempengaruhi perkembangan psikologis mereka.
Sungguh disayangkan jika persoalan mental remaja tidak teratasi dengan baik. Di sekolah, peran guru sangat penting, terutama dalam menjalin kemitraan dengan orang tua. Kolaborasi antara sekolah dan keluarga merupakan kunci dalam menjaga kesehatan mental remaja. Tanpa adanya sinergi ini, upaya menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan emosional anak akan sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan mental di kalangan orang muda termasuk remaja kian mencuat di masyarakat, terutama setelah pandemi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun menderita gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, dan masalah perilaku. Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena bunuh diri kini tercatat sebagai penyebab kematian keempat tertinggi di antara remaja usia 15-29 tahun.
Fakta ini menggarisbawahi tingkat keparahan krisis kesehatan mental yang melanda generasi muda. Situasi ini memerlukan perhatian mendalam, tidak hanya dari aspek medis, tetapi juga sosial dan pendidikan. Kegagalan dalam menangani masalah ini dapat berdampak panjang, mempengaruhi kualitas hidup remaja serta stabilitas mental mereka di masa depan.
Di Indonesia, situasi ini semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 34,9 persen remaja mengalami masalah mental, dan 5,5 persen di antaranya menderita gangguan mental lebih serius. Sayangnya, hanya 2,6 persen dari mereka yang mengakses layanan konseling untuk mengatasi persoalan hidup dan psikologis yang dialami. Angka ini menandakan adanya ketimpangan besar antara kebutuhan dan akses terhadap layanan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Penyebab gangguan mental pada remaja pun sangat beragam. Faktor utama yang sering disebut, yakni ketidakseimbangan kehidupan sosial, tekanan akademis, dan ketidakmampuan dalam mengelola emosi secara baik. Kemajuan teknologi dan media sosial juga turut berkontribusi pada peningkatan kecemasan dan depresi, karena remaja sering kali terjebak dalam dunia maya yang membentuk standar yang tidak realistis. Selain itu, rendahnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental di masyarakat membuat banyak remaja terjebak dalam isolasi emosional tanpa dukungan moral memadai.
Masalah gangguan kejiwaan perlu ditangani secara holistik. Pendidikan kesehatan mental di sekolah perlu diperkuat, terutama dengan melibatkan para ahli yang mampu mendampingi para murid dalam mengelola stres dan tekanan. Program kurikulum yang mendukung pengembangan kecerdasan emosional dan keterampilan sosial sangat diperlukan, terutama di tengah era Kurikulum Merdeka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, akses ke layanan kesehatan mental, seperti konseling dan terapi psikologis, harus diperluas dan dipermudah. Pemerintah, orang tua, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental remaja.
Dengan perhatian dan tindakan yang tepat, kesehatan mental anak dan remaja bisa pulih. Penanganan yang berfokus pada keseimbangan emosional, dukungan sosial, dan akses ke layanan kesehatan akan menjadi kunci dalam mengurangi beban gangguan mental di kalangan generasi muda. Hal tersebut bukan hanya soal penanganan gejala, melainkan juga upaya membangun masa depan lebih sehat bagi generasi penerus bangsa.