Konten dari Pengguna

Gadis Penunggu Sekolah

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
23 Desember 2024 11:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gadis penunggu sekolah, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gadis penunggu sekolah, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah desa kecil, ada seorang gadis bernama Sadiyah. Ia dikenal sebagai "gadis penunggu sekolah" karena sering menghabiskan waktunya di halaman sekolah meski ia telah putus sekolah sejak kelas tiga SD. Gadis itu sederhana, polos, dan memiliki senyum yang selalu membuat orang lain merasa nyaman.
ADVERTISEMENT
Bermain di sekolah hingga matahari tenggelam merupakan kegemarannya. Saat teman-temannya sudah pulang, Sadiyah tetap berada di sana, memandangi kursi-kursi kosong di balik jendela kelas. Ia membaca aneka majalah anak yang didapatkan dari Mang Atang, seorang tukang abu gosok, sambil membayangkan dirinya suatu hari kembali duduk di bangku sekolah.
Namun, nasib berkata lain. Keluarganya tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Meskipun hanya bisa membaca dan sedikit berhitung, Sadiyah memiliki banyak teman. Salah satu temannya, Iskandar, masih ingat bagaimana Sadiyah selalu ramah dan suka membantu.
Suatu ketika, Iskandar ingin membeli bakwan di warung Bu Sumi. Harganya hanya Rp50 waktu itu, dan Sadiyah dengan cekatan membantu membayarnya ketika Iskandar kehabisan uang. Kebaikan hati Sadiyah membuatnya dikenang meski tahun-tahun berlalu dan jejaknya menghilang.
ADVERTISEMENT
Waktu bergulir. Tidak ada kabar tentang Sadiyah. Desa itu berubah, begitu pula hidup teman-temannya. Iskandar, bersama Yuna dan Ririn, suatu hari memutuskan untuk pergi ke pasar kecamatan yang ramai. Di sana, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang tak terduga.
Di sebuah toko berukuran lumayan besar, yang menjual barang-barang kelontong, berdiri Sadiyah. Wajahnya ceria, penuh senyum, meski garis-garis usia terlihat di wajahnya. Ia memanggil pelanggan dengan ramah, tangannya lincah melayani pembeli.
“Sadiyah? Apa kabar?” Iskandar menyapa dengan mata berbinar.
Sadiyah menoleh dan langsung mengenali mereka. “Baik sekali! Wah, kalian lama tidak kelihatan. Apa kabar?” jawabnya dengan hangat.
Iskandar dan teman-temannya heran sekaligus kagum. Mereka mengobrol sejenak sebelum Yuna, yang penasaran, bertanya, “Sadiyah, kamu punya anak berapa sekarang?”
ADVERTISEMENT
Sadiyah tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Empat anak,” jawabnya. “Dua sudah bekerja setelah lulus beasiswa di Jerman. Yang ketiga sedang kuliah di Depok, ambil Sastra Rusia. Yang keempat kuliah Teknik Pertanian di Bogor.”
Ketiganya terdiam, bengong, tak percaya dengan apa yang mereka dengar. “Sadiyah, hebat sekali! Anak-anakmu luar biasa!” seru Ririn penuh kekaguman.
Sadiyah hanya tersenyum lembut. “Kalian tahu,” katanya, “dulu waktu saya putus sekolah, saya sedih sekali setiap melihat kalian berangkat ke sekolah. Karena tidak bisa lanjut, saya memberanikan diri bermain di sekolah setelah kalian pulang. Untung sekolah kita dulu tidak ada pagarnya, jadi saya bisa bermain di sana, melihat kursi-kursi kosong, dan bermimpi suatu hari bisa kembali.”
ADVERTISEMENT
Yuna menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Tapi bagaimana kamu bisa membesarkan anak-anakmu sampai sehebat itu?”
Sadiyah tertawa kecil, lalu mulai bercerita. “Ketika saya putus sekolah, saya tahu saya harus bekerja keras. Awalnya saya mencoba jualan sayuran di pasar, tapi gagal. Lalu saya coba jual pakaian, tapi tetap gagal. Akhirnya, saya dan suami mencoba jual aneka barang kelontong. Lambat laun, usaha kami berkembang. Kami bekerja sama, dan sedikit demi sedikit toko ini menjadi besar. Dengan penghasilan itu, saya bisa menyekolahkan anak-anak hingga ke luar negeri.”
Iskandar mengangguk dengan kagum. “Tapi bagaimana kamu tetap punya semangat, Sadiyah?” tanyanya.
“Semangat itu datang dari impian kecil saya dulu di sekolah,” jawab Sadiyah. “Meski tidak bisa melanjutkan sekolah, saya ingin anak-anak saya mendapatkan pendidikan terbaik. Saya selalu ingat masa kecil saya, bermain di emperan sekolah sambil membaca majalah-majalah anak. Hal tersebut mengajarkan saya bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja. Dan saya ingin anak-anak memiliki kesempatan lebih baik daripada yang diriku alami.”
ADVERTISEMENT
Mendengar cerita itu, Iskandar, Yuna, dan Ririn merasa terinspirasi. Mereka melihat bagaimana seseorang yang dulu dianggap tidak memiliki masa depan yang cerah ternyata mampu mengubah hidupnya dan hidup keluarganya dengan tekad kuat dan kerja keras.
Ketika mereka berpamitan, Sadiyah mengucapkan terima kasih karena sudah mampir. “Semoga kita semua bisa terus belajar dari hidup, ya,” katanya dengan senyum yang tidak pernah luntur.
Di perjalanan pulang, Iskandar berkata kepada teman-temannya, “Kita selalu berpikir bahwa pendidikan formal adalah satu-satunya jalan untuk sukses. Tapi Sadiyah membuktikan bahwa meskipun hanya jebolan kelas tiga SD, dengan kerja keras dan ketulusan, ia bisa membangun masa depan yang luar biasa untuk anak-anaknya.”
Yuna dan Ririn mengangguk setuju. Mereka sepakat bahwa kisah Sadiyah adalah pengingat bahwa di balik kesederhanaan, ada kekuatan luar biasa yang bisa mengubah dunia.
ADVERTISEMENT
Sadiyah, gadis penunggu sekolah, kini telah menjadi simbol inspirasi. Meski masa kecilnya amat sederhana dan penuh keterbatasan, telah berhasil membuktikan bahwa mimpi, kerja keras, dan cinta kepada keluarga dapat menghasilkan keajaiban yang sungguh tidak terduga.