Konten dari Pengguna

Gerakan Pungut Sampah, Merawat Bumi melalui Tindakan Nyata

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
27 April 2025 11:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pungut sampah, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pungut sampah, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1993, di sekitar Cawang Kencana Building, Jakarta, saya bersama sekitar 21 teman muda memulai sebuah aksi sederhana namun bermakna, yakni memungut sampah. Dengan berbekal sapu lidi, penjepit, sarung tangan, dan kantong-kantong besar, kami menyusuri area sekitar, memunguti segala kotoran yang tampak di atas tanah, yang melekat di trotoar, hingga yang terselip di sela-sela tanaman.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan kami saat itu, bersih berarti bebas dari segala macam kotoran yang dapat dilihat mata—sebuah definisi sederhana, tetapi penuh semangat membara. Gerakan itu bukan sekadar membersihkan ruang fisik; melainkan telah menjadi simbol keberanian memulai bertindak nyata terhadap apa yang kami yakini sebagai panggilan hati merawat bumi.
Gerakan kecil itu tidak berhenti menjadi peristiwa sekali waktu, melainkan berkembang menjadi kebiasaan, menjadi bagian dari ritus kehidupan saya. Ketika saya kemudian tinggal di Nabire, Papua, antara tahun 2003 hingga 2013, semangat itu tetap menyala.
Di sana, di tanah yang kaya alam dan budaya itu, kegiatan bersih-bersih terus kami lakukan bersama rekan guru dan murid membersihkan jalanan, mengangkut plastik-plastik bekas dari aliran sungai, membersihkan pantai, dan menanam pohon di lahan-lahan yang mulai gundul.
ADVERTISEMENT
Dalam ruang keheningan Nabire, di antara desiran angin dan nyanyian burung, gerakan memungut sampah terasa makin sarat makna. Gerakan itu menjadi bentuk penghormatan kepada bumi yang memberi kehidupan, seolah-olah setiap sampah yang kami angkat adalah bentuk peduli yang tak terucapkan.
Memungut sampah, bagi orang-orang tertentu, bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan bentuk doa bergerak, pujian tanpa suara, dedikasi tulus kepada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Ketika tangan kami membungkuk memungut sampah, ada bagian dari ego kami yang ikut tunduk kepada realitas bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian darinya. Dari tindakan sederhana ini, kami belajar tentang rendah hati, tentang kebersamaan, tentang tanggung jawab yang seharusnya menjadi naluri alami setiap manusia yang hidup di bumi ini.
ADVERTISEMENT
Dua puluh tahun berlalu, semangat itu tidak pernah pudar. Dalam rangka memperingati Hari Bumi pada 22 April 2025, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya bersama berbagai mitra menggelar Fun Walk-WasTe Free Day di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta.
Sebuah kegiatan jalan santai yang dikemas dalam suasana ceria, namun di balik keseruannya tersimpan makna yang dalam, yaitu membangun kesadaran ekologis melalui tindakan nyata. Tidak ada pidato panjang, tidak ada deklarasi muluk-muluk; hanya langkah-langkah kecil, tangan-tangan kecil yang dengan riang memungut sampah, dan melalui hati-hati besar bersedia peduli.
Dalam acara itu, Tim Strada yang terdiri dari sekitar 80-an murid dan pendamping turut ambil bagian. Mereka berjalan bersama, memunguti sampah yang ditemui sepanjang perjalanan, sambil menikmati suasana kota yang hiruk pikuk.
ADVERTISEMENT
Bu Rini, salah satu pendamping dari Tim Strada, mengatakan, "Bagi murid-murid Strada, ini bukan sekadar membersihkan jalanan, tetapi membangun ruang pengalaman nyata tentang bagaimana mencintai lingkungan. Hal demikian tentang membiarkan mereka merasakan, mengalami, dan menjadi bagian dari gerakan lebih besar."
Murid-murid dan pendamping Strada aktif membersihkan sampah di sepanjang rute jalan Putaran Semanggi-Bundaran HI, sumber: Dok. Strada
Ekspresi wajah para murid itu telah menjadi kisah tersendiri—berbalut tawa riang, mata berbinar, rasa ingin tahu yang terpancar saat melihat begitu banyak orang dari berbagai latar belakang turut serta dalam gerakan bersama. Mereka belajar bahwa merawat bumi bukan tugas seorang diri, melainkan gerak kolektif manusia yang saling bergandengan tangan.
Mereka menyadari bahwa menjadi bagian dari solusi adalah pengalaman yang menggembirakan, dan menjaga bumi bisa menjadi sesuatu yang fun, bukan beban. Ini adalah pelajaran penting yang mungkin tidak akan mereka dapatkan hanya dari dalam ruang kelas.
Ekspresi wajah ceria Tim Strada dalam Fun Walk-WasTe Free Day, sumber: Dok. Strada.
Xaxa, salah satu pecinta lingkungan yang ikut dalam Fun Walk-WasTe Free Day, berkomentar dengan singkat, "Keren! Kegiatan ini bukan hanya mengajarkan, tapi juga menggerakkan." Memang benar, hari ini terlalu banyak kampanye dan seruan tanpa tindakan.
ADVERTISEMENT
Dunia tidak kekurangan orang yang berbicara tentang cinta lingkungan; dunia kekurangan orang yang benar-benar mengambil sapu, memungut plastik, dan puntung rokok yang dibuang sembarangan. Gerakan kecil seperti itu mengingatkan kita bahwa perubahan besar tidak akan datang dari seminar besar atau kampanye mahal semata, melainkan dari jutaan tindakan kecil yang konsisten.
Dalam realitas dunia modern yang seringkali paradoksal—di mana kita memuja pemandangan alam di media sosial, tetapi lupa membuang sampah dengan benar—gerakan pungut sampah menjadi pernyataan moral. Gerakan tersebut mengajarkan bahwa bumi bukanlah objek eksploitasi, melainkan subjek yang harus dikasihi.
Berbagai sampah plastik yang dipungut, atau daun kering yang disapu, adalah bagian dari upaya memperpanjang napas bumi. Tindakan demikian mengajarkan kita untuk melihat keterhubungan, bahwa lingkungan bersih adalah cermin dari batin suci manusia, dan bahwa ruang publik yang terawat menggambarkan tanggung jawab bersama kita sebagai warga.
ADVERTISEMENT
Gerakan pungut sampah juga menyiratkan pesan bahwa merawat bumi tidak harus menunggu keputusan besar dari pemerintah, tidak harus menunggu perubahan sistem. Pungutan sampah bisa dimulai dari diri sendiri, dari langkah terkecil.
Dari satu botol plastik yang diambil hari ini, dari satu puntung rokok yang dibuang pada tempatnya, dari satu pohon yang ditanam dengan cinta. Ketika gerakan ini dilakukan dengan kesadaran kolektif, maka perlahan-lahan bumi akan merasakan kelegaan. Dan kita, anak-anak bumi, akan menemukan kembali relasi sehat dengan rumah kita satu-satunya ini.
Bumi kita sedang menanti lebih banyak tangan yang mau membungkuk, lebih banyak langkah yang mau melangkah, dan lebih banyak hati yang mau peduli. Semoga praktik baik merawat bumi menjadi gerakan bersama sekarang dan berkelanjutan di masa depan. Karena bumi ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan bagi anak cucu manusia dan makluk hidup lain di dalamnya. Merawat bumi tidak perlu menunggu besok; cukup mulai dari satu sampah yang dipungut hari ini.
ADVERTISEMENT