Konten dari Pengguna

Hadiah yang Tak Tergantikan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
23 Januari 2025 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi papan catur, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi papan catur, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah kampung kecil yang terletak lumayan jauh dari hiruk-pikuk kota, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Arman. Sebagai seorang murid SMP, Arman tidak memiliki banyak keistimewaan. Namun, satu hal yang membuatnya dikenal di kampung itu, yakni kemahiran bermain catur.
ADVERTISEMENT
Papan catur tua yang sudah retak di sana-sini menjadi teman setia baginya, warisan dari almarhum sang kakek. Bagi Arman, papan itu bukan sekadar alat permainan, melainkan kenangan penuh makna, sebuah pengingat akan kisah-kisah masa kecil yang selalu menghangatkan hati. Setiap langkah bidak catur merupakan bagian dari perjalanan hidup yang penuh harapan dan impian.
Arman memiliki beberapa teman dekat, yaitu Alex, Rido, dan Silo. Mereka sering mengajaknya bermain atau sekadar bercanda di bawah pohon besar di tengah kampung. Namun, ada kalanya Arman lebih memilih menghabiskan waktunya dengan berlatih catur.
Suatu hari, teman-teman mengundang Arman agar ikut menonton pertunjukan wayang kulit di desa sebelah. Tetapi Arman menolak dengan alasan ingin berlatih lebih keras, karena ia memiliki mimpi besar menjadi pemain catur terbaik di kampungnya.
ADVERTISEMENT
Penolakan Arman membuat Alex kesal. Ia merasa Arman mulai mengabaikan persahabatan mereka demi ambisi pribadinya. Dalam kemarahan yang tak terkendali, Alex tanpa berpikir panjang membanting papan catur Arman.
Suara retakan itu menggema di hati Arman, yang hanya bisa terdiam. Papan catur itu -- yang lebih dari sekadar alat permainan -- sekarang hancur berkeping-keping. Ia menatap puing-puing itu dengan mata berkaca-kaca, merasakan luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar kehilangan benda.
Hari-hari setelah kejadian itu menjadi gelap bagi Arman. Ia tidak lagi bermain catur. Setiap kali melihat papan catur milik tetangga atau mendengar suara bidak yang bergerak, hatinya teriris. Ia duduk termenung di sudut rumah, membayangkan langkah-langkah catur yang tak dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Arman ingin sekali memiliki papan catur baru, tetapi keluarganya yang sederhana tidak mampu membelikannya. Dalam kesendirian, ia hanya bisa mengingat ajaran sang kakek, yang selalu berkata, "Catur adalah cermin kehidupan. Dalam setiap langkah, kita harus berpikir dengan hati-hati."
Kabar gembira datang di tengah keputusasaan Arman. Pak Wito, sesepuh desa yang bijaksana, mengumumkan bahwa akan diadakan lomba catur untuk memperingati HUT Kemerdekaan. Hadiah utama adalah sebuah papan catur baru, lengkap dengan raja dan bidak-bidaknya.
Mendengar kabar itu, Arman merasa seolah-olah langit membuka jalan baginya. Hal ini adalah kesempatan yang sangat ditunggu. Ia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan, meskipun tahu bahwa lawan-lawannya jauh lebih tua dan berpengalaman.
Tanpa ragu, Arman mendaftar. Ia berlatih keras, meminjam papan catur dari tetangga, dan bahkan meminta ayahnya menjadi sparring partner. "Kamu pasti bisa, Man," kata ayahnya suatu malam, sambil tersenyum penuh keyakinan. "Catur bukan hanya soal pengalaman, tapi soal strategi dan keberanian."
ADVERTISEMENT
Hari perlombaan pun tiba. Balai desa dipenuhi peserta dan penonton yang antusias. Babak pertama mempertemukan Arman dengan Pak Jaco, seorang pegawai sipil yang sudah lama tidak bermain catur. Dengan penuh kecermatan, Arman menghadapi Pak Jaco, mengejutkannya dengan langkah-langkah yang penuh perhitungan. Tak disangka, Arman memenangkan pertandingan dengan skor 2-0.
Di babak berikutnya, Arman bertemu dengan Pak Wito, sesepuh desa yang juga dikenal sebagai pemain catur ulung. Pertandingan antara keduanya berlangsung sengit. Kedua pemain saling menyerang, mempertahankan diri dengan penuh kehati-hatian.
Akan tetapi dengan keberanian dan strategi matang, Arman berhasil mencuri kemenangan tipis dengan skor 1½-½. Kemenangan ini membuat semua orang mulai memandang Arman dengan kagum.
Setelah melewati berbagai babak, Arman berhasil mencapai final. Lawannya yang terakhir adalah Pak Supri, pedagang beras yang dikenal sebagai pemain catur terbaik di kampung itu. Pertandingan final berjalan sangat menegangkan. Kedua pemain menunjukkan kemampuan terbaik mereka, saling bertukar serangan dan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Setelah dua ronde berakhir dengan seri 1-1, pertandingan dilanjutkan dengan catur cepat. Dengan ketenangan yang luar biasa, Arman berhasil memanfaatkan celah kecil yang ada dan akhirnya menang 1-0. Ia dinyatakan sebagai juara pertama, dan hadiahnya, yakni papan catur yang sungguh diimpikan.
Namun, kegembiraan Arman tiba-tiba berubah menjadi kekecewaan mendalam. Pak Wito, dalam rapat panitia pengumuman hadiah, mengumumkan bahwa hadiah bagi juara pertama bukan lagi papan catur, melainkan pakaian batik yang lebih mahal.
Arman merasa seolah-olah perjuangannya selama ini sia-sia. Ia berdiri di depan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara, "Pak, saya … ikut lomba ini karena ingin memiliki papan catur. Saya mohon, tolong kembalikan hadiah seperti yang dijanjikan," kata Arman dengan suara bergetar.
ADVERTISEMENT
Debat sengit pun terjadi di antara panitia dan peserta lomba. Beberapa orang mulai mendukung Arman, sementara yang lain merasa bahwa pakaian batik lebih pantas sebagai hadiah.
Setelah mendengar alasan Arman, akhirnya Pak Wito meralat keputusannya. "Baiklah, juara pertama tetap mendapatkan papan catur, sementara juara kedua akan mendapatkan pakaian batik," kata Pak Wito dengan bijaksana.
Arman pulang dengan hati yang penuh syukur, tangan memegang erat papan catur baru yang telah lama diimpikan. Beberapa hari setelah itu, Alex datang menemui Arman dengan wajah penuh penyesalan. "Maafkan aku, Man," kata Alex dengan tulus. "Aku nggak tahu papan itu sepenting itu buat kamu."
Arman tersenyum, memaafkan temannya. "Nggak apa-apa, Lex. Yang penting kita tetap teman."
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, hubungan Arman dan teman-teman semakin erat. Arman tidak hanya menjadi juara catur, tetapi juga pemenang dalam kehidupan, membuktikan bahwa dengan usaha, keberanian, dan kebaikan hati, mimpi dapat menjadi kenyataan.