Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
Konten dari Pengguna
Inflasi Penilaian di Sekolah
18 Maret 2025 12:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam sebuah pertemuan diskusi yang dihadiri oleh para guru dan murid di auditorium sekolah, Pak Harno, guru Bimbingan Konseling di SMP Demokratis, menatap daftar nilai murid-murid dengan dahi berkerut. Angka-angka yang tertulis di lembaran tersebut sangat tinggi, bahkan mendekati sempurna.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pendidik yang sudah bertahun-tahun membimbing murid, beliau merasa ada sesuatu yang janggal. Nama di bagian atas daftar itu menarik perhatian, yakni Rudi.
Pak Harno kemudian menatap sosok remaja yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Bagus sekali nilai-nilaimu, Rudi," ujarnya dengan nada yang mencerminkan kekaguman sekaligus keheranan. Murid-murid lain di ruangan itu mulai menoleh, beberapa terlihat penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rudi, seorang murid yang dikenal cerdas dan jujur, menghela napas panjang sebelum memberikan jawaban yang mengejutkan. "Ini bukan nilai yang saya usahakan sendiri, Pak. Ini nilai belas kasih. Saya sebenarnya tidak senang dengan angka-angka tersebut," katanya dengan suara yang mantap namun terdengar sedikit berat.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin mendapatkan nilai yang mencerminkan usaha sendiri, bukan yang diberikan hanya karena pertimbangan lain." Kata-katanya langsung menghadirkan keheningan di dalam auditorium.
Sejumlah murid tampak terkejut, sementara beberapa yang lain menundukkan kepala, seolah-olah memahami apa yang dimaksudkan. Rudi melirik ke arah teman-teman, Tina dan Sintia, yang sejak awal berdiri di dekatnya. Mereka tampak saling menyikut, raut wajah mereka mencerminkan kegelisahan.
Sintia berbisik pelan, berusaha agar hanya Rudi yang mendengar. "Rud, jangan omong jujur soal itu." Ada nada peringatan dalam suaranya, seakan takut konsekuensi dari pernyataan terbuka Rudi.
Tina dengan cepat menimpali dengan suara yang lebih keras, berusaha agar guru-guru tidak meragukan temannya. "Pak, nilai Rudi memang setinggi itu. Dia memang pintar kok," ujarnya penuh keyakinan, berharap bisa menutupi kebenaran yang baru saja diungkapkan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi Pak Harno bukan orang yang mudah dikelabui. Beliau sudah bertahun-tahun menangani berbagai persoalan murid, dan dapat melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam situasi ini. Matanya tajam menatap perubahan ekspresi Rudi, yang tampak semakin gelisah.
Rudi menatap ke bawah sejenak sebelum kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan. "Pak, saya tahu bahwa para guru memiliki niat baik. Tapi jika nilai hanya diberikan atas dasar belas kasih, bagaimana saya bisa belajar dari kesalahan? Bagaimana saya bisa memahami di mana letak kekurangan saya? Saya ingin bertumbuh, bukan dengan cara manipulatif, tetapi dengan usaha saya sendiri."
Kata-katanya seakan-akan membelah suasana di ruangan itu. Beberapa murid mulai berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada yang tampak setuju dengan pernyataan Rudi, sementara yang lain merasa sistem yang ada justru menguntungkan mereka.
ADVERTISEMENT
Beberapa guru pun mulai menunjukkan reaksi berbeda-beda -- ada yang terkejut, ada yang merenung, dan ada pula yang mengangguk setuju dengan pandangan Rudi.
Pak Harno terdiam sejenak, seakan mempertimbangkan setiap kata yang baru saja didengar. Akhirnya, beliau berbicara dengan suara yang tenang tetapi tegas. "Saya mengerti perasaanmu, Rudi. Namun, kenyataan di dunia pendidikan kita memang masih seperti ini."
Beliau memandang para guru lainnya, berharap mendapatkan tanggapan dari mereka. Di sudut ruangan, Bu Etika, wakil kepala sekolah yang sejak tadi menyimak perdebatan, akhirnya angkat bicara.
"Pendidikan seharusnya membangun karakter, bukan sekadar angka-angka di atas kertas. Jika kita terus membiasakan nilai yang tidak mencerminkan kompetensi nyata, kita hanya menciptakan kebohongan yang sistematis."
ADVERTISEMENT
Kata-katanya membuat suasana semakin tegang. Beberapa guru tampak mengangguk setuju, sementara yang lain masih tampak ragu-ragu.
Pak Supri, guru Matematika yang dikenal tegas dalam mengajar, mengangguk dan menambahkan pendapatnya. "Anak-anak harus diberi kesempatan untuk merasakan usaha dan hasil yang seimbang. Jika tidak, bagaimana mereka bisa siap menghadapi dunia yang penuh tantangan? Jika kita terus memberi nilai tinggi tanpa dasar yang jelas, kita justru merugikan mereka." Kata-katanya membuat beberapa murid yang sebelumnya merasa nyaman dengan sistem yang ada mulai merenung.
Mereka menyadari bahwa nilai tinggi tanpa usaha sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi masa depan mereka. Bu Endang, yang selama ini dikenal sebagai guru yang perfeksionis dalam menilai, akhirnya ikut berbicara.
ADVERTISEMENT
"Mungkin kita memang perlu meninjau ulang sistem penilaian. Tidak semua murid harus mendapat angka tinggi hanya demi prestise sekolah. Jika ingin membangun generasi jujur dan kompeten, kita harus berani mengubah cara menilai mereka."
Mendengar dukungan dari beberapa guru, Rudi merasa sedikit lega. Setidaknya, ada yang memahami kegelisahan dirinya. Ia menoleh ke arah beberapa teman yang dari tadi diam, berharap mereka juga bisa mengerti pentingnya kejujuran dalam belajar.
Dengan suara yang lebih tenang, ia berkata kepada mereka, "Negara-negara maju seperti Swiss, Finlandia, Jepang, dan Irlandia memiliki indeks kejujuran yang tinggi. Mungkin itu salah satu alasan kenapa pendidikan mereka jauh lebih baik."
Pardi dan Ningsih, dua teman sekelas, mengangguk setuju. Mereka menyadari bahwa nilai tinggi tanpa kejujuran hanya akan menciptakan ilusi keberhasilan. Sebuah prestasi semu yang hanya bertahan sementara, tetapi tidak memberi manfaat nyata di masa depan.
ADVERTISEMENT
Pak Harno menepuk bahu Rudi dengan bangga. "Saya harap kamu bisa terus mempertahankan prinsipmu, Rudi. Pendidikan sejati bukan hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana kita belajar dan bertumbuh."
Kata-kata itu menutup diskusi hari itu dengan makna yang mendalam. Rudi tersenyum. Ia tahu jalannya mungkin tidak akan mudah, tetapi setidaknya, sudah mengambil langkah pertama menuju perubahan.
Bagi Rudi, pendidikan bukanlah sekadar soal angka, melainkan perjalanan panjang menuju pemahaman sejati, yang hanya bisa dicapai dengan usaha jujur dan kerja keras.
Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Hal ini dipicu oleh penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 5,02% ke 6.146.