Kehampaan Materialisme dalam "Kalung" Karya Guy de Maupassant

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Mahasiswa Doktoral Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
Konten dari Pengguna
24 Maret 2024 11:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Kalung" yang menawarkan kemewahan, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Kalung" yang menawarkan kemewahan, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Guy de Maupassant (1850-1893), seorang penulis Prancis terkenal abad ke-19, dengan tajam menggambarkan dilema kemanusiaan dalam karya yang terkenal, The Necklace atau "Kalung" yang dalam bahasa Perancis disebut La Parure atau “Perhiasan”.
ADVERTISEMENT
Cerita yang diterbitkan pada tanggal 17 Februari 1884 ini tidak hanya mengundang pembaca ke dalam kehidupan seorang wanita bernama Mathilde Loisel, tetapi juga menggambarkan perjuangan dengan obsesi materialisme dan pengejaran tak terbatas akan status sosial.
Dalam sinopsis yang disajikan, Mathilde Loisel digambarkan sebagai sosok yang terhanyut dalam keinginan akan kekayaan dan kemewahan. Obsesi terhadap hal-hal material mengaburkan penglihatan terhadap kekayaan yang sebenarnya dimiliki dalam bentuk kehidupan sederhana yang nyaman.
Namun, Mathilde mengabaikan keberkahan ini, meyakini bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan melalui kepemilikan barang-barang mewah dan pengakuan dari masyarakat.
Kesalahan terbesar dimulai ketika Mathilde meminjam kalung berlian dari seorang teman untuk menghadiri pesta mewah. Kehilangan kalung itu bukan hanya mengawali kejatuhan finansial dirinya, tetapi juga mengungkapkan kekosongan yang tersembunyi di balik gemerlap kemewahan.
ADVERTISEMENT
Mathilde, yang semula mengira bahwa kalung itu merupakan kunci menuju status sosial yang diidamkan, dengan pahit menyadari bahwa kehidupannya terjebak dalam jerat pengejaran materialisme.
Pesan moral yang ditonjolkan oleh Guy de Maupassant melalui cerita "Kalung" sangat jelas dan mendalam. Kisah ini bukan sekadar sebuah narasi tentang kehilangan sebuah barang berharga, tetapi juga sebuah refleksi mengenai kelemahan manusia dalam mengendalikan obsesi materialisme.
Maupassant dengan lihai membangun narasi yang menggambarkan betapa bahaya terperangkap dalam keinginan tak terbatas akan harta benda dan status sosial. Mathilde Loisel, awalnya digambarkan sebagai sosok yang berani dalam meraih cita-cita, dengan cepat terjebak dalam perangkap keserakahan yang menghancurkan dirinya.
Dia menjadi simbol tragedi yang disebabkan oleh keserakahan manusia, memperingatkan pembaca akan risiko yang dihadapi ketika mereka terlalu terobsesi dengan kekayaan materi dan pengakuan sosial.
ADVERTISEMENT
Melalui perjalanan Mathilde, Maupassant menyoroti bahaya yang ditimbulkan oleh masyarakat yang terlalu memuja kekayaan dan kemewahan. Cerita ini bukan hanya sekedar pengingat akan risiko kehilangan diri dalam pengejaran tanpa henti akan kekayaan, tetapi juga ajakan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai sejati dalam hidup.
"Kalung" mengajarkan manusia bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam kepemilikan barang-barang mewah atau pengakuan dari masyarakat, tetapi dalam kesederhanaan hidup dan penghargaan terhadap keberkahan yang sudah ada.
Dengan demikian, cerita ini tidak hanya menjadi kisah peringatan bagi pembaca, tetapi juga sebuah sumber inspirasi untuk mengubah pandangan manusia terhadap kehidupan dan menemukan makna lebih dalam dari setiap detik dinamika hidup yang dijalani.
Dalam era modern, pesan yang disampaikan oleh Guy de Maupassant melalui "Kalung" tetap sangat relevan dan menggugah. Budaya konsumtif yang semakin menguat di masyarakat menekankan nilai-nilai materialisme dan status sosial sebagai indikator utama keberhasilan seseorang.
ADVERTISEMENT
Manusia sering kali terperangkap dalam siklus tak berujung yang mendorong individu-individu mengejar barang-barang mewah dan mencari pengakuan dari orang lain, tanpa mempertimbangkan apakah itu benar-benar membawa kebahagiaan yang sejati.
Tekanan dari media sosial dan budaya pop untuk memamerkan kekayaan dan gaya hidup glamor semakin memperdalam jurang antara apa yang dianggap sukses dan apa yang sebenarnya penting dalam hidup.
Ilustrasi, menjadi bahagia itu sederhana, sumber: Pexels.
Seseorang perlu menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kepemilikan benda-benda material atau dalam pengakuan sosial. Sebaliknya, kebahagiaan sejati muncul dari hubungan yang kuat, pengalaman bermakna, dan kesadaran akan keberkahan dalam hidup.
Dengan mengambil pelajaran dari "Kalung", manusia diingatkan untuk membebaskan diri dari belenggu materialisme dan menemukan kepuasan dalam kesederhanaan hidup.
ADVERTISEMENT
Dengan cara demikian seseorang bisa memprioritaskan nilai-nilai yang benar-benar penting dalam mencari kebahagiaan abadi, serta menghindari risiko terjebak dalam siklus pengejaran tak berujung dan keserakahan yang merusak.
Melalui "Kalung", Maupassant mengajak manusia merefleksikan kembali nilai-nilai yang sebenarnya penting dalam hidup. Kehidupan sederhana dan keberkahan yang dimiliki seringkali terabaikan dalam pengejaran tanpa henti akan harta benda dan pengakuan sosial. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki barang-barang mewah, tetapi tentang menerima dan menghargai apa yang sudah dimiliki.
Dengan demikian, "Kalung" karya Guy de Maupassant tidak hanya merupakan sebuah cerita pendek, tetapi juga sebuah cermin bagi masyarakat modern.
Manusia diajak untuk membebaskan diri dari belenggu materialisme dan menemukan kebahagiaan sejati dalam kesederhanaan hidup dan keberkahan yang telah diberikan oleh Tuhan.
ADVERTISEMENT
Melalui cara demikian, manusia dapat menghindari kehampaan yang dialami oleh Mathilde Loisel dan menemukan makna yang lebih bernilai dalam hidup.
Sebagai catatan akhir, kisah tragis Mathilde Loisel dalam "Kalung" menjadi peringatan yang menyentuh bahwa kekayaan material bukanlah segalanya dalam hidup. Melalui penderitaannya, manusia diajarkan bahwa harta benda hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, bukan tujuan akhir itu sendiri.
Hidup memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar mengejar kekayaan dan kemewahan. Sejatinya, tujuan hidup manusia adalah untuk memuji, menghormati, dan mengabdi kepada Yang Maha Kuasa sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Melalui pelajaran yang diberikan oleh "Kalung", manusia diingatkan akan pentingnya menempatkan harta benda dalam perspektif yang benar. Kekayaan materi tidak boleh mengaburkan pandangan seseorang terhadap tujuan hidup yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kehidupan yang bermakna ditemukan melalui pengalaman spiritual, hubungan yang mendalam, dan pengabdian kepada nilai-nilai yang luhur.
Dengan menjadikan penghargaan terhadap Tuhan dan melakukan hal-hal positif dalam kehidupan sebagai fokus utama, manusia dapat memperkaya eksistensi kemanusiaan dan memberikan makna lebih dalam bagi dunia di sekitar.