Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Kembali ke Jalan yang Benar
24 Januari 2025 15:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Johan, siswa kelas VI SD, terkenal sebagai anak yang amat sulit diatur. Bagi teman-teman dirinya, seperti Tami, Luna, Budi, dan Tarno, Johan adalah sosok yang sering membuat keributan. Sifatnya pemarah, kebiasaan membuang makanan, serta perkataan kasar kerap membuat suasana kelas menjadi tegang.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Bu Wati, wali kelas mereka, sudah kewalahan menghadapi Johan. Padahal, kedua orang tuanya, Pak Rano dan Bu Rani, selalu memberikan perhatian penuh.
“Johan, kenapa kamu tidak pernah menghargai jerih payah orang tuamu?” tegur Bu Wati suatu hari di kelas, setelah Johan membuang bekalnya. Johan hanya mengangkat bahu, seperti biasa.
Masalah Johan semakin memuncak ketika pihak sekolah memanggil kedua orang tuanya untuk membahas perilaku buruknya. “Kami sudah berusaha, Bu,” kata Bu Rani dengan wajah lelah. “Tapi Johan sulit sekali dinasihati.”
Di tengah kebuntuan itu, Pak Samidi, guru pendidikan karakter, mengusulkan agar murid-murid kelas VI mengikuti retret di Ciputat. “Mungkin suasana baru dan refleksi akan membantu mereka, terutama Johan,” ujar Pak Samidi.
ADVERTISEMENT
Retret diadakan di sebuah rumah peristirahatan yang luas dan asri, dikelola oleh seorang biarawati senior bernama Suster (Sr) Ranisianta. Bersama 60 murid dari dua kelas, Johan akhirnya berangkat meski dengan wajah cemberut.
Setibanya di sana, Sr. Ranisianta menyambut mereka dengan senyuman ramah. “Anak-anak, mari kita tinggalkan semua beban kita. Pertama-tama, silakan kumpulkan ponsel kalian.”
“Kenapa sih, Suster? Saya nggak mau!” Johan berseru keras, membuat teman-temannya menoleh. Namun, ketika mereka semua menyerahkan ponselnya tanpa protes, Johan akhirnya menyerah dan mengumpulkan ponselnya juga, meski dengan berat hati.
Hari pertama diisi dengan bernyanyi, bermain, dan berbagi cerita. Johan yang awalnya enggan, lambat laun mulai menikmati kebersamaan itu. Malam harinya, suasana hening ketika mereka berdoa bersama, membuat Johan merasa lebih tenang dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, Sr. Ranisianta mengajak mereka melakukan meditasi alam. “Kita akan berjalan tanpa alas kaki, mengenal alam, dan menyadari kebesaran Sang Pencipta,” ujar Suster.
Mereka memulai perjalanan di halaman berumput yang masih berembun. Johan merasakan kesejukan embun menyentuh telapak kakinya. Perjalanan dilanjutkan ke jalan berbatu, yang sedikit menyakitkan namun memberi sensasi berbeda. Mereka juga mengelilingi sebuah telaga, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah. Semua dilakukan dalam keheningan.
Johan, yang biasanya suka mengeluh, mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Hatinya terasa lebih damai.
Setelah sarapan pagi, Sr. Ranisianta mengajak mereka duduk di amphiteater. “Sekarang, mari kita hitung berapa banyak pengorbanan orang tua untuk hidup kalian selama ini,” ujar Suster.
ADVERTISEMENT
Dengan suara lembut, Suster mulai memberikan contoh. “Makan tiga kali sehari, katakanlah sekali makan Rp20.000. Jadi, dalam sehari Rp60.000. Kalikan 365 hari dalam setahun. Lalu kalikan lagi dengan usia kalian sekarang.”
Johan mulai menghitung dengan pensil di tangannya. Angkanya mengejutkan, yakni lebih dari Rp700 juta telah dikeluarkan oleh orang tuanya hanya untuk kebutuhan makan, sekolah, dan kebutuhan sehari-hari. Johan tertegun. Selama ini, ia tidak pernah menyadari betapa besar pengorbanan orang tuanya.
“Semua itu dilakukan karena kasih mereka pada kalian,” tambah Suster. “Mereka tidak pernah menghitung biaya itu karena cinta mereka tidak ternilai.”
Hati Johan mulai terasa berat. Ia merasa bersalah karena sering membuang makanan dan tidak menghargai pemberian orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Malam harinya, setiap anak diberi amplop berisi surat dari orang tua mereka. Dengan suasana redup diterangi lilin, serta alunan musik lembut, Johan membuka surat itu. Tulisan tangan Bu Rani menyentuh hatinya:
Johan, anakku,
Kamu sekarang sudah mulai tumbuh besar. Ayah dan Ibu merasa bangga melihatmu bertumbuh dan berkembang setiap harinya. Kami sangat menyayangimu dan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Setiap langkah yang kamu ambil merupakan bagian dari perjalananmu menuju masa depan yang penuh harapan. Semoga kamu selalu bahagia, dikelilingi oleh cinta kasih, dan mampu meraih semua cita-citamu.
Ingatlah bahwa perjalanan tidak selalu mudah, tetapi Ayah dan Ibu percaya bahwa kamu adalah anak yang kuat dan penuh semangat. Jangan pernah takut bermimpi besar, meskipun kadang jalan terasa sulit. Tetaplah semangat, jangan menyerah pada rintangan, karena setiap langkah maju akan membawa kamu semakin dekat dengan tujuan dirimu.
ADVERTISEMENT
Kami tetap berusaha untuk mendukungmu. Jadilah pribadi berkualitas, terus belajar, dan tetap rendah hati. Percayalah bahwa apa pun yang kamu raih, selama kamu berusaha dengan sungguh-sungguh, itu akan menjadi kebanggaan bagi kami.
Johan, jadilah anak yang tidak hanya mengejar kesuksesan, tetapi juga menjadi pribadi yang baik, bijaksana, dan peduli terhadap orang lain. Kami sangat mencintaimu, dan kamu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup kami.
Salam hangat dan penuh cinta, Ayah dan Ibu.
Air mata Johan mengalir deras. Ia membayangkan wajah kedua orang tuanya yang selalu sabar meskipun ia sering menyakiti hati mereka. Johan sadar, selama ini ia telah bersikap egois.
Setelah retret selesai, Johan kembali ke rumah dengan tekad baru. Ia memeluk Pak Rano dan Bu Rani, sesuatu yang jarang sekali dilakukan. “Maafkan Johan, Ayah, Ibu,” ucapnya dengan suara bergetar. “Johan janji akan berubah.”
ADVERTISEMENT
Hari-hari berikutnya, perubahan Johan terlihat nyata. Ia mulai menghargai makanan, berkata sopan, dan menunjukkan rasa terima kasih kepada orang tuanya. Di sekolah, teman-temannya juga terkejut melihat Johan yang lebih ramah dan tidak mudah marah.
“Eh, Johan sekarang beda banget, ya,” ujar Tami suatu hari.
“Syukurlah, akhirnya dia sadar dan kembali ke jalan yang benar,” Luna menimpali sambil tersenyum.
Johan, yang kini lebih bertanggung jawab, merasa hidupnya menjadi lebih bahagia. Ia telah menyadari, kasih sayang orang tua dan teman-temannya merupakan anugerah terbesar yang tidak boleh disia-siakan.