news-card-video
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kepemimpinan Sekolah Berbasis Cinta

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
11 Maret 2025 15:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, manajemen berbasis cinta, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, manajemen berbasis cinta, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia berbasis kegiatan, acap kali kepemimpinan dikaitkan dengan aturan ketat dan sistem yang tertata rapi. Akan tetapi Kevin Kruse (2024) dalam buku Great Leaders Have No Rules menantang pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa pemimpin hebat justru mampu keluar dari belenggu aturan kaku dan lebih mengutamakan hubungan berbasis kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Pemimpin yang baik bukanlah sekadar memastikan semua prosedur berjalan dengan ketat, melainkan mereka yang memahami bahwa aturan hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Dalam konteks sekolah, gagasan demikian selaras dengan prinsip kepemimpinan berbasis cinta yang juga ditekankan oleh Harry Wong dan Bobbi DePorter.
Sekolah berkualitas merupakan karya pendidikan yang selain berorientasi pada hasil akademik semata, juga dapat membangun karakter, rasa percaya diri, dan kepedulian sosial dalam diri setiap individu yang ada di dalamnya.
Harry Wong (2009) menegaskan bahwa kepemimpinan pendidikan efektif, di samping terkait dengan aturan main, juga dapat menghasilkan budaya yang mendorong keterlibatan dan pertumbuhan. Sekolah sukses bukanlah lembaga edukatif yang paling disiplin dalam arti sempit, melainkan karya yang membangun sistem dan struktur yang memberdayakan guru serta murid.
ADVERTISEMENT
Kepala sekolah dan guru yang berorientasi pada pemberdayaan akan menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan kemandirian, bukan sekadar kepatuhan. Hal ini berarti mereka perlu lebih menekankan kejelasan ekspektasi, rutinitas yang mendukung, serta komunikasi positif daripada sekadar menegakkan aturan dengan keras. Dengan kata lain, kepemimpinan berbasis cinta menuntut para pemimpin sekolah dalam membimbing, bukan mengontrol; menginspirasi, dan bukan menakuti.
Sementara itu, Bobbi DePorter (2003) dengan pendekatan Quantum Learning menegaskan bahwa suasana belajar yang positif dan penuh makna jauh lebih efektif dibandingkan lingkungan yang sarat dengan tekanan dan ketegangan.
Kepemimpinan bermutu dalam dunia pendidikan akan menghasilkan suasana yang dapat mendorong murid belajar dengan gembira, tanpa rasa takut akan hukuman atau kegagalan. Kepemimpinan sekolah berbasis cinta menekankan pada penghargaan terhadap perbedaan individu, membangun rasa percaya diri, serta menciptakan suasana belajar menyenangkan dan penuh inspirasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, seorang kepala sekolah dapat menjadi administrator yang mengelola kebijakan, dan sekaligus juga seorang mentor yang mampu memahami kebutuhan emosional dan intelektual para murid serta guru.
Dalam praktik, kepala sekolah yang memimpin dengan cinta akan lebih memilih transparansi daripada otoritas mutlak, lebih mengutamakan hubungan tulus daripada sekadar hierarki, serta lebih memfasilitasi pertumbuhan individu daripada sekadar memastikan kepatuhan.
Pemimpin seperti itu memahami bahwa keberhasilan sekolah tidak terletak pada jumlah aturan yang ditegakkan, tetapi pada sejauh mana setiap individu merasa dihargai, didukung, dan diberdayakan.
Pemimpin yang baik tidak akan menghadirkan budaya ketakutan dalam organisasi, tetapi sebaliknya akan menumbuhkan budaya keterbukaan, kerja sama, dan inovasi. Dalam suasana mendukung ini, murid akan lebih terdorong menggali potensi yang dimiliki secara maksimal, guru akan lebih antusias dalam mengajar, dan seluruh ekosistem sekolah akan menjadi tempat yang lebih harmonis dan produktif.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, kepemimpinan berbasis cinta juga menuntut koneksi emosional lebih dalam antara pemimpin dan komunitas sekolahnya. Pemimpin sekolah sukses bukan hanya mereka yang mampu mengelola anggaran dan kurikulum, tetapi mereka yang benar-benar peduli terhadap perkembangan muridnya, mengenal latar belakang setiap individu, dan mampu memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kepemimpinan semacam itu tidak sekadar mendisiplinkan murid ketika mereka melakukan kesalahan, tetapi juga membantu mereka memahami nilai-nilai di balik aturan yang ada. Dengan demikian, aturan bukan lagi sesuatu yang dipaksakan dari luar, tetapi menjadi bagian dari kesadaran dan komitmen bersama untuk menghasilkan lingkungan belajar secara lebih baik.
Pada akhirnya, sekolah dapat mengembangkan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, paradigma kepemimpinan sekolah harus bergeser dari pendekatan berbasis aturan menuju pendekatan berbasis cinta dan pengembangan potensi manusia.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan yang didasarkan pada cinta tidak berarti menghilangkan aturan sepenuhnya, tetapi menggunakannya dengan bijaksana, fleksibel, dan berorientasi pada pengembangan individu. Dengan begitu, sekolah bukan sekadar institusi yang menjalankan prosedur administratif, melainkan komunitas pembelajaran yang hidup, penuh semangat, dan mampu menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya akan empati dan keterampilan sosial.
Dengan mengadopsi kepemimpinan berbasis cinta, kepala sekolah, guru, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan dapat membuat ekosistem lebih sehat dan inspiratif. Sekolah bukan lagi tempat yang membosankan atau menakutkan, melainkan menjadi rumah kedua bagi murid dan guru di mana mereka merasa aman, dihargai, dan terus bertumbuh.
Pendidikan yang berpusat pada manusia dapat meluluskan murid kompeten, dan memiliki jiwa kepemimpinan, rasa tanggung jawab, serta kepedulian terhadap sesama. Inilah esensi kepemimpinan sekolah sejati, yakni bukan tentang seberapa banyak aturan yang ditegakkan, tetapi seberapa banyak hati tersentuh dan jiwa yang terinspirasi.
ADVERTISEMENT