news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kisah di Balik Banjir

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
5 Maret 2025 10:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi banjir yang mulai surut, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi banjir yang mulai surut, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah perumahan pinggiran kota, hujan turun tanpa henti sejak sore kemarin, mengirimkan ketukan ritmis, semakin lama terdengar mencekam di atas genting rumah.
ADVERTISEMENT
Pak Rahmat salah seorang tokoh masyarakat, yang sejak tadi gelisah, beberapa kali melongok ke luar jendela, memastikan bahwa air selokan belum meluap.
Kendati demikian, perasaan cemas itu semakin menjadi ketika suara gemuruh air mulai terdengar dari kejauhan, diikuti teriakan panik warga yang berhamburan keluar rumah.
“Tanggul jebol! Air naik cepat! Semua segera mengungsi!” teriak seseorang di tengah suasan kepanikan. Jantung Pak Rahmat berdebar-debar, berdetak semakin cepat, seakan-akan memberi peringatan bahwa bahaya sudah di depan mata. Ia tak menunggu lebih lama.
Dengan langkah tergesa-gesa, Pak Rahmat menuju ruang tengah, di mana istri dan anak-anaknya sedang berkumpul, masih belum menyadari betapa gentingnya keadaan di luar. "Bu, dan anak-anak! Kita harus naik ke lantai dua, sekarang!" serunya dengan nada tegas, tak bisa dibantah.
ADVERTISEMENT
Tanpa membuang waktu, mereka segera berlari ke tangga, sementara air mulai menyelinap masuk dari celah pintu dan jendela. Dalam hitungan menit, lantai rumah mereka telah berubah menjadi kubangan, mencerminkan langit kelabu di permukaannya.
Budi, dengan tangan gemetar, menggenggam tas berisi pakaian dan dokumen penting, sementara Rosa yang masih kecil menangis ketakutan di pelukan ibunya.
Di luar, air semakin deras membawa arus, menyeret segala yang dilewati -- kursi, pot bunga, bahkan beberapa barang milik tetangga, sudah hanyut entah ke mana. Pak Rahmat menatap keluar jendela lantai dua, melihat genangan air yang terus meninggi hingga menelan sebagian besar rumah-rumah di sekitarnya.
Suara sirene tim penyelamat semakin jelas terdengar, memecah kepanikan yang melanda perumahan mereka. Harapan mulai muncul ketika seorang anggota SAR berteriak dari perahu karet yang mengapung di bawah.
ADVERTISEMENT
“Pak Rahmat! Keluarga Pak harus segera dievakuasi!” Ini bukan lagi saatnya untuk ragu. Mereka harus keluar dari rumah itu, secepat mungkin.
Dari jendela lantai dua, Pak Rahmat melihat genangan air semakin tinggi. Arusnya deras, membawa puing-puing rumah dan barang-barang warga yang hanyut. Suara sirene tim penyelamat terdengar, diiringi teriakan mereka yang meminta warga naik ke perahu karet.
“Pak Rahmat! Keluarga Pak harus segera dievakuasi!” seru seorang anggota SAR.
Satu per satu mereka turun dari jendela. Budi dan Rosa berhasil naik lebih dulu. Akan tetapi saat Bu Ratmi hendak melangkah, dia terpeleset di tepi jendela yang licin. Tubuhnya nyaris jatuh ke air yang berputar deras.
“Bu!” Pak Rahmat berusaha meraih tangan istrinya, tetapi seorang anggota SAR lebih sigap menangkapnya. Dengan susah payah, mereka menarik Bu Ratmi ke atas perahu. Napasnya tersengal, wajahnya pucat.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan menuju posko pengungsian, Pak Rahmat duduk terdiam di perahu. Ia menatap sisa-sisa rumah yang terendam, lalu mendongak ke langit yang masih menumpahkan hujan. Di dalam benaknya, berbagai pertanyaan berkecamuk. Apa yang akan terjadi setelah ini? Bagaimana kami bertahan?
Sesampainya di posko pengungsian, mereka disambut kehangatan, meskipun wajah-wajah di sekeliling dipenuhi kesedihan. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, bahkan ada yang terpisah dari orang-orang tercinta.
Pak Rahmat menatap istri dan anak-anaknya, lalu menghela napas panjang. “Kita tidak bisa hanya duduk diam,” katanya dengan suara mantap.
Bu Ratmi mengangguk. “Apa yang bisa kita lakukan, Pak?”
Pak Rahmat menatap wajah istri dan anak-anaknya yang masih tampak lelah, tetapi matanya menyala dengan tekad yang kuat. Ia tahu bahwa duduk termenung dalam kesedihan tidak akan mengubah keadaan.
ADVERTISEMENT
“Kita harus membantu,” katanya dengan suara mantap. “Aku membawa sedikit uang dalam tas ini. Sebagian bisa kita belikan sembako untuk dimasak di dapur umum. Anak-anak bisa membantu membagikan makanan kepada para pengungsi.”
Bu Ratmi mengangguk, meskipun tubuhnya masih terasa lemas setelah insiden tadi. Rosa dan Budi, meski masih terguncang oleh kejadian yang mereka alami, berusaha menenangkan diri dan menyiapkan diri untuk membantu. Tidak ada pilihan lain selain bangkit dan berbuat sesuatu untuk sesama.
Tanpa ragu, keluarga itu mulai bergerak. Pak Rahmat segera menuju tenda logistik guna membeli bahan makanan yang diperlukan, sementara Bu Ratmi bergabung dengan ibu-ibu lain yang sedang memasak di dapur umum.
Uap panas dari panci-panci besar mengepul di tengah udara malam yang dingin, menyebarkan aroma masakan yang setidaknya bisa memberi sedikit penghiburan bagi mereka yang kelelahan.
ADVERTISEMENT
Rosa dan Budi, dengan tangan-tangan kecil mereka, sigap membantu membungkus makanan dan membagikannya kepada para pengungsi yang duduk berdesakan di tenda-tenda darurat.
Meskipun lelah dan masih menyimpan trauma, mereka ternyata merasakan sesuatu berbeda -- sebuah rasa kebersamaan yang menghangatkan hati.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai dan para pengungsi mulai beristirahat, Pak Rahmat duduk bersandar di dinding tenda, menggenggam tangan istri dan anak-anaknya. Mereka saling berpandangan dalam keheningan, seolah-olah berbicara tanpa kata-kata.
“Kita kehilangan rumah, tetapi kita tidak kehilangan harapan. Kita akan bangkit bersama,” ucapnya dengan suara tenang namun penuh keyakinan. Bu Ratmi tersenyum kecil, menggenggam erat tangan suaminya, sementara Rosa dan Budi menyandarkan kepala mereka ke bahu ayah dan ibu mereka.
ADVERTISEMENT
Di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi lampu-lampu darurat, mereka menemukan secercah ketenangan, sebuah janji bahwa kehidupan masih bisa dilanjutkan.
Dan di tengah kepedihan itu, mereka mulai menyadari bahwa musibah bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang menemukan kembali makna hidup.
Keluarga Pak Rahmat telah kehilangan rumah, harta benda, dan kenyamanan, tetapi di balik semua itu, mereka mendapatkan sesuatu yang lebih berharga -- kesempatan untuk berbagi, untuk saling menguatkan, dan untuk memahami bahwa harapan tidak pernah benar-benar hilang. Bencana boleh saja merenggut banyak hal dari mereka, tetapi tidak akan pernah mampu merampas semangat hidup untuk bangkit.